UU Pilkada, Tren yang Diruntuhkan, Harapan yang Dihempaskan
Ribut-ribut soal pengesahan RUU Pilkada, banyak yang kontra, tetapi ada juga yang pro. Kita berbicara soal rakyat sesungguhnya, bukan yang duduk di legislatif berbaju partai. Banyak orang mempermasalahkan tentang biaya. Katanya pilkada langsung memakan biaya sangat besar. Ada juga yang menyoal suap yang akan memarak jika dipilih oleh DPRD. Sebaliknya bisa dilokalisir hanya di legislatif. Coba kita lihat dari efek psikologis dasar yang mempengaruhi mindset si kepala daerah.
EFEK NEGATIF KEPALA DAERAH DIPILIH DPRD
Jika ia dilahirkan DPRD maka ia akan berterima kasih kepada DPRD dan pasti berhutang budi pada DPRD. Toh dia bertanggung jawab secara konstitusional kepada DPRD. Masa kita kualat sama ibu yang melahirkan kita? Logika sederhana meski di dunia ini tidak ada yang absolut karena akan selalu ada deviasi. Seorang kepala daerah akan berani terang-terangan menentang (baca: tidak memenuhi permintaan) DPRD jika dia merasa itu tidak untuk kepentingan rakyat, karena dia bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, plus dengan harapan dipilih lagi pada periode berikutnya. Ada banyak contoh dimana calon atau kepala daerah menjabat berusaha menarik suara rakyat dengan membangun infrastruktur, penataan pasar tradisional, memberesi perizinan atau setelah terpilih membangun daerah yang dirinya menang di sana. Terlepas dari motif jelek, sedikitnya ada manfaat nyata pada masyarakat. Bisa anda bayangkan bahwa nanti calon atau kepala daerah menjabat tidak perlu lagi melakukan itu semua karena sama sekali tidak berpengaruh pada kemenangannya di Pilkada? Fokusnya kemudian adalah bagaimana melobi partai dan koalisi.
SEBUAH PROSES DAN TREN POLITIK
Dalam diskusi dengan beberapa teman yang setuju dengan pemilihan melalui DPRD, saya mendapat pesan bahwa pada dasarnya masyarakat sudah apatis. Mau dipilih langsung juga ternyata banyak kepala daerah yang tersangkut hukum dan mendekam di bui akibat usahanya mengembalikan “investasi” menduduki kursi keramat itu. Dipilih langsung juga tidak menjamin pro rakyat. Sosok-sosok seperti Joko Widodo, Basuki T. Purnama, Rismaharini, atau Ridwan Kamil juga tidak banyak jumlah. Benar, mereka masih sedikit. Tetapi ini adalah tentang proses dan tren. Sejak diberlakukannya Pilkadasung tahun 2005, butuh sembilan tahun untuk melahirkan presiden yang benar-benar pilihan rakyat. Saya bukan bicara tentang pro Joko Widodo, tetapi lihatlah secara obyektif bahwa seorang Jokowi ini lahir dari delapan tahun proses pemimpin yang dipilih rakyat hingga sepak terjangnya dikenal saat memimpin Solo kemudian dipilih lebih dari 90% pemilih pada periode kedua. Lalu karena pekerjaannya di periode kedua itu ia diangkut ke Jakarta dan mampu memenangkan hati pemilih Jakarta. Tak bisa diabaikan bahwa kinerjanya di DKI membuat lebih dari separuh rakyat Indonesia kemudian memilihnya menjadi Presiden. Coba perhatikan bahwa dalam sembilan tahun proses demokrasi melalui pilkadasung, lahirlah kepala-kepala daerah—yang secara kasat mata orang awam memenuhi harapan publik—seperti Basuki Purnama, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan sebenarnya banyak lagi yang belum dipopulerkan oleh media. Inilah proses dan tren. Sejak fenomena Jokowi meruak, banyak calon kepala daerah yang meniru dengan cara pendekatan kepada penarik beca bahkan mengendarainya, menolak fasilitas, turun ke pasar-pasar dan rumah kumuh, anti korupsi dan hal lainnya. Terlepas dari sungguh-sungguh atau kedok, ini soal tren dan proses yang sedang terjadi pada bangsa ini menuju ke arah perbaikan birokrasi. Menggeser stigma dan paradigma lama yang kurang baik tentang birokrat.
LAYU SEBELUM BERKEMBANG
Setelah terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI ketujuh, saya mempunyai keyakinan bahwa tren ini akan terus berlanjut ke daerah-daerah yang akan melangsungkan Pilkada tahun 2015 dan setelahnya. Teorinya gampang: calon kepala daerah yang mempunyai semangat ala Jokowi akan maju dan sebaliknya bagi calon yang pesimis untuk “bebas bergerak” (baca: KKN) di masa pemerintahan Joko Widodo. Setelah terpilih pun, kepala daerah tersebut akan (atau terpaksa) menyesuaikan dengan gaya pemerintah Presiden. Wajar dan logis, bukan? Keyakinan bahwa hal ini akan terjadilah yang membuat sekelompok legislatif dan eksekutif getol mengesahkan RUU Pilkada untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD. Hitung-hitungannya sederhana: calon terpilih akan lebih mudah diprediksi, dirancang dan dikontrol plus bertanggung jawab penuh kepada DPRD. Mengantisipasi munculnya kepala daerah yang mbalelo seperti Ahok kepada Gerindra. Harapan saya sejenak melayu sebelum berkembang. Sedikit pesimis menanti perubahan di daerah saya , meski sekali lagi saya katakan bahwa tidak ada yang benar-benar absolut di dunia ini karena selalu ada deviasi. Siapa pencipta hukum deviasi? Tuhan semesta alam.
Sumber : http://ift.tt/1t3wbdd