Tersandera Politik
Nikmat memilih pemimpin oleh rakyat baru saja dirasakan sebuah buah dari reformasi. Bahwa rakyat benar benar dilibatkan secara langsung untuk menentukan nasib dan masa depan bangsanya. Ketrelibatan itu dirasakan sebagai hak juga untuk membuat rasa demokrasi itu benar benar sampai kepada individu. Namun sayang gegap gempita yang semestinya bisa terus dijaga itu tiba tiba saja sepertiup tertiup angin dahsyat. Lepas dari tangan dan kembali ke atas sana. Sungguh ironi. Saat dunia hendak berkaca dan mempelajari apa gerangan yang membuat negeri ini bisa demikian aman, damai menjalani pesta demokrasi ini secara apik justru dihilangkan atas dasar kepentingan politis.
Sesuatu yang sudah melekat kepada yang punya, yakni hak dasar dalam berpolitik diambil begitu saja atas nama kesepakatan, atas nama wakil rakyat yang penuh dengan legalitas, power juga landasi konstitusi itu, rakyat tak memiliki lidah lagi. Suaranya tertelan oleh formalitas yang syah dan mengikat. Jika demikian pantaskah rakyat menitipkan hak dan suaranya untuk lalu digunakan semaunya sendiri? Tak meminta saran atau masukan kepada rakyat? Ketika parpol telah membelah masa dan pengikut, suara rakyat absurd. Dimana sesungguhnya kekuatan rakyat itu berada? Hilangkah ketika suaranya sudah resmi dititipkan itu?
Politik kita seperti dikembalikan ke masa lalu. Yang penuh dengan intrik, penuh dengan kesepakatan yang meniadakan kontrol rakyat kembali. Kekecewaan dan sakit hati dalam melalui proses politik semestinya tidak menjadikan segala cara dan upaya untuk melakukan hal yang sesungguhnya menciderai politik itu sendiri. Politik kita benar-benar tengah sakit. Tengah dirundung galau oleh kepentingan kepentingan. Warisan cara berpolitik yang lebih memprioritaskan kekuasaan akan terus mengajarkan persetruan dan berbagai intrik lainnnya. Watak kenegarawanan sudah jauh dari harapan. Sebuah watak yang bisa mendamaikan. Watak luhur yang lebih memikirkan nasib bangsanya bukan kepada golongan, kelompok atau partainya sendiri.
Jika sebuah kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh deal deal tertentu. Lebih karena kesepakatan untuk berbagi kekuasaan, lantas apa yang diharapkan dari proses demokrasi yang tengah dibangun ini? Sungguh masa depan yang suram. Betapa bahayanya jika negeri ini lebih ditentukan oleh proses proses yang demikian itu? Ini baru awal dari sebuah tragedi demokrasi. Ketika rakyat benar-benar disingkirkan dari proses berdemokrasi yang telah dibangun ini. Politik hanyalah cara bukan alat yang digunakan untuk membangun kekuasaan. Mungkin jika peradaban politik ini akan berlanjut dengan model model kesepakatan seperti ini, kepastian hukum, konstitusi dan kebenaran akan makin kabur. Lantas siapa pemimpin negeri ini kelak? Ya, mungkin bernama arogansi.
Sumber : http://ift.tt/1rraG9r
Sesuatu yang sudah melekat kepada yang punya, yakni hak dasar dalam berpolitik diambil begitu saja atas nama kesepakatan, atas nama wakil rakyat yang penuh dengan legalitas, power juga landasi konstitusi itu, rakyat tak memiliki lidah lagi. Suaranya tertelan oleh formalitas yang syah dan mengikat. Jika demikian pantaskah rakyat menitipkan hak dan suaranya untuk lalu digunakan semaunya sendiri? Tak meminta saran atau masukan kepada rakyat? Ketika parpol telah membelah masa dan pengikut, suara rakyat absurd. Dimana sesungguhnya kekuatan rakyat itu berada? Hilangkah ketika suaranya sudah resmi dititipkan itu?
Politik kita seperti dikembalikan ke masa lalu. Yang penuh dengan intrik, penuh dengan kesepakatan yang meniadakan kontrol rakyat kembali. Kekecewaan dan sakit hati dalam melalui proses politik semestinya tidak menjadikan segala cara dan upaya untuk melakukan hal yang sesungguhnya menciderai politik itu sendiri. Politik kita benar-benar tengah sakit. Tengah dirundung galau oleh kepentingan kepentingan. Warisan cara berpolitik yang lebih memprioritaskan kekuasaan akan terus mengajarkan persetruan dan berbagai intrik lainnnya. Watak kenegarawanan sudah jauh dari harapan. Sebuah watak yang bisa mendamaikan. Watak luhur yang lebih memikirkan nasib bangsanya bukan kepada golongan, kelompok atau partainya sendiri.
Jika sebuah kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh deal deal tertentu. Lebih karena kesepakatan untuk berbagi kekuasaan, lantas apa yang diharapkan dari proses demokrasi yang tengah dibangun ini? Sungguh masa depan yang suram. Betapa bahayanya jika negeri ini lebih ditentukan oleh proses proses yang demikian itu? Ini baru awal dari sebuah tragedi demokrasi. Ketika rakyat benar-benar disingkirkan dari proses berdemokrasi yang telah dibangun ini. Politik hanyalah cara bukan alat yang digunakan untuk membangun kekuasaan. Mungkin jika peradaban politik ini akan berlanjut dengan model model kesepakatan seperti ini, kepastian hukum, konstitusi dan kebenaran akan makin kabur. Lantas siapa pemimpin negeri ini kelak? Ya, mungkin bernama arogansi.
Sumber : http://ift.tt/1rraG9r