Memahami Semiotika Propaganda Pemira Kampus
Pemilihan Raya atau yang biasa disingkat Pemira di berbagai Kampus adalah sebuah tradisi tahunan pemilihan perangkat lembaga kemahasiswaan. Pemira dapat dianggap sebagai miniatur pemilu dengan lingkup fakultas atau universitas. Layaknya pemilu pada umumnya, dalam pemira terdapat berbagai calon perangkat lembaga kemahasiswaan, mulai dari eksekutif hingga legislatif. Para calon ini, demi mendongkrak perolehan suara dalam pemira, berbagai cara tentu dilakukan untuk membangun citra yang positif di mahasiswa lain. Membicarakan simbiosis antara dunia citra dan politik yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu tentu tidak akan ada habisnya. Hal ini karena citra sendiri dibangun di dalam ruang politik dengan aneka representasi ideologi pada tingkat visual. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas khusus pada struktur tanda komunikasi politik dalam Pemira Kampus melalui kode-kode semiotika yang biasa dibangun di dalamnya.
Dalam era digital saat ini, pemberian sebuah tanda, citra (image), dan media komunikasi adalah sebuah mesin hidup yang di dalamnya secara aktif diproduksi ide, gagasan, dan berbagai ideologi tertentu untuk berbagai kepentingan. Di era ini juga mahasiswa melalui penguasaan teknologinya memiliki kesempatan untuk manipulasi dan simulasi teknologis citra demi membentuk berbagai realitas palsu.
Pada kancah perpolitikan kampus, biasanya terdapat dua sisi pecitraan. Pertama, pecitraan positif pada diri, seperti pelukisan diri, kelompok, partai, etnis, atau agama sebagai sosok yang baik, jujur, mulia, pintar, demokratis, bertanggung jawab, serta berjiwa sosial. Kedua, pecitraan negatif pada orang lain atau lawan dengan berbagai sifat buruk seperti antisosial, pembohong, emosional, perusak, tidak bertanggung jawab, atau mengungkit-ungkit masa kelam lawan politiknya. Pecitraan kedua ini biasanya lekat akan makna “Black Campaign”.
Berbagai media kampanye yang sering digunakan mahasiswa dalam membangun citra diantaranya adalah spanduk, poster, baliho, brosur, dan social media (facebook, twitter, path, line, bbm, dll). Dari berbagai media tersebut dibangunlah sebuah citra -baik citra positif atau negatif- melalui visualisasi gambar atau teks. Menurut Arthur Asa Berger setidaknya ada enam aspek visual yang harus diperhitungkan dalam setiap analisis atau pembacaan teks[1] . Beberapa aspek tersebut adalah warna, ukuran, ruang, kontras, bentuk, dan tekstur.
Warna dapat merepresentasikan suatu makna tertentu, sebagai contoh merah biasanya dikaitkan dengan keberanian dan ketegasan, kuning adalah cahaya matahari yang meberi tanda kehidupan, hijau dikaitkan dengan dedaunan atau pepohonan sehingga terkesan sejuk, sedangkan warna biru lekat dengan warna langit yang terkesan tenang dan nyaman. Terkadang warna pada pemira fakultas juga disesuaikan dengan karakter fakultas tersebut, misalnya saja di sebuah universitas warna merah identik dengan fakultas hukum, biru dengan fakultas kelautan/perikanan, hijau dengan fakultas kehutanan/pertanian, dll. Ukuran, khususnya untuk benda-benda yang terdapat dalam media kampanye biasanya diberikan dalam porsi yang lebih besar agar lebih mudah diingat, misalnya saja buku sebagai pertanda memiliki budaya keilmuan yang tinggi, spanduk aksi pertanda peka terhadap isu-isu sosial di masyarakat, atau piala-piala yang pernah diraih sebagai cerminan kompetensi dan kualitas dirinya. Ruang, penggunaan ruang kosong atau isi memiliki pengaruh dalam hal pembangunan citra objek utama. Ruang kosong akan memberikan kesan tenang, elegan, ekslusif dan memudahkan orang untuk fokus pada satu objek, sehingga objek utama akan terkesan lebih dominan. Sebaliknya ruang ramai dan sempit dapat mengalihkan perhatian orang kepada objek lain disekitar objek utama. Kontras, digunakan sebagai alat untuk memfokuskan perhatian pada hal yang dianggap penting, misalnya dengan cara menggelapkan cahaya pada bagian yang dianggap tidak terlalu penting. Mahasiswa yang melihatnya pun akan langsung fokus pada gambar yang lebih terang. Bahasa tubuh dan gestur, seperti senyum, lambaian tangan, kepalan tangan, memegang buku, berjalan, berdiskusi, adalah salah satu bentuk propaganda politik untuk menampilkan “lukisan positif” para calon. Teks, kalimat-kalimat yang menyertai gambar memiliki makna yang sangat penting dalam hal pembentukan citra. Disamping visi-misi para calon, berbagai teks yang sering digunakan adalah kata mutiara/quotes untuk menunjukan ideologinya. Selain itu acap kali juga ditampilkan berbagai macam pendapat tentang para calon dari tokoh kampus sesama aktivis atau para senior yang dahulu pernah memiliki jabatan dalam lembaga kemahasiswaan. Tidak jarang pula teks yang ditampilkan menyentil hal-hal negatif yang dimiliki lawan politiknya.
Lalu seberapa jauh media propaganda mendapatkan perhatian dari publik?
Proses pembangunan citra melalui berbagai media komunikasi tersebut biasanya secara tidak sadar diterima secara mentah-mentah sebagai taken for granted. Mekanisme pemaksaan simbolik dalam propaganda seperti ini berlangsung sangat halus sehingga orang yang melihatnya pun tidak merasakan adanya pemaksaan, bahkan terkadang memberi pengakuan secara cuma-cuma atas propaganda tersebut. Kemampuan propaganda dalam menampakan dan menyembunyikan realitas -dengan kata lain mendefinisikan realitas- serta mempengaruhi kesadaran masyarakat melalui “bingkai realitas” tersebut, merupakan ukuran bagi keberhasilan propaganda[2] . Sehingga ketika para mahasiswa mulai terpengaruh dan memberi pengakuan, maka pada saat ini propaganda telah berhasil mencapai tujuan utamanya.
Padahal dalam propaganda, kejadian, informasi dan fakta negatif telah diberikan topeng yang sedemikian rupa sehingga yang ditampilkan bukanlah representasi dari realitas yang sesungguhnya tetapi representasi dalam bentuk “kemasan realitas”. Bagaimanapun propaganda berusaha melukiskan gambaran sosok seseorang, dia akan selalu menjadi sebuah distorsi realitas dan menyamarkannya. Dengan demikian propaganda bukanlah cermin akan sebuah realitas, tetapi mesin penopeng realitas.
Sumber : http://ift.tt/1vocjU0
Dalam era digital saat ini, pemberian sebuah tanda, citra (image), dan media komunikasi adalah sebuah mesin hidup yang di dalamnya secara aktif diproduksi ide, gagasan, dan berbagai ideologi tertentu untuk berbagai kepentingan. Di era ini juga mahasiswa melalui penguasaan teknologinya memiliki kesempatan untuk manipulasi dan simulasi teknologis citra demi membentuk berbagai realitas palsu.
Pada kancah perpolitikan kampus, biasanya terdapat dua sisi pecitraan. Pertama, pecitraan positif pada diri, seperti pelukisan diri, kelompok, partai, etnis, atau agama sebagai sosok yang baik, jujur, mulia, pintar, demokratis, bertanggung jawab, serta berjiwa sosial. Kedua, pecitraan negatif pada orang lain atau lawan dengan berbagai sifat buruk seperti antisosial, pembohong, emosional, perusak, tidak bertanggung jawab, atau mengungkit-ungkit masa kelam lawan politiknya. Pecitraan kedua ini biasanya lekat akan makna “Black Campaign”.
Berbagai media kampanye yang sering digunakan mahasiswa dalam membangun citra diantaranya adalah spanduk, poster, baliho, brosur, dan social media (facebook, twitter, path, line, bbm, dll). Dari berbagai media tersebut dibangunlah sebuah citra -baik citra positif atau negatif- melalui visualisasi gambar atau teks. Menurut Arthur Asa Berger setidaknya ada enam aspek visual yang harus diperhitungkan dalam setiap analisis atau pembacaan teks[1] . Beberapa aspek tersebut adalah warna, ukuran, ruang, kontras, bentuk, dan tekstur.
Warna dapat merepresentasikan suatu makna tertentu, sebagai contoh merah biasanya dikaitkan dengan keberanian dan ketegasan, kuning adalah cahaya matahari yang meberi tanda kehidupan, hijau dikaitkan dengan dedaunan atau pepohonan sehingga terkesan sejuk, sedangkan warna biru lekat dengan warna langit yang terkesan tenang dan nyaman. Terkadang warna pada pemira fakultas juga disesuaikan dengan karakter fakultas tersebut, misalnya saja di sebuah universitas warna merah identik dengan fakultas hukum, biru dengan fakultas kelautan/perikanan, hijau dengan fakultas kehutanan/pertanian, dll. Ukuran, khususnya untuk benda-benda yang terdapat dalam media kampanye biasanya diberikan dalam porsi yang lebih besar agar lebih mudah diingat, misalnya saja buku sebagai pertanda memiliki budaya keilmuan yang tinggi, spanduk aksi pertanda peka terhadap isu-isu sosial di masyarakat, atau piala-piala yang pernah diraih sebagai cerminan kompetensi dan kualitas dirinya. Ruang, penggunaan ruang kosong atau isi memiliki pengaruh dalam hal pembangunan citra objek utama. Ruang kosong akan memberikan kesan tenang, elegan, ekslusif dan memudahkan orang untuk fokus pada satu objek, sehingga objek utama akan terkesan lebih dominan. Sebaliknya ruang ramai dan sempit dapat mengalihkan perhatian orang kepada objek lain disekitar objek utama. Kontras, digunakan sebagai alat untuk memfokuskan perhatian pada hal yang dianggap penting, misalnya dengan cara menggelapkan cahaya pada bagian yang dianggap tidak terlalu penting. Mahasiswa yang melihatnya pun akan langsung fokus pada gambar yang lebih terang. Bahasa tubuh dan gestur, seperti senyum, lambaian tangan, kepalan tangan, memegang buku, berjalan, berdiskusi, adalah salah satu bentuk propaganda politik untuk menampilkan “lukisan positif” para calon. Teks, kalimat-kalimat yang menyertai gambar memiliki makna yang sangat penting dalam hal pembentukan citra. Disamping visi-misi para calon, berbagai teks yang sering digunakan adalah kata mutiara/quotes untuk menunjukan ideologinya. Selain itu acap kali juga ditampilkan berbagai macam pendapat tentang para calon dari tokoh kampus sesama aktivis atau para senior yang dahulu pernah memiliki jabatan dalam lembaga kemahasiswaan. Tidak jarang pula teks yang ditampilkan menyentil hal-hal negatif yang dimiliki lawan politiknya.
Lalu seberapa jauh media propaganda mendapatkan perhatian dari publik?
Proses pembangunan citra melalui berbagai media komunikasi tersebut biasanya secara tidak sadar diterima secara mentah-mentah sebagai taken for granted. Mekanisme pemaksaan simbolik dalam propaganda seperti ini berlangsung sangat halus sehingga orang yang melihatnya pun tidak merasakan adanya pemaksaan, bahkan terkadang memberi pengakuan secara cuma-cuma atas propaganda tersebut. Kemampuan propaganda dalam menampakan dan menyembunyikan realitas -dengan kata lain mendefinisikan realitas- serta mempengaruhi kesadaran masyarakat melalui “bingkai realitas” tersebut, merupakan ukuran bagi keberhasilan propaganda[2] . Sehingga ketika para mahasiswa mulai terpengaruh dan memberi pengakuan, maka pada saat ini propaganda telah berhasil mencapai tujuan utamanya.
Padahal dalam propaganda, kejadian, informasi dan fakta negatif telah diberikan topeng yang sedemikian rupa sehingga yang ditampilkan bukanlah representasi dari realitas yang sesungguhnya tetapi representasi dalam bentuk “kemasan realitas”. Bagaimanapun propaganda berusaha melukiskan gambaran sosok seseorang, dia akan selalu menjadi sebuah distorsi realitas dan menyamarkannya. Dengan demikian propaganda bukanlah cermin akan sebuah realitas, tetapi mesin penopeng realitas.
[1] Lihat, Arthur Asa Berger, Sign in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, 1984, New York: Longman, hal. 33-37
[2] Lihat, Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, 2008, Jakarta: Pustaka LP3EI, hal. 55
Sumber : http://ift.tt/1vocjU0