Suara Warga

Revolusi Mental Jokowi-JK Sebaiknya Ada Badan Pelaksana

Artikel terkait : Revolusi Mental Jokowi-JK Sebaiknya Ada Badan Pelaksana

Pada 8 September 2014, saya bersilaturrahim dengan Buya Prof Dr Syafii Maarif, yang hadir di Kompolnas dalam rangka sidang etik terhadap Adrianus Meliala. Mewakili aktivis 77/78, diantaranya saya menyampaikan proposal pembentukan Badan Koordinasi Pelaksana Revolusi Mental.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tema kampanye Jokowi-JK dalam pemilihan Presiden RI 2014 ialah Revolusi Mental. Kemenangan Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammd Jusuf Kalla dalam pemilihan Presiden RI yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan digugatan Prabowo-Hatta ditolak, berarti kemenangan Jokowi-JK dalam pilpres, rakyat Indonesia mendukung program Revolusi Mental.

Konsekuensinya, program Revolusi Mental harus dilaksanakan, dan sebaiknya menjadi agenda penting Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam pembangunan bangsa Indonesia 5 (lima) tahun ke depan.

Revolusi mental merupakan suatu konsep untuk melakukan perubahan secara cepat, tepat dan damai tentang cara berpikir, cara pandang, tingkah laku, perangai, tabiat dan prilaku . Konsep semacam Revolusi Mental pernah diucapkan dan dilaksanakan Nabi Muhammad SAW setelah dilantik menjadi Rasul Tuhan dengan sabdanya “Innamaa buistu liutammima makaariamal akhlaaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”).

Selain itu, konsep Revolusi Mental, telah dikemukakan dan diperjuangkan Mahatma Gandhi, bahkan menurut Antropolog Bachtiar Alam bahwa konsep Revolusi Mental adalah konsep Mahatma Gandhi (Liputan 6, Antropolog UI: Revolusi Mental adalah Konsep Mahatma Gandhi, 01 Juli 2014).

Bung Karno, founding father Indonesia dan proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, telah mengemukakan pentingnya “Revolusi Mental” serta “nation and character building”. Beliau mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi Mental” (Timur Subangun, Online Berdikari, Revolusi Mental Ala Bung Karno, 07 Juli 20914).

Esensi dari Revolusi Mental menurut Bung Karno adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. “Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”.

Dengan demikian, konsep Revolusi Mental adalah gagasan lama yang sangat baik, yang sekarang ini merupakan conditio sine quanon untuk diwujudkan oleh seluruh bangsa Indonesia.

Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan yang mendasari pentingnya dilaksanakan Revolusi Mental.

Pertama, dalam bidang ideologi, sepatutnya Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan UUD 1945, merupakan petunjuk dan rujukan utama dalam melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan tujuan Indonesia merdeka. Dalam realitas, Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan UUD 1945, hanya diucapkan dan belum diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, dalam bidang politik, sejatinya yang berdaulat adalah rakyat. Akan tetapi dalam kenyataan yang kita rasakan dan saksikan bahwa yang berdaulat bukan rakyat, sehingga konsep berdaulat dalam bidang politik yang pernah diungkapkan Bung Karno dalam Tri Sakti belum menjadi kenyataan.

Ketiga, dalam bidang ekonomi, seharusnya Indonesia bisa berdikari sesuai Tri Sakti Bung Karno yaitu berdikari dalam bidang ekonomi karena Indonesia pada hakikatnya hebat dari aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam. Segalanya Indonesia miliki, tetapi dalam kenyataan Indonesia justru menjadi sangat tergantung pada pihak asing dan bahkan menjadi salah satu negara pengutang terbesar di dunia.

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan sejak Orde Baru sampai di era Orde Reformasi dengan sistem liberalisme dan persaingan bebas (free fight competition), yang menikmati hasil pembangunan ekonomi, hanya golongan kecil dari bangsa Indonesia, sehingga terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang amat lebar, dan lebih memprihatinkan lagi negara absen untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keempat, dalam bidang sosial, kondisinya sangat memprihatinkan. Pendidikan mayoritas bangsa Indonesia hanya tamat SD dan tidak tamat SLTP. Menurut BPS, dari total angkatan kerja tahun 2013 sebanyak 121,19 juta orang, sekitar 45 persen hanya berpendidikan SD.

Selain itu, korupsi sudah menjadi budaya dari hampir seluruh bangsa Indonesia. Kejujuran menjadi barang langka dikalangan bangsa Indonesia. Korupsi tidak lagi hanya diamalkan kalangan eksekutif (pemerintahan) di semua tingkatan, tetapi telah diamalkan secara luas di kalangan legislatif, dan yudikatif . Sangat menyedihkan, karena korupsi tidak hanya dilakukan para elit, tetapi juga rakyat jelata melalui politik uang dalam pemilu.

Begitu pula, disiplin dalam arti yang luas nyaris tidak ada di bangsa Indonesia. Disiplin dalam berlalu lintas sebagai contoh, sangat memprihatinkan. Para pengendara motor, seenaknya melintasi jalan tanpa peduli rambu-rambu lalu lintas.

Demikian pula, disiplin antri belum tumbuh disebagian besar rakyat Indonesia, sehingga terjadi musibah di kediaman Pak JK di Makassar. Juga disiplin waktu sangat tidak diamalkan bangsa Indonesia. Pada hal merupakan kunci untuk meraih kesuksesan dan kemajuan. Dan banyak lagi persoalan sosial yang amat mengkhawatirkan dan harus segera diatasi.

Kelima, dalam bidang hukum, penegakannya masih menyedihkan karena tak obahnya pisau, hanya tajam dibawah dan tumpul di atas. Hukum belum adil kepada seluruh pencari keadilan. Hakim masih bisa di sogok, begitu pula polisi dan jaksa. Pengacara tidak jarang menjadi operator mafia peradilan.

Untuk memperbaiki bangsa Indonesia seperti digambarkan diatas, maka merupakan kebutuhan yang amat mendesak (conditio sine quanon) untuk dibentuk Badan Koordinasi Pelaksana Revolusi Mental (BKPRM).

Allahu a’lam bisshawab




Sumber : http://ift.tt/1s5DIeX

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz