Relawan GANTI Pantura Ingatkan Kedaulatan Ditangan Rakyat Itu Mahal!
Relawan GANTI Pantura Ingatkan Kedaulatan Ditangan Rakyat Itu Mahal!
Gebang Cirebon, 9 September 2014.
Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Ruu Pilkada) pada 25 September 2014 akan disahkan. Intinya Pilkada tidak lagi mengatur pemilihan secara langsung dengan pilihan rakyat di daerah, melainkan melalui pemilihan perwakilan di setiap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebelumnya, jauh hari sebelum Pilpres 2014 oleh KPU yang diperkuat dengan putusan MK menetapkan pasangan nomor 2 Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih masabakti 2014-2019. RUU Pilkada yang diajukan Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri ke DPR untuk dilakukan revisi dari pemilihan langsung oleh rakyat diganti dengan pemilihan oleh DPRD, DPR waktu itu menolaknya.
Sekarang dengan alasan yang dicari-cari, mereka yang berkoalisi di Koalisi Merah Putih, yang telah menerima putusan MK, justru UU Pilkada oleh mereka dikotak-katik yang menjadi RUU Pilkada dengan mengubur pilihan rakyat secara langsung dengan pemilihan secara perwakilan melalui DPRD. Korban dari RUU Pilkada jika pada 25 September nanti disahkan DPR, maka kemungkinan besar tidak akan ada lagi Calon Gubernur dan Wagub, Calon Bupati dan Wabup, serta Calon Walikota dan Wakot, dari usulan rakyat yang disebut Calon Independen. Seperti saat Eggy Sujana mencalonkan jadi Cawagub Jawa Timur, mungkin tidak akan pernah ada lagi.
Jika mau merujuk Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, jelas disitu diamanatkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Bahwa dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, bukan kemudian makna demokratisnya melalui perwakilan dalam hal ini dipilih oleh DPRD, yang menjadi bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan dilaksanakan secara langsung yang bermakna secara langsung oleh rakyat. Kosa kata “langsung” tertuang dalam amanat Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 tentang Pilpres yang berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, tidak ditemui kalimat secara langsung oleh DPRD. Sebab itu, RUU Pilkada tidak lagi menjalankan amanat konstitusi alias inkonstitusional.
Jika menyimak amanat Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), jelas satu proses Pemilu yang dilaksanakan dalam satu sistem dalam pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal ini demi keterkaitan eratnya dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Karena kedaulatan di tangan rakyat jauh mahal ketimbang macam-macam alasan yang dijadikan argumentasi Koalisi Merah Putih di DPR, yang mendistorsi pemilihan secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan secara perwakilan oleh DPRD. Maka Relawan Gerakan Nelayan Tani Indonesia Pantai Utara Laut Jawa (Relawan GANTI Pantura) menyerukan kepada setiap warga bangsa yang punya hak kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia ini, yang menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, patut melakukan perlawanan atas haknya yang dijamin oleh konstitusi negara, dengan melakukan penolakan atas RUU Pilkada untuk diundangkan.
Kedaulatan ada di tangan rakyat, sekali lagi, jauh mahal harganya. Maka bukan karena membela keterpilihan Jokowi dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2014-2019 yang secara konstitusi sudah terpilih. Bukan pula membela Koalisi Partai Pengusung Jokowi-JK yang mempertahankan Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, demi pembangunan bangsa dan negara ke depan yang lebih baik, demi menyelamatkan rakyat dan pemerintahan ke depan yang berkomitmen akan berjuang mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan. Penolakan terhadap RUU Pilkada oleh setiap warga negara menjadi suatu keniscayaan.
Mengingat komunitas kami sebagian besar adalah kaum nelayan, yang saat ada pembatasan penjualan BBM subsidi dengan pemotongan kuota 20% menjadi terhimpit kemiskinan akibat jarang melaut untuk mencari nafkahnya sehari-hari. Relawan GANTI Pantura hanya bisa menyerukan, karena tidaklah mungkin turun aksi dalam rangka menolak RUU Pilkada yang merobek-robek hak konstitusi rakyat tersebut. “Hanya dengan gerakan aksi rakyat secara masif, insya Allah RUU Pilkada tidak akan jadi diundangkan. Untuk itu, kami hanya bisa kirim do’a untuk perjuangan para anak bangsa yang akan turun aksi menolak RUU Pilkada”, kata Teddy Syamsuri, Penasehat Relawan GANTI Pantura dalam keterangannya kepada pers (9/9/2014).
Pada intinya, menurut Teddy yang aktivis KAPPI Angkatan 1966, Relawan GANTI Pantura hanya mengingatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat jauh lebih mahal harganya. “Sebab itu, lawan tirani wakil rakyat di DPR yang membuat RUU Pilkada yang jelas jelas merobek-robek hak konstitusional rakyat dengan memilih Kepala Daerahnya masing-masing, dengan memasung suara rakyat untuk tidak memilihnya. Ini biadab!!”, pungkas Teddy.
Sumber : http://ift.tt/WI8tKG
Gebang Cirebon, 9 September 2014.
Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Ruu Pilkada) pada 25 September 2014 akan disahkan. Intinya Pilkada tidak lagi mengatur pemilihan secara langsung dengan pilihan rakyat di daerah, melainkan melalui pemilihan perwakilan di setiap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebelumnya, jauh hari sebelum Pilpres 2014 oleh KPU yang diperkuat dengan putusan MK menetapkan pasangan nomor 2 Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih masabakti 2014-2019. RUU Pilkada yang diajukan Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri ke DPR untuk dilakukan revisi dari pemilihan langsung oleh rakyat diganti dengan pemilihan oleh DPRD, DPR waktu itu menolaknya.
Sekarang dengan alasan yang dicari-cari, mereka yang berkoalisi di Koalisi Merah Putih, yang telah menerima putusan MK, justru UU Pilkada oleh mereka dikotak-katik yang menjadi RUU Pilkada dengan mengubur pilihan rakyat secara langsung dengan pemilihan secara perwakilan melalui DPRD. Korban dari RUU Pilkada jika pada 25 September nanti disahkan DPR, maka kemungkinan besar tidak akan ada lagi Calon Gubernur dan Wagub, Calon Bupati dan Wabup, serta Calon Walikota dan Wakot, dari usulan rakyat yang disebut Calon Independen. Seperti saat Eggy Sujana mencalonkan jadi Cawagub Jawa Timur, mungkin tidak akan pernah ada lagi.
Jika mau merujuk Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, jelas disitu diamanatkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Bahwa dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, bukan kemudian makna demokratisnya melalui perwakilan dalam hal ini dipilih oleh DPRD, yang menjadi bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan dilaksanakan secara langsung yang bermakna secara langsung oleh rakyat. Kosa kata “langsung” tertuang dalam amanat Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 tentang Pilpres yang berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, tidak ditemui kalimat secara langsung oleh DPRD. Sebab itu, RUU Pilkada tidak lagi menjalankan amanat konstitusi alias inkonstitusional.
Jika menyimak amanat Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), jelas satu proses Pemilu yang dilaksanakan dalam satu sistem dalam pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal ini demi keterkaitan eratnya dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Karena kedaulatan di tangan rakyat jauh mahal ketimbang macam-macam alasan yang dijadikan argumentasi Koalisi Merah Putih di DPR, yang mendistorsi pemilihan secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan secara perwakilan oleh DPRD. Maka Relawan Gerakan Nelayan Tani Indonesia Pantai Utara Laut Jawa (Relawan GANTI Pantura) menyerukan kepada setiap warga bangsa yang punya hak kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia ini, yang menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, patut melakukan perlawanan atas haknya yang dijamin oleh konstitusi negara, dengan melakukan penolakan atas RUU Pilkada untuk diundangkan.
Kedaulatan ada di tangan rakyat, sekali lagi, jauh mahal harganya. Maka bukan karena membela keterpilihan Jokowi dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2014-2019 yang secara konstitusi sudah terpilih. Bukan pula membela Koalisi Partai Pengusung Jokowi-JK yang mempertahankan Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, demi pembangunan bangsa dan negara ke depan yang lebih baik, demi menyelamatkan rakyat dan pemerintahan ke depan yang berkomitmen akan berjuang mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan. Penolakan terhadap RUU Pilkada oleh setiap warga negara menjadi suatu keniscayaan.
Mengingat komunitas kami sebagian besar adalah kaum nelayan, yang saat ada pembatasan penjualan BBM subsidi dengan pemotongan kuota 20% menjadi terhimpit kemiskinan akibat jarang melaut untuk mencari nafkahnya sehari-hari. Relawan GANTI Pantura hanya bisa menyerukan, karena tidaklah mungkin turun aksi dalam rangka menolak RUU Pilkada yang merobek-robek hak konstitusi rakyat tersebut. “Hanya dengan gerakan aksi rakyat secara masif, insya Allah RUU Pilkada tidak akan jadi diundangkan. Untuk itu, kami hanya bisa kirim do’a untuk perjuangan para anak bangsa yang akan turun aksi menolak RUU Pilkada”, kata Teddy Syamsuri, Penasehat Relawan GANTI Pantura dalam keterangannya kepada pers (9/9/2014).
Pada intinya, menurut Teddy yang aktivis KAPPI Angkatan 1966, Relawan GANTI Pantura hanya mengingatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat jauh lebih mahal harganya. “Sebab itu, lawan tirani wakil rakyat di DPR yang membuat RUU Pilkada yang jelas jelas merobek-robek hak konstitusional rakyat dengan memilih Kepala Daerahnya masing-masing, dengan memasung suara rakyat untuk tidak memilihnya. Ini biadab!!”, pungkas Teddy.
Sumber : http://ift.tt/WI8tKG