Skenario Ilusi Koalisi Merah Putih
Mari kita melangkah melampaui pembahasan RUU Pilkada yang saat ini sedang tahap pembahasan. Akhirnya, pemilihan kepala daerah lewat DPRD di sahkan. Mengingat komposisi fraksi yang tidak imbang. Lalu masyarakat dari semua elemen, mengajukan uji norma ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, putusan MK menolak gugatan. Ini gambaran pengandaian. Lalu, apa sesungguhnya skenario koalisi merah putih (KMP) untuk implementasi UU Pilkada yang baru? Banyak teman-teman kompasioner menyatakan, ada skenario menguasai kepala-kepala daerah yang berasal dari KMP. Pada titik ini, saya berhenti dahulu. Ada beberapa pertanyaan yang hendak saya ajukan.
Apa arti “menguasai” kepala-kepala daerah yang berasal dari KMP?. Dalam politik, apakah ada satu kesamaan kepentingan tunggal di semua provinsi/kabupaten/kota oleh KMP?. Padahal kenyataan politik tidak menunjukan hal tersebut.
Kita tengok realitas pada tahun 1999 – 2004. Saat itu, pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Dan di tingkat nasional hingga daerah, PDIP menguasai parlemen. Tapi kepala daerah terpilih tidak mutlak berasal dari PDIP. Bahkan lebih banyak oleh Golkar (maaf saya tidak punya data rincinya). Sementara sikap politik fraksi TNI saat itu lebih banyak abstein atas instruksi Mabes. Tidak sedikit anggota DPRD dari fraksi PDIP menolak instruksi DPP – yang saat itu lebih dominan dikendalikan oleh Taufik Kiemas. Bahwa memang ada istruksi dari DPP untuk merekomendasi calon tertentu dari PDIP. Calon tersebut memang diajukan secara formal. Tapi, saat pemungutan suara, beberapa anggota DPRD fraksi PDIP, menyebrang dan memilih calon dari kubu lain. Lebih banyak karena alasan pemberian uang suap.
Realitas kedua, hasil Pemilu 2014 menghasilkan lebih dari 60 persen Caleg wajah-wajah baru. Kebanyakan “kader dadakan”, masuk menjadi anggota partai menjelang Pemilu. Bahkan anggota DPRD yang lama dan pengurus partai terpental dari Pemilu 2014. Loyalitas dan tingkat kepatuhan anggota DPRD yang baru sangat rendah. Jauh lebih rendah ketimbang anggota DPRD dari PDIP hasil Pemilu 1999. Anggota DPRD saat ini lebih banyak mewakili dirinya sendiri ketimbang mewakili suara partai. Pertentangan antara dirinya dan partai sudah nampak dari sistem proporsional dengan stelsel terbuka dalam Pemilu 2014. Dimana sesama caleg antar satu partai menjadi seteru dan saling sikut. Lalu, seberapa efektifkah instruksi DPP (nasional) untuk menjalankan skenario “penguasaan” kepala daerah ? Jika tingkat loyalitas anggota DPRD saat ini sangat rendah, mementingkan diri sendiri dan pragmatis.
Apalagi ada mekanisme diam-diam atau tersembunyi di hampir semua partai dalam proses pencalonan kepala daerah. Untuk mendapatkan surat rekomendasi DPP, sebagai syarat pencalonan, “uang mahar” disetor lebih banyak ke tingkat pusat. Sedangkan para pengurus ditingkat DPD/DPW/DPC, hanya mendapat sisa. Urusan membagi “rezeki” inilah yang kerap menjadi pergunjingan. Dan mengakibatkan dukungan kepada calon oleh kader-kader partai di daerah menjadi menurun. Padahal, dalam prakteknya nanti, para anggota DPRD yang memiliki suara untuk memilih ketimbang para pengurus partai.
Koalisi merah putih hanyalah kumpulan para politisi yang memiliki kepentingan jangka pendek. Kerekatan, soliditas dan komitmen bersama rapuh dan tidak dapat dikomando atas nilai-nilai strategis yang ideal. Kenyataan ini akan tergambar kelak saat pemilihan kepala daerah. Dengan syarat 15% perolehan suara, semua fraksi punya peluang yang sama mengajukan calon. Dan konfigurasi gabungan partai tidak lagi mencerminkan koalisi partai yang berada di tingkat pusat. Nasdem dan PDIP tidak selalu sejalan; PKS dan Golkar demikian juga dalam mengusung calon kepala daerah.
Koalisi partai di tingkat pusat terjadi saat Pilpres. Kepentingan partai sangat jelas dalam pembagian kursi jabatan (Menteri, Komisaris sampai Direksi BUMN). Sedangkan konfigurasi gabungan partai untuk mengusung kepala daerah, tidak ada pembagian jatah kekuasaan selain memilih satu kepala daerah. Karena jajaran birokrasi pemerintahan daerah adalah jabatan karier PNS yang tetap. Paling banter, hanya meminta jatah proyek pemda. Itupun riskan karena mata-mata KPK ada dimana-mana.
Pertanyaan saya kedua, anggaplah memang semua kepala daerah “dikuasai” oleh KMP, lalu apa manfaat ekonomi politik yang bisa diambil?. Kepala daerah akan menjadi ATM partai? KPK sudah memberi warning. Itu artinya kesiapsiagaan aparatur KPK akan lebih intensif, jika opsi pilkada lewat DPRD akan dijalankan.
Manfaat politik? Apa bentuknya?. Sudah jadi rahasia umum, tidak saja KMP tapi juga hampir semua partai, yang mengeluh rendahnya loyalitas kepala daerah pada kepentingan partai. Jawaban para kepala daerah pun masuk akal, “saya sudah bayar waktu pencalonan dulu”. Jadi tidak ada urusan dengan balas budi. Sama seperti anggota DPRD dengan tingkat loyalitas rendah, para kepala daerah pun demikian. Akan lebih mementingkan diri dan keluarganya sendiri.
Saat Pemilu dan Pilpres sudah menunjukan indikasi ini. Hanya sebagian kecil saja, para kepala daerah yang sungguh-sungguh berjuang memenangkan partai dan calon presiden dari partai pengusungnya. Ada kepala daerah dari PAN dan adik kandung dari Zulkifli Hasan yang memiliki ikatan partai dan keluarga yang kuat, tapi di wilayah itu malah Nasdem yang menang. Begitu juga kepala daerah yang mayoritas Golkar, hasil Pemilu dan Pilpres tidak konkruen kemenangan Golkar.
Lalu ada juga yang berandai-andai kepala daerah akan “mengepung” pemerintahan Jokowi dalam pengertian boikot. Apa kekuatan politik yang dimiliki kepala daerah atas Presiden? Meskipun kita sudah mencanangkan sistem otonomi daerah, namun dalam bentuk semu. Daerah tidak sepenuhnya otonom terlebih dalam pengertian anggaran. Kekuasan anggaran masih dipegang oleh pemerintah pusat.
Porsi PAD sangat kecil dari postur APBD. Pemerintah daerah bergantung pada DAU dan DAK yang dianggarkan oleh pemerintah pusat. Itupun 80 persen lebih habis untuk biaya rutin. Untuk menambah biaya pembangunan, para kepala daerah harus bolak balik ke Kementrian/ Departemen untuk mendapat jatah tambahan APBN. Tidak heran jika kepala daerah lebih banyak berkemah di kantor kementrian ketimbang kantornya sendiri di daerah. Dalam soal kekuasan ini, pemerintah pusat masih memiliki power yang lebih dari pemerintah daerah. Lalu apa kekuatan kepala daerah berhadapan dengan pemerintahan Jokowi. Ditunda saja pembagian royalti batubara atau pajak bagi hasil migas kepada daerah penghasil, akan membuat kepala daerah meratap-ratap.
Jadi memuluskan RUU Pilkada demi skenario penguasaan daerah oleh KMP, hanya mimpi. Karena sesungguhnya kekuasaan yang dimaksud hanya ilusi.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1AwSNXK
Apa arti “menguasai” kepala-kepala daerah yang berasal dari KMP?. Dalam politik, apakah ada satu kesamaan kepentingan tunggal di semua provinsi/kabupaten/kota oleh KMP?. Padahal kenyataan politik tidak menunjukan hal tersebut.
Kita tengok realitas pada tahun 1999 – 2004. Saat itu, pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Dan di tingkat nasional hingga daerah, PDIP menguasai parlemen. Tapi kepala daerah terpilih tidak mutlak berasal dari PDIP. Bahkan lebih banyak oleh Golkar (maaf saya tidak punya data rincinya). Sementara sikap politik fraksi TNI saat itu lebih banyak abstein atas instruksi Mabes. Tidak sedikit anggota DPRD dari fraksi PDIP menolak instruksi DPP – yang saat itu lebih dominan dikendalikan oleh Taufik Kiemas. Bahwa memang ada istruksi dari DPP untuk merekomendasi calon tertentu dari PDIP. Calon tersebut memang diajukan secara formal. Tapi, saat pemungutan suara, beberapa anggota DPRD fraksi PDIP, menyebrang dan memilih calon dari kubu lain. Lebih banyak karena alasan pemberian uang suap.
Realitas kedua, hasil Pemilu 2014 menghasilkan lebih dari 60 persen Caleg wajah-wajah baru. Kebanyakan “kader dadakan”, masuk menjadi anggota partai menjelang Pemilu. Bahkan anggota DPRD yang lama dan pengurus partai terpental dari Pemilu 2014. Loyalitas dan tingkat kepatuhan anggota DPRD yang baru sangat rendah. Jauh lebih rendah ketimbang anggota DPRD dari PDIP hasil Pemilu 1999. Anggota DPRD saat ini lebih banyak mewakili dirinya sendiri ketimbang mewakili suara partai. Pertentangan antara dirinya dan partai sudah nampak dari sistem proporsional dengan stelsel terbuka dalam Pemilu 2014. Dimana sesama caleg antar satu partai menjadi seteru dan saling sikut. Lalu, seberapa efektifkah instruksi DPP (nasional) untuk menjalankan skenario “penguasaan” kepala daerah ? Jika tingkat loyalitas anggota DPRD saat ini sangat rendah, mementingkan diri sendiri dan pragmatis.
Apalagi ada mekanisme diam-diam atau tersembunyi di hampir semua partai dalam proses pencalonan kepala daerah. Untuk mendapatkan surat rekomendasi DPP, sebagai syarat pencalonan, “uang mahar” disetor lebih banyak ke tingkat pusat. Sedangkan para pengurus ditingkat DPD/DPW/DPC, hanya mendapat sisa. Urusan membagi “rezeki” inilah yang kerap menjadi pergunjingan. Dan mengakibatkan dukungan kepada calon oleh kader-kader partai di daerah menjadi menurun. Padahal, dalam prakteknya nanti, para anggota DPRD yang memiliki suara untuk memilih ketimbang para pengurus partai.
Koalisi merah putih hanyalah kumpulan para politisi yang memiliki kepentingan jangka pendek. Kerekatan, soliditas dan komitmen bersama rapuh dan tidak dapat dikomando atas nilai-nilai strategis yang ideal. Kenyataan ini akan tergambar kelak saat pemilihan kepala daerah. Dengan syarat 15% perolehan suara, semua fraksi punya peluang yang sama mengajukan calon. Dan konfigurasi gabungan partai tidak lagi mencerminkan koalisi partai yang berada di tingkat pusat. Nasdem dan PDIP tidak selalu sejalan; PKS dan Golkar demikian juga dalam mengusung calon kepala daerah.
Koalisi partai di tingkat pusat terjadi saat Pilpres. Kepentingan partai sangat jelas dalam pembagian kursi jabatan (Menteri, Komisaris sampai Direksi BUMN). Sedangkan konfigurasi gabungan partai untuk mengusung kepala daerah, tidak ada pembagian jatah kekuasaan selain memilih satu kepala daerah. Karena jajaran birokrasi pemerintahan daerah adalah jabatan karier PNS yang tetap. Paling banter, hanya meminta jatah proyek pemda. Itupun riskan karena mata-mata KPK ada dimana-mana.
Pertanyaan saya kedua, anggaplah memang semua kepala daerah “dikuasai” oleh KMP, lalu apa manfaat ekonomi politik yang bisa diambil?. Kepala daerah akan menjadi ATM partai? KPK sudah memberi warning. Itu artinya kesiapsiagaan aparatur KPK akan lebih intensif, jika opsi pilkada lewat DPRD akan dijalankan.
Manfaat politik? Apa bentuknya?. Sudah jadi rahasia umum, tidak saja KMP tapi juga hampir semua partai, yang mengeluh rendahnya loyalitas kepala daerah pada kepentingan partai. Jawaban para kepala daerah pun masuk akal, “saya sudah bayar waktu pencalonan dulu”. Jadi tidak ada urusan dengan balas budi. Sama seperti anggota DPRD dengan tingkat loyalitas rendah, para kepala daerah pun demikian. Akan lebih mementingkan diri dan keluarganya sendiri.
Saat Pemilu dan Pilpres sudah menunjukan indikasi ini. Hanya sebagian kecil saja, para kepala daerah yang sungguh-sungguh berjuang memenangkan partai dan calon presiden dari partai pengusungnya. Ada kepala daerah dari PAN dan adik kandung dari Zulkifli Hasan yang memiliki ikatan partai dan keluarga yang kuat, tapi di wilayah itu malah Nasdem yang menang. Begitu juga kepala daerah yang mayoritas Golkar, hasil Pemilu dan Pilpres tidak konkruen kemenangan Golkar.
Lalu ada juga yang berandai-andai kepala daerah akan “mengepung” pemerintahan Jokowi dalam pengertian boikot. Apa kekuatan politik yang dimiliki kepala daerah atas Presiden? Meskipun kita sudah mencanangkan sistem otonomi daerah, namun dalam bentuk semu. Daerah tidak sepenuhnya otonom terlebih dalam pengertian anggaran. Kekuasan anggaran masih dipegang oleh pemerintah pusat.
Porsi PAD sangat kecil dari postur APBD. Pemerintah daerah bergantung pada DAU dan DAK yang dianggarkan oleh pemerintah pusat. Itupun 80 persen lebih habis untuk biaya rutin. Untuk menambah biaya pembangunan, para kepala daerah harus bolak balik ke Kementrian/ Departemen untuk mendapat jatah tambahan APBN. Tidak heran jika kepala daerah lebih banyak berkemah di kantor kementrian ketimbang kantornya sendiri di daerah. Dalam soal kekuasan ini, pemerintah pusat masih memiliki power yang lebih dari pemerintah daerah. Lalu apa kekuatan kepala daerah berhadapan dengan pemerintahan Jokowi. Ditunda saja pembagian royalti batubara atau pajak bagi hasil migas kepada daerah penghasil, akan membuat kepala daerah meratap-ratap.
Jadi memuluskan RUU Pilkada demi skenario penguasaan daerah oleh KMP, hanya mimpi. Karena sesungguhnya kekuasaan yang dimaksud hanya ilusi.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1AwSNXK