Jangan Ragu Laporkan Tindak Kekerasan Pada Anak!
Cukup lama saya tidak aktif berkompasiana, pasalnya ada suatu hal yang sedang saya lakukan dan perlu waktu panjang serta konsentrasi yang cukup. Meski minggu jelang libur Natal dan akan mengakhiri tahun 2014 seharusnya diisi dengan hal yang menyenangkan apalagi kita baru saja memperingati hari Ibu 2 hari yang lalu, saya berharap tulisan saya tetap berkenan dan memberi manfaat bagi yang bersedia membaca.
Ada peristiwa miris dan cukup tragis dilakukan seorang ibu kandung terhadap putrinya. Beberapa minggu yang lalu, saya sedang berusaha menolong seorang anak, sebut saja Jelita, yang mengalami penganiayaan dari ibunya. Alkisah, Jelita mendapat pinjaman handphone guna menunjang pelajarannya di sekolah.
Sekolah mewajibkan penggunaan laptop atau handphone yang bisa mengakses internet guna tugas dan penggalian pelajaran di kelas. Sementara Jelita ini sudah dilarang ibunya menggunakan handphone sejak ia tinggal bersama ibunya. Dahulu Jelita tinggal bersama kakeknya. Sejak ribut dengan kakeknya, si Jelita ini diambil paksa ibunya dari rumah kakeknya berikut surat-surat legal semisal akte kelahiran, ijazah, dll. Ibunya melarang Jelita menggunakan hape dengan alasan kuatir Jelita berpacaran dan mengalami kejadian serupa dengan ibunya.
Ibunya ini mengalami masa lalu yang buruk. Ia berhubungan gelap dan tinggal bersama dengan papa Jelita yang telah mempunyai istri dengan 2 orang anak. Dalam tinggal bersama tsb, ibu Jelita ini sering ribut/berkelahi dan berujung dengan pemukulan oleh papa Jelita dengan sabetan ban pinggang. Singkat cerita, ibunda Jelita melarikan diri dan mengungsi di rumah keluarga di Sumatera. Di kota inilah ibu Jelita mengisi hari-harinya dengan pergaulan yang tidak baik.
Di kemudian hari, ia menjalin hubungan kembali dengan seseorang yang sudah beristri. Dan berujung dengan lahirnya adik Jelita, sebut saja si Cantik. Meski hubungan mereka akhirnya terbuka dan diketahui istri sah papa si Cantik, lelaki ini tetap berjanji membiayai seluruh keperluan dan kehidupan si Cantik hingga dewasa nanti. Dengan tinggal bersama ibunya, otomatis biaya kehidupan sehari-hari harus dicukupkan bersama, dan tidak heran ada perbedaan perlakuan antara Jelita dan Cantik.
Kembali ke topik, dalam suatu hari tanpa sengaja Jelita yang sedang menggunakan hape ketahuan oleh ibunya. Meski sudah meminta maaf, ibunya tidak perduli. Keesokan harinya, ibunya memanggil Jelita di kamarnya dan mengunci kamar dari dalam. Mulailah ia memarahi, memaki-maki, menggetok kepala Jelita dan menampar dengan keras pipi kanan dan kiri bergantian sampai mengalir darah akibat mimisan. Sambil menahan darah yang mengalir deras dengan tangannya, ibunya ini melanjutkan dengan menjambak rambutnya dan memotong rambut Jelita sebanyak 2 kali. Kemudian Jelita disabet dengan ban pinggang dua kali. Berlanjut dengan akan memotong kembali rambutnya. Pada guntingan ke tiga kali inilah, Jelita melawan dengan memegang tangan ibunya sementara tangan yang satu lagi digunakan untuk membuka anak kunci pintu. Bersamaan dengan itu ada telpon masuk, maka Jelita terhindar mendapat siksaan lebih lanjut.
Keesokan harinya, keluarga dan kakek Jelita mengunjunginya. Sebelumnya, Jelita telah mengirim sms untuk kabur kepada pamannya. Pada kunjungan tersebut, ternyata ibunda Jelita tidak segan menggetok kepala Jelita kembali. Melihat situasi yang panas, keluarga meminta Jelita diajak menenangkan diri ke rumah kakeknya.
Setelah mampir dan mendengar penuturan mereka, saya merasa tidak baik dan berbahaya jika Jelita dikembalikan ke rumah ibunya. Tapi tidak ada keluarga yang berani menampung Jelita. Maka atas persetujuan keluarga tsb, saya memberanikan diri menampung Jelita sambil mencari info tentang Komnas Perlindungan Anak (Komnas Anak).
Hari berikutnya kami menyambangi Komnas Anak tsb yang terletak di Jl. TB Simatupang no. 33, Jakarta Selatan. Di komnas Anak inilah kami awalnya berkonsultasi, sampai akhirnya penyuluh membuatkan laporan berupa Surat Tanda Penerimaan Pengaduan. Komnas Anak menganjurkan kami segera memroses pelaporan dengan menghubungi Polres terdekat domisili kejadian. Juga memberi rujukan agar kami mendapat pendampingan dari LPA (Lembaga Perlindungan Anak) terdekat.
LPA ini merupakan LSM yang terdiri dari para sukarelawan yang memberikan bimbingan dan pengarahan dalam memroses suatu tindak kekerasan terhadap anak. LPA ini tersebar di semua propinsi di Indonesia, dari LPA inilah cikal bakal terbentuknya Komnas Anak yang saat ini diketuai oleh Arist Merdeka Sirait, dengan Dewan Pembina DR. Seto Mulyadi (mantan ketua Komnas Anak yang akrab dipanggil kak Seto).
Komnas Anak berdiri pada 26 Oktober 1998. Gedung Komnas Anak meski berupa bangunan tua dan sederhana (lihat pic.) yang dipinjamkan oleh kementerian Sosial, di sinilah kasus-kasus kekerasan pada anak berhasil ditangani dan berujung hukuman bagi pelaku.
Meski pelaku menggunakan lawyer hebat dan ternama sekalipun, belum pernah terjadi penindakan atas kasus kekerasan pada anak gagal. Jadi, hal inilah yang belum banyak mendapat publikasi di Indonesia bahwa kasus kekerasan pada anak memiliki pasal pidana yang cukup berat bagi pelakunya sejak UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak diberlakukan.
Beberapa tahapan yang bisa ditempuh untuk mengungkap kasus kekerasan pada anak sbb;
Untuk kasus Jelita ini, pelanggaran pidana yang dilakukan ibunya dapat dikenakan pasal 80 UU Perlindungan Anak yang ancaman pidananya sbb:
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengajak para orangtua belajar menghargai anak sebagai karunia yang dititipkan dan dipercayakan agar dilindungi, dihargai dan diberikan hak memperoleh pendidikan yang memadai serta dibesarkan hingga menjadi generasi penerus keluarga yang membanggakan.
Ajari anak-anak dengan pena, jangan dengan pedang……
Ajari anak-anak dengan pendidikan yang humanis, jangan dengan premanisme….
Ajari anak-anak dengan kejujuran, jangan dengan kemunafikan…
Ajari anak-anak dengan budaya amanah, jangan dengan budaya koruptif….
Ajari anak-anak dengan keadilan, jangan dengan ketidak-adilan…..
(kutipan dari artikel Pak Presiden berikan kepentingan terbaik pada anak Indonesia - salah seorang relawan Komnas Anak)
Selamat malam Indonesia
Sumber : http://ift.tt/1B5ERFa
Ada peristiwa miris dan cukup tragis dilakukan seorang ibu kandung terhadap putrinya. Beberapa minggu yang lalu, saya sedang berusaha menolong seorang anak, sebut saja Jelita, yang mengalami penganiayaan dari ibunya. Alkisah, Jelita mendapat pinjaman handphone guna menunjang pelajarannya di sekolah.
Sekolah mewajibkan penggunaan laptop atau handphone yang bisa mengakses internet guna tugas dan penggalian pelajaran di kelas. Sementara Jelita ini sudah dilarang ibunya menggunakan handphone sejak ia tinggal bersama ibunya. Dahulu Jelita tinggal bersama kakeknya. Sejak ribut dengan kakeknya, si Jelita ini diambil paksa ibunya dari rumah kakeknya berikut surat-surat legal semisal akte kelahiran, ijazah, dll. Ibunya melarang Jelita menggunakan hape dengan alasan kuatir Jelita berpacaran dan mengalami kejadian serupa dengan ibunya.
Ibunya ini mengalami masa lalu yang buruk. Ia berhubungan gelap dan tinggal bersama dengan papa Jelita yang telah mempunyai istri dengan 2 orang anak. Dalam tinggal bersama tsb, ibu Jelita ini sering ribut/berkelahi dan berujung dengan pemukulan oleh papa Jelita dengan sabetan ban pinggang. Singkat cerita, ibunda Jelita melarikan diri dan mengungsi di rumah keluarga di Sumatera. Di kota inilah ibu Jelita mengisi hari-harinya dengan pergaulan yang tidak baik.
Di kemudian hari, ia menjalin hubungan kembali dengan seseorang yang sudah beristri. Dan berujung dengan lahirnya adik Jelita, sebut saja si Cantik. Meski hubungan mereka akhirnya terbuka dan diketahui istri sah papa si Cantik, lelaki ini tetap berjanji membiayai seluruh keperluan dan kehidupan si Cantik hingga dewasa nanti. Dengan tinggal bersama ibunya, otomatis biaya kehidupan sehari-hari harus dicukupkan bersama, dan tidak heran ada perbedaan perlakuan antara Jelita dan Cantik.
Kembali ke topik, dalam suatu hari tanpa sengaja Jelita yang sedang menggunakan hape ketahuan oleh ibunya. Meski sudah meminta maaf, ibunya tidak perduli. Keesokan harinya, ibunya memanggil Jelita di kamarnya dan mengunci kamar dari dalam. Mulailah ia memarahi, memaki-maki, menggetok kepala Jelita dan menampar dengan keras pipi kanan dan kiri bergantian sampai mengalir darah akibat mimisan. Sambil menahan darah yang mengalir deras dengan tangannya, ibunya ini melanjutkan dengan menjambak rambutnya dan memotong rambut Jelita sebanyak 2 kali. Kemudian Jelita disabet dengan ban pinggang dua kali. Berlanjut dengan akan memotong kembali rambutnya. Pada guntingan ke tiga kali inilah, Jelita melawan dengan memegang tangan ibunya sementara tangan yang satu lagi digunakan untuk membuka anak kunci pintu. Bersamaan dengan itu ada telpon masuk, maka Jelita terhindar mendapat siksaan lebih lanjut.
Keesokan harinya, keluarga dan kakek Jelita mengunjunginya. Sebelumnya, Jelita telah mengirim sms untuk kabur kepada pamannya. Pada kunjungan tersebut, ternyata ibunda Jelita tidak segan menggetok kepala Jelita kembali. Melihat situasi yang panas, keluarga meminta Jelita diajak menenangkan diri ke rumah kakeknya.
Setelah mampir dan mendengar penuturan mereka, saya merasa tidak baik dan berbahaya jika Jelita dikembalikan ke rumah ibunya. Tapi tidak ada keluarga yang berani menampung Jelita. Maka atas persetujuan keluarga tsb, saya memberanikan diri menampung Jelita sambil mencari info tentang Komnas Perlindungan Anak (Komnas Anak).
Hari berikutnya kami menyambangi Komnas Anak tsb yang terletak di Jl. TB Simatupang no. 33, Jakarta Selatan. Di komnas Anak inilah kami awalnya berkonsultasi, sampai akhirnya penyuluh membuatkan laporan berupa Surat Tanda Penerimaan Pengaduan. Komnas Anak menganjurkan kami segera memroses pelaporan dengan menghubungi Polres terdekat domisili kejadian. Juga memberi rujukan agar kami mendapat pendampingan dari LPA (Lembaga Perlindungan Anak) terdekat.
LPA ini merupakan LSM yang terdiri dari para sukarelawan yang memberikan bimbingan dan pengarahan dalam memroses suatu tindak kekerasan terhadap anak. LPA ini tersebar di semua propinsi di Indonesia, dari LPA inilah cikal bakal terbentuknya Komnas Anak yang saat ini diketuai oleh Arist Merdeka Sirait, dengan Dewan Pembina DR. Seto Mulyadi (mantan ketua Komnas Anak yang akrab dipanggil kak Seto).
Komnas Anak berdiri pada 26 Oktober 1998. Gedung Komnas Anak meski berupa bangunan tua dan sederhana (lihat pic.) yang dipinjamkan oleh kementerian Sosial, di sinilah kasus-kasus kekerasan pada anak berhasil ditangani dan berujung hukuman bagi pelaku.
Meski pelaku menggunakan lawyer hebat dan ternama sekalipun, belum pernah terjadi penindakan atas kasus kekerasan pada anak gagal. Jadi, hal inilah yang belum banyak mendapat publikasi di Indonesia bahwa kasus kekerasan pada anak memiliki pasal pidana yang cukup berat bagi pelakunya sejak UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak diberlakukan.
Beberapa tahapan yang bisa ditempuh untuk mengungkap kasus kekerasan pada anak sbb;
- Setelah korban berhasil lepas dari pelaku, segera rujuk ke rumah sakit terdekat dan melakukan pemeriksaan dengan sebutan ‘berobat’. Pada tahap ini, dokter yang bertugas akan mengamati dan mencatat tanda-tanda kekerasan yang terjadi di sekujur tubuh. Simpan bukti kuitansi dan kartu berobat.
- Hubungi LPA terdekat atau bila memungkinkan ke Komnas Anak. Dari Komnas Anak, konselor akan memberikan bimbingan dan bantuan kemana LPA terdekat yang dapat memberikan pendampingan pemrosesan selama di Polres.
- LPA akan membawa korban ke polres terdekat lokasi kejadian untuk melakukan pelaporan, pemberkasan, pemeriksaan beserta pendampingan hingga selesainya masalah. Kuitansi berobat akan diminta polisi untuk mengambil laporan kejadian dari kondisi fisik korban dan mungkin saja dilakukan visum bila dirasa perlu pendalaman bukti.
Untuk kasus Jelita ini, pelanggaran pidana yang dilakukan ibunya dapat dikenakan pasal 80 UU Perlindungan Anak yang ancaman pidananya sbb:
- Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
- Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
- Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengajak para orangtua belajar menghargai anak sebagai karunia yang dititipkan dan dipercayakan agar dilindungi, dihargai dan diberikan hak memperoleh pendidikan yang memadai serta dibesarkan hingga menjadi generasi penerus keluarga yang membanggakan.
Ajari anak-anak dengan pena, jangan dengan pedang……
Ajari anak-anak dengan pendidikan yang humanis, jangan dengan premanisme….
Ajari anak-anak dengan kejujuran, jangan dengan kemunafikan…
Ajari anak-anak dengan budaya amanah, jangan dengan budaya koruptif….
Ajari anak-anak dengan keadilan, jangan dengan ketidak-adilan…..
(kutipan dari artikel Pak Presiden berikan kepentingan terbaik pada anak Indonesia - salah seorang relawan Komnas Anak)
Selamat malam Indonesia
Sumber : http://ift.tt/1B5ERFa