Suara Warga

KETAKUTAN DAHSYAT KUBU JOKOWI-JK PADA SIDANG GUGATAN PRABOWO-HATTA

Artikel terkait : KETAKUTAN DAHSYAT KUBU JOKOWI-JK PADA SIDANG GUGATAN PRABOWO-HATTA

Euforia massa pendukung Jokowi-JK pada keputusan KPU tanggal 22 Juli 2014 “terhenti” sejenak dengan masuknya gugatan Prabowo-Hatta ke Mahkamah Kontitusi. Ribuan pengguna sosmed kubu Jokowi mem-bully langkah konstitusi tersebut. Tidak hanya massa pendukung, media online yang “pro’ kepada Jokowi pun menghardik dengan beragam headline dan tulisan, upaya menggiring opini yang cermat dan cerdas. Publik hingga detik ini terus dibingungkan pada obyektivitas media, dari media elektronik, cetak, dan online pun harus membutuhkan kecermatan kita dalam memilahnya. Jika anda pro Jokowi-JK tontonlah Metro TV disitu anda akan dimanjakan, jika anda pro Prabowo tontonlah TV ONE disana anda juga disajikan Prabowo-Hatta utuh. Kira-kira itulah dunia persilatan media dalam menjaring pemirsa dan pemerhatinya dalam Pilpres 2014.

Kesimpulan sederhana, media berhasil menjadikan batasan-batasan yang menanggalkan kode etik jurnalistik, Luar biasa.

Entah Bill Gates atau Alvin Toffler yang mengatakan “Siapa menguasai informasi, dia menguasai dunia”. Pola itu benar-benar efektif sempurna dalam penggalangan massa masif. Kartika Dee, seorang kepala bidang Sosmed pendukung Jokowi-JK mendengungkan bahwa perang sosmed belum berhenti, butuh pengawalan hingga MK memutuskan hasil dan melanggengkan Jokowi ke Istana Negara. Sebuah langkah strategis yang tersistem dan terencana, dengan kata kunci : Barangsiapa melihat Jokowi dari sisi berbeda adalah FITNAH. Kita hanya dikalahkan oleh kecurangan. Kalimat tersebut berhasil membius massa pendukung yang aktif di sosmed ataupun tidak, sehingga Sudjiwo Tedjo mengatakan “Pemimpin bertangan besi merontokan nyali, pemimpin yang di ‘nabi’kan merontokan logika. Berada dimanakah anda?

Kini, persoalan sengketa Pilpres 2014 telah memasuki persidangan Mahkamah Konstitusi, mempertemukan Prabowo-Hatta sebagai pemohon dan KPU sebagai termohon. Jelas, bahwa sengketa PHPU ini adalah Prabowo-Hatta versus KPU. Tetapi, diseberang jalan ada ketakutan dahsyat luar biasa yang terus menerus memperolokan langkah prabowo ke MK, opini dibangun hingga alam sadar awam menganggap langkah tersebut inkonstitusional. Pembangunan iklim politik “barbar” yang justru dikonstruksi atas nama demokrasi. Dalam alam demokrasi liberal seperti Indonesia yang dalam koridor dunia ketiga mempertegas bahwasanya demokrasi yang baik dan benar adalah saling pengaruh mempengaruhi, intimidasi, dan transaksional.

Logika sederhana mencermati situasi Pilpres seperti berikut:

1. Jokowi-JK telah diputuskan KPU sebagai pemenang Pilpres dengan perolehan 53% suara nasional dari pasangan Prabowo-Hatta 46% suara nasional.

2. Pasangan Prabowo-Hatta menarik diri dari proses rekapitulasi, karena menganggap proses pemilu tidak Jurdil.



Tanggal 22 Juli 2014 diputuskan sebagai tanggal pengumuman hasil rekapitulasi nasional yang dianggap beberapa pihak “netral” adalah salah langkah KPU. UU Pemilu No 42 Tahun 2008 pasal 158 ayat 2 mengatakan “Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hari pemungutan suara”. Mengapa KPU tidak mengacu pada “rambu” UU ini? Belum lagi dengan pasal 188, 255, dan 256 tentang penghitungan cepat yang dilarang untuk diumumkan. Fakta mengatakan lain, untuk Jakarta saja yang jam 15.00 s/d 16.00 ada beberapa TPS belum selesai penghitungan namun di seberang jalan ada beberapa lembaga survey yang “proklamasi” kemenangan. Atau mungkin mengacu pada WITimur atau WITengah, itu teknis, hanya ahli hitung menghitung yang faham itu.

Darrel Huff dalam bukunya “How to lie with statistics” mengatakan “Themes of the book include “Correlation does not imply causation” and “Using random sampling”. It also shows how statistical graphs can be used to distort reality, for example by truncating the bottom of a line or bar chart, so that differences seem larger than they are, or by representing one-dimensional quantities on a pictogram by two- or three-dimensional objects to compare their sizes, so that the reader forgets that the images do not scale the same way the quantities do”.( Tema buku ini termasuk “Korelasi tidak berarti sebab-akibat” dan “Menggunakan random sampling”. Hal ini juga menunjukkan bagaimana grafik statistik dapat digunakan untuk mendistorsi realitas, misalnya dengan truncating bawah garis atau bar chart, sehingga perbedaan tampak lebih besar dari mereka, atau dengan mewakili jumlah satu dimensi pada pictogram dengan dua atau tiga benda berdimensi untuk membandingkan ukuran mereka, sehingga pembaca lupa bahwa gambar tidak berskala). Artinya, ada legitimasi dalam membuat kebohongan dalam angka-angka quick count.

Titik tekan dari gugatan yang diajukan Prabowo-Hatta adalah pelanggaran-pelanggaran prinsipil KPU, senafas dengan dugaan-dugaan pelanggaran yang mencekam kubu Jokowi. Jika MK menganggap KPU melakukan pelanggaran yang TSM jelas akan berdampak pada hasil putusan tanggal 22 Juli 2014, batal demi hukum. Inilah mengapa massa pendukung Jokowi tidak memberi sedikit pun ruang konstitusi bagi penegakan demokrasi. Salah dapat menjadi benar, dan benar bisa menjadi salah kurang lebih itulah tujuan penguasaan opini yang menghalalkan segala cara, persis dengan apa yang dikatakan Nicollo Machiavelli bahwa tujuan menghalalkan segala cara.

Kubu massa pendukung Jokowi menempatkan diri secara sukarela dan fanatis pada masalah gugatan Prabowo-Hatta, kesan yang ditampilkan dalam sengketa PHPU adalah Prabowo versus Jokowi, atau Prabowo “dikeroyok” Jokowi dan KPU. Mengapa harus ada pengeroyokan? Mengapa harus takut Prabowo ke MK ? ini kepanikan yang irasional dan pretensi, jelas tersirat ada ketakutan pada kenyataan kebenaran yang akan bermunculan.

Persis dengan Argentina Vs Jerman di final Piala Dunia 2014. Argentina hanya didukung oleh warga negara Argentina disana, sementara Jerman di dukung oleh penduduk Brazil yang tidak “rela” musuh bebuyutan mereka Argentina menjadi juara di tanah mereka. Intermezo saja jangan dihiraukan ini.

Ketakutan dahsyat ini membalut mimpi “pejuang” pendukung Jokowi-JK yang buru-buru ingin segera masuk Istana Negara. Langkah pengalihan issue pun di luncurkan dengan membangun kantor transisi, yang saat ini berubah menjadi kantor “Transaksi”, karena ternyata PKB dan Hanura kasak-kusuk minta jatah menteri, yang bertolak belakang dengan kelugasan Jokowi kala debat, “kami tidak akan membagi-bagi kursi dan kue-kue kekuasaan”. Bahkan Jokowi pun kembali meminta Kartika Dee untuk terus menerus militan pada pengikutnya untuk mencecar sosmed, agar opini benar-benar terbangun; langkah Prabowo-Hatta ke MK inkonstitusional!, tidak Ksatria dan legowo, dan seterusnya, pokoknya miring dan tajam menyakiti.

Hukum harus kembali menjadi panglima. MK harus mengembalikan citranya pasca dicabik-cabik mantan ketuanya Akil Mochtar yang banyak terbukti menerima suap ketika menangani sengketa Pemilu Kepala Daerah. Jika MK salah dalam mengambil keputusan, maka politik akan tetap menjadi panglima ketimbang hukum. Jika MK tepat dalam mengambil keputusan, maka MK bukanlah lembaga yang paling benar suci dan netral, tetapi MK telah mengembalikan hukum sebagai panglima. Bahwasanya telah terjadi kecurangan dalam Pilpres 2014. Substansi dari sekedar putusan formal adalah; Terjadi Pelanggaran oleh penyelenggara Pemilu, dan hasil putusannya invalid dan perlu dikaji ulang; dengan pokok inti masalah “terjadi pelanggaran”. Rangkaian hukum yang mengikuti biarlah massa pendukung kedua pasangan yang merangkainya.

Bahwasanya proses sidang PHPU di MK menghasilkan KETAKUTAN DHASYAT KUBU JOKOWI-JK PADA SIDANG GUGATAN PRABOWO-HATTA.




Sumber : http://ift.tt/1sWNBKa

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz