Pilkada Langsung Tanpa Konflik dan Berbiaya Rendah
Polemik yang terjadi saat ini di masyarakat adalah pembahasan RUU Pilkada yang sedang berlangsung di DPR. Tentu saja Pilkada-pilkada yang telah kita lakukan selama kurang lebih 9 tahun memang membutuhkan Evaluasi dan sudah pasti juga membutuhkan banyak perbaikan. Untuk itu tentu tidak ada salahnya bagi DPR melakukan beberapa perbaikan dan perubahan atas UU Pilkada tersebut agar dapat menjadi lebih efektif, lebih maksimal dan lebih bermanfaat. Pandangan seperti ini sudah pasti akan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tapi kemudian yang menjadi masalah adalah Konstelasi Politik pasca Pilpres 2014 kemarin ternyata menimbulkan paradigma yang berbeda pada anggota legislative yang ada. Ada kesan kuat ataupun diduga ada kecenderungan dari kelompok-kelompok tertentu untuk mencoba mengambil keuntungan dari pembahasan RUU ini demi kepentingan partainya maupun kepentingan kelompoknya.
Pembahasan RUU ini sebenarnya sudah dimulai bulan Mei lalu dan sudah ada pandangan dari beberapa Fraksi untuk RUU ini. Sayangnya pembahaan RUU tertunda hingga awal September ini. Dan begitu dimulai kembali pembahasannya, ternyata sikap-sikap berbagai Fraksi yang ada banyak yang berbalik 180 derajat. Dan mayoritas menginginkan Pilkada seperti 10 – 20 tahun yang lalu dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD/DPRD Tingkat II. Inilah yang akhirnya menimbulkan Pro dan Kontra di masyarakat.
Karena kondisinya seperti itu sebaiknya mari kita kesampingkan dulu tentang adanya dugaan bahwa RUU tersebut akan dimanipulasi oleh kelompok tertentu. Kita coba saja dulu mengevaluasinya dari sudut pandang kita tentang apa kekurangan dan kelebihan dari Pilkada Langsung. Begitu juga dengan Pilkada yang dilakukan lewat DPR, apa saja kelebihan dan kekurangannya.
PILKADA LANGSUNG
A.Kelebihan Pilkada Langsung oleh rakyat.
Pilkada-pilkada yang telah kita lakukan selama 9 tahun bisa dikatakan mempunyai sisi positif antara lain :
1.Kepala Daerah Terpilih diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari rakyat mayoritas.
2.Kepala Daerah Terpilih mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.
3.Sebagai Catatan pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jateng.
4.Akan tetapi harus dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi. Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.
B.Kekurangan-Kekurangan Pilkada Langsung.
Berdasarkan pengalaman 9 tahun terakhir Pilkada-pilkada langsung ternyata menimbulkan beberapa dampak yaitu :
1.Biaya yang dikeluarkan Pemerinta Cukup Besar. Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33 Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota. Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan untuk semua kebutuhan KPU seperti Gaji, Peralatan, Inventaris, Logistik dan lainnya.
2.Sering terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah. Bahkan sering terjadi Anarkistis dan Pengrusakan fasilitas public.
3.Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan mungkin ada juga dendam.
4.Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.
5.Sering terjadi Jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon Kepala daerah disertai terjadinya money politic.
6.Calon yang akhirnya menang setelah menjadi Pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga Dinasti Politik.
Itulah Kelebihan dan Kekurangan Pilkada yang dilaksanakan langsung oleh rakyat. Lalu bagaimana dengan Pilkada yang dilakukan oleh DPRD?.
PILKADA LEWAT DPRD
A.Keuntungan dari Pilkada yang dilakukan oleh DPRD adalah :
1.Mampu menekan Biaya Pelaksanaan. Negara akan mampu menghemat Trilyunan Rupiah.
2.Mampu menekan potensi terjadinya Konflik Horizontal. Ini bisa dikatakan sangat signifikan.
3.Pilkada ini juga akan mengurangi biaya-biaya kampanye yang dikeluarkan calon kepala daerah.
4.Sebagai catatan pinggir juga, Pilkada ini tidak menjamin Kepala Daerah Terpilih Tidak akan melakukan Korupsi.
B.Kekurangan-kekurangan Pilkada lewat DPRD :
1.Tidak mampu merepresentasikan Aspirasi rakyat mayoritas atau Keterwakilan rakyat.
2.Legitimasi Kepala Daerah lemah dikarenakan Kualitas Demokrasi yang rendah dan tidak melibatkan rakyat yang ada.
3.Sulit menghasilkan Pemimpin terbaik dari tokoh-tokoh yang ada di daerah tersebut. Pilihan DPRD cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal oleh DPRD saja.
4. Memperbesar peluang terjadinya politik transaksional wani piro antara calon kepala daerah dengan legislative pada saat Proses Pilkada berlangsung.
5.Membuat Legislatif menjadi Superior terhadap Eksekutif. Legislatif bukannya mengawasi Eksekutif bahkan mengendalikan Eksekutif. Ini membuat Eksekutif lebih mementingkan kepentingan Legislatif daripada kepentingan rakyat.
6.Eksekutif atau Kepala Daerah akan kurang bertanggung-jawab pada kepentingan rakyat karena tidak merasa dipilih oleh rakyat.
7.Memperbesar Peluang terjadinya Kongkalikong antara Eksekutif dan Legislatif untuk mengkorupsi anggaran pembangunan yang ada.
8.Berpotensi Kongkalikong Eksekutif-Legislatif untuk pengeluaran izin-izin swasta terutama pemanfaatan kekayaan Negara seperti tambang, Hutan dan lain sebagainnya.
9.Berpotensi menciptakan terjadinya Dinasti Politik legislative dan eksekutif maupun Oligarki. Peluang ini sangat besar juga potensi korupsi berjamaah.
10.Berpotensi terjadi politik remote control dimana kepala-kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di pengurus pusat partai.
KESIMPULAN AWAL DAN AKAR MASALAH.
Bila dikaji kelebihan dan kekurangan kedua jenis Pilkada tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ternyata Pilkada lewat DPRD jauh lebih besar resiko buruknya dibanding Pilkada Langsung. Dan Esensi Pilkada Langsung lebih mendekatkan Kepala Daerah dengan rakyatnya berikut rasa keterwakilan sebagai wujud Demokrasi yang lebih berkualitas.
Hanya kemudian bagaimana caranya mengatasi masalah-masalah yang krusial seperti Tingginya Biaya Penyelenggaraan Pemilu, Besarnya Biaya Kampanye Calon, Korupsi oleh Kepala Daerah dan yang paling Krusial yaitu Konflik Horizontal.
Untuk Tingginya Biaya Pelaksanaan Pilkada sebenarnya sudah dicarikan solusi yaitu akan diberlakukannya Pemilu Serentak pada tahun 2020. Bahkan sebenarnya untuk Propinsi Bengkulu tahun 2010 sudah dilakukan Pemilu serentak Gubernur dan 6 bupati, dan terbukti sangat efektif dalam menekan biaya penyelenggaraan Pemilu. Terutama biaya-biaya yang menjadi beban KPUD. Bagaimanapun juga demi kepentingan Demokrasi yang berkualitas tentu harus mengeluarkan Biaya yang cukup besar.
Selanjutnya untuk Biaya Kampanye pada pelaksanaan Pilkada dapat dibuat aturan yang lebih ketat oleh KPU maupun UU Pemilu dengan ancaman hukuman yang tegas untuk itu sehingga dengan dibatasinya biaya kampanye maka keinginan untuk mengembalikan modal awal tidak akan dilakukan oleh Kepala Daerah.
Tetapi untuk Potensi Korupsi yang akan dilakukan oleh Kepala Daerah Terpilih memang sangat tergantung kualitas orangnya dan bukan sama sekali karena proses Pilkadanya. Tidak ada jaminan Pilkada Langsung apalagi Pilkada lewat DPRD bahwa Kepala Daerah Terpilih tidak akan melakukan korupsi. Bahkan yang sering terjadi selama ini adalah Kepala Daerah melakukan korupsi justru demi kepentingan dari partai atau partai-partai pengusungnya. Mohon ini dicatat.
Dan yang paling Krusial adalah Konflik Horizontal yang terjadi pada Pilkada-pilkada Langsung. Sebenarnya kalau dikaji lebih mendalam, konflik ini tercipta sebenarnya bukan berasal dari akar rumput akan tetapi lebih banyak berasal dari kekuatan politik dari masing-masing Calon Kepala Daerah.
Dan ini sangat terkait erat dengan kekuatan politik dari partai partai pengusung dari masing-masing calon. Sehingga bisa disimpulkan bahwa sebenarnya yang memicu terjadinya konflik horizontal di masayarakat pada Pilkada adalah Elit-elit Politik yang ada didaerah tersebut sendiri dan bukan sekali-sekali dipicu oleh rakyat yang berada di akar rumput.
Mohon dicatat dan digaris-bawahi bahwa, baik Potensi Korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan Konflik Horizontal yang terjadi di Pilkada semua ini sangat terkait erat dengan kepentingan-kepentingan Partai Politik. Inilah Akar Masalah Sebenarnya.
Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri hingga Presiden adalah jabatan-jabatan public. Alangkah indahnya negeri ini kalau semua pejabat-pejabat public yang ada tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan dari partai-partai politik. Kapan Indonesia bisa seperti itu?
SOLUSI BIJAK UNTUK PILKADA
Sebenarnya ada satu Pemilu yang sudah kita lakukan selama ini dengan baik sekali dan tanpa campur tangan dari Parpol-parpol yang ada yaitu Pemilihan Anggota DPD. Mengapa tidak kita perlakukan Pilkada-pilkada yang ada saat ini seperti kita memperlakukan Pemilihan Anggota DPD?
Yang pasti dan sudah terbukti bahwa pemilihan Anggota DPD selama ini tidak pernah menghasilkan Konflik Horizontal. Tidak ada kepentingan satupun Parpol sehingga tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Begitu juga pelaksanaannya tergambar jelas dapat dilakukan serentak bersama-sama Pemilihan Anggota Legislatif maupun Pemilihan Presiden nantinya.
Bila kita bayangkan pada setiap daerah dimana masyarakatnya diizinkan memilih Kepala Daerah (anggap saja sejumlah 5 Calon yang memenuhi syarat) tanpa satupun yang didukung oleh Partai Politik maupun gabungan Partai Politik, maka suara terbanyak yang didapat salah satu dari ke 5 calon tersebutlah yang menghantar dirinya untuk menjadi kepala Daerah baik menjadi Bupati, Walikota maupun Gubernur.
Dan untuk suara terbanyak kedua bisa saja akan dijadikan Asisten Kepala Daerah tersebut, sementara wakil Kepala Daerah akan sangat baik bila berasal dari PNS yang netral dan berprestasi yang sebaiknya dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Daerah tersebut.
Asisten kepala Daerah ini bisa saja nantinya akan menggantikan Kepala Daerah bila Kepala Daerah secara tiba-tiba berhenti atas beberapa sebab. Tapi untuk masalah ini tentu sebaiknya dipertimbangkan lagi dari sisi teknis pelaksanaannya.
Saya sangat yakin sekali bila setiap Kepala Daerah yang dipilih rakyatnya bukan berasal dari Partai Politik maka dia akan bekerja lebih bertanggung-jawab. Dan disisi lain para Legislatif yang ada di DPRD pun akan melakukan sistim pengawasan yang maksimal dan tidak akan segan-segan memberikan teguran kepada Kepala Daerah bila melakukan kebijaksanaan yang tidak memihak rakyat.
Sebaiknya para anggota DPR yang sekarang ada di Senayan saat ini berani menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dan merubah UU Pilkada yang pro rakyat seperti ilustrasi diatas. Harapan kita semua, Calon Kepala Daerah mendatang bukanlah berasal dari Partai Politik dan harus didukung oleh minimal sekian persen dari masyarakat yang ada. Mungkin sebagai gambaran adalah Pilgub DKI 2012 yang mengizinkan adanya calon independen.
Kita semua sangat berharap kepada mereka yang saat ini menguasai Parlemen yaitu Koalisi Merah Putih dapat menunjukkan pilihan terbaiknya untuk rakyat. Semoga tidak terjadi adanya elit-elit di Koalisi ini yang malah ingin merubah Pilkada lewat DPRD dengan segala resikonya termasuk potensi melakukan Politik Remote Control seperti tersebut diatas.
Kalau itu sampai terjadi maka yang ada kemudian elit-elit ini akan dianggap rezim Oligarki yang membentuk Parlemen diatas Parlemen, atau lebih jauh lagi malah akan dituduh ingin membentuk Mafia Parlemen. Semoga itu tidak akan terjadi.
Demikian.
Salam Kompasiana
Sumber : http://ift.tt/1CKZJUS
Tapi kemudian yang menjadi masalah adalah Konstelasi Politik pasca Pilpres 2014 kemarin ternyata menimbulkan paradigma yang berbeda pada anggota legislative yang ada. Ada kesan kuat ataupun diduga ada kecenderungan dari kelompok-kelompok tertentu untuk mencoba mengambil keuntungan dari pembahasan RUU ini demi kepentingan partainya maupun kepentingan kelompoknya.
Pembahasan RUU ini sebenarnya sudah dimulai bulan Mei lalu dan sudah ada pandangan dari beberapa Fraksi untuk RUU ini. Sayangnya pembahaan RUU tertunda hingga awal September ini. Dan begitu dimulai kembali pembahasannya, ternyata sikap-sikap berbagai Fraksi yang ada banyak yang berbalik 180 derajat. Dan mayoritas menginginkan Pilkada seperti 10 – 20 tahun yang lalu dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD/DPRD Tingkat II. Inilah yang akhirnya menimbulkan Pro dan Kontra di masyarakat.
Karena kondisinya seperti itu sebaiknya mari kita kesampingkan dulu tentang adanya dugaan bahwa RUU tersebut akan dimanipulasi oleh kelompok tertentu. Kita coba saja dulu mengevaluasinya dari sudut pandang kita tentang apa kekurangan dan kelebihan dari Pilkada Langsung. Begitu juga dengan Pilkada yang dilakukan lewat DPR, apa saja kelebihan dan kekurangannya.
PILKADA LANGSUNG
A.Kelebihan Pilkada Langsung oleh rakyat.
Pilkada-pilkada yang telah kita lakukan selama 9 tahun bisa dikatakan mempunyai sisi positif antara lain :
1.Kepala Daerah Terpilih diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari rakyat mayoritas.
2.Kepala Daerah Terpilih mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.
3.Sebagai Catatan pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jateng.
4.Akan tetapi harus dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi. Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.
B.Kekurangan-Kekurangan Pilkada Langsung.
Berdasarkan pengalaman 9 tahun terakhir Pilkada-pilkada langsung ternyata menimbulkan beberapa dampak yaitu :
1.Biaya yang dikeluarkan Pemerinta Cukup Besar. Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33 Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota. Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan untuk semua kebutuhan KPU seperti Gaji, Peralatan, Inventaris, Logistik dan lainnya.
2.Sering terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah. Bahkan sering terjadi Anarkistis dan Pengrusakan fasilitas public.
3.Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan mungkin ada juga dendam.
4.Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.
5.Sering terjadi Jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon Kepala daerah disertai terjadinya money politic.
6.Calon yang akhirnya menang setelah menjadi Pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga Dinasti Politik.
Itulah Kelebihan dan Kekurangan Pilkada yang dilaksanakan langsung oleh rakyat. Lalu bagaimana dengan Pilkada yang dilakukan oleh DPRD?.
PILKADA LEWAT DPRD
A.Keuntungan dari Pilkada yang dilakukan oleh DPRD adalah :
1.Mampu menekan Biaya Pelaksanaan. Negara akan mampu menghemat Trilyunan Rupiah.
2.Mampu menekan potensi terjadinya Konflik Horizontal. Ini bisa dikatakan sangat signifikan.
3.Pilkada ini juga akan mengurangi biaya-biaya kampanye yang dikeluarkan calon kepala daerah.
4.Sebagai catatan pinggir juga, Pilkada ini tidak menjamin Kepala Daerah Terpilih Tidak akan melakukan Korupsi.
B.Kekurangan-kekurangan Pilkada lewat DPRD :
1.Tidak mampu merepresentasikan Aspirasi rakyat mayoritas atau Keterwakilan rakyat.
2.Legitimasi Kepala Daerah lemah dikarenakan Kualitas Demokrasi yang rendah dan tidak melibatkan rakyat yang ada.
3.Sulit menghasilkan Pemimpin terbaik dari tokoh-tokoh yang ada di daerah tersebut. Pilihan DPRD cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal oleh DPRD saja.
4. Memperbesar peluang terjadinya politik transaksional wani piro antara calon kepala daerah dengan legislative pada saat Proses Pilkada berlangsung.
5.Membuat Legislatif menjadi Superior terhadap Eksekutif. Legislatif bukannya mengawasi Eksekutif bahkan mengendalikan Eksekutif. Ini membuat Eksekutif lebih mementingkan kepentingan Legislatif daripada kepentingan rakyat.
6.Eksekutif atau Kepala Daerah akan kurang bertanggung-jawab pada kepentingan rakyat karena tidak merasa dipilih oleh rakyat.
7.Memperbesar Peluang terjadinya Kongkalikong antara Eksekutif dan Legislatif untuk mengkorupsi anggaran pembangunan yang ada.
8.Berpotensi Kongkalikong Eksekutif-Legislatif untuk pengeluaran izin-izin swasta terutama pemanfaatan kekayaan Negara seperti tambang, Hutan dan lain sebagainnya.
9.Berpotensi menciptakan terjadinya Dinasti Politik legislative dan eksekutif maupun Oligarki. Peluang ini sangat besar juga potensi korupsi berjamaah.
10.Berpotensi terjadi politik remote control dimana kepala-kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di pengurus pusat partai.
KESIMPULAN AWAL DAN AKAR MASALAH.
Bila dikaji kelebihan dan kekurangan kedua jenis Pilkada tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ternyata Pilkada lewat DPRD jauh lebih besar resiko buruknya dibanding Pilkada Langsung. Dan Esensi Pilkada Langsung lebih mendekatkan Kepala Daerah dengan rakyatnya berikut rasa keterwakilan sebagai wujud Demokrasi yang lebih berkualitas.
Hanya kemudian bagaimana caranya mengatasi masalah-masalah yang krusial seperti Tingginya Biaya Penyelenggaraan Pemilu, Besarnya Biaya Kampanye Calon, Korupsi oleh Kepala Daerah dan yang paling Krusial yaitu Konflik Horizontal.
Untuk Tingginya Biaya Pelaksanaan Pilkada sebenarnya sudah dicarikan solusi yaitu akan diberlakukannya Pemilu Serentak pada tahun 2020. Bahkan sebenarnya untuk Propinsi Bengkulu tahun 2010 sudah dilakukan Pemilu serentak Gubernur dan 6 bupati, dan terbukti sangat efektif dalam menekan biaya penyelenggaraan Pemilu. Terutama biaya-biaya yang menjadi beban KPUD. Bagaimanapun juga demi kepentingan Demokrasi yang berkualitas tentu harus mengeluarkan Biaya yang cukup besar.
Selanjutnya untuk Biaya Kampanye pada pelaksanaan Pilkada dapat dibuat aturan yang lebih ketat oleh KPU maupun UU Pemilu dengan ancaman hukuman yang tegas untuk itu sehingga dengan dibatasinya biaya kampanye maka keinginan untuk mengembalikan modal awal tidak akan dilakukan oleh Kepala Daerah.
Tetapi untuk Potensi Korupsi yang akan dilakukan oleh Kepala Daerah Terpilih memang sangat tergantung kualitas orangnya dan bukan sama sekali karena proses Pilkadanya. Tidak ada jaminan Pilkada Langsung apalagi Pilkada lewat DPRD bahwa Kepala Daerah Terpilih tidak akan melakukan korupsi. Bahkan yang sering terjadi selama ini adalah Kepala Daerah melakukan korupsi justru demi kepentingan dari partai atau partai-partai pengusungnya. Mohon ini dicatat.
Dan yang paling Krusial adalah Konflik Horizontal yang terjadi pada Pilkada-pilkada Langsung. Sebenarnya kalau dikaji lebih mendalam, konflik ini tercipta sebenarnya bukan berasal dari akar rumput akan tetapi lebih banyak berasal dari kekuatan politik dari masing-masing Calon Kepala Daerah.
Dan ini sangat terkait erat dengan kekuatan politik dari partai partai pengusung dari masing-masing calon. Sehingga bisa disimpulkan bahwa sebenarnya yang memicu terjadinya konflik horizontal di masayarakat pada Pilkada adalah Elit-elit Politik yang ada didaerah tersebut sendiri dan bukan sekali-sekali dipicu oleh rakyat yang berada di akar rumput.
Mohon dicatat dan digaris-bawahi bahwa, baik Potensi Korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan Konflik Horizontal yang terjadi di Pilkada semua ini sangat terkait erat dengan kepentingan-kepentingan Partai Politik. Inilah Akar Masalah Sebenarnya.
Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri hingga Presiden adalah jabatan-jabatan public. Alangkah indahnya negeri ini kalau semua pejabat-pejabat public yang ada tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan dari partai-partai politik. Kapan Indonesia bisa seperti itu?
SOLUSI BIJAK UNTUK PILKADA
Sebenarnya ada satu Pemilu yang sudah kita lakukan selama ini dengan baik sekali dan tanpa campur tangan dari Parpol-parpol yang ada yaitu Pemilihan Anggota DPD. Mengapa tidak kita perlakukan Pilkada-pilkada yang ada saat ini seperti kita memperlakukan Pemilihan Anggota DPD?
Yang pasti dan sudah terbukti bahwa pemilihan Anggota DPD selama ini tidak pernah menghasilkan Konflik Horizontal. Tidak ada kepentingan satupun Parpol sehingga tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Begitu juga pelaksanaannya tergambar jelas dapat dilakukan serentak bersama-sama Pemilihan Anggota Legislatif maupun Pemilihan Presiden nantinya.
Bila kita bayangkan pada setiap daerah dimana masyarakatnya diizinkan memilih Kepala Daerah (anggap saja sejumlah 5 Calon yang memenuhi syarat) tanpa satupun yang didukung oleh Partai Politik maupun gabungan Partai Politik, maka suara terbanyak yang didapat salah satu dari ke 5 calon tersebutlah yang menghantar dirinya untuk menjadi kepala Daerah baik menjadi Bupati, Walikota maupun Gubernur.
Dan untuk suara terbanyak kedua bisa saja akan dijadikan Asisten Kepala Daerah tersebut, sementara wakil Kepala Daerah akan sangat baik bila berasal dari PNS yang netral dan berprestasi yang sebaiknya dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Daerah tersebut.
Asisten kepala Daerah ini bisa saja nantinya akan menggantikan Kepala Daerah bila Kepala Daerah secara tiba-tiba berhenti atas beberapa sebab. Tapi untuk masalah ini tentu sebaiknya dipertimbangkan lagi dari sisi teknis pelaksanaannya.
Saya sangat yakin sekali bila setiap Kepala Daerah yang dipilih rakyatnya bukan berasal dari Partai Politik maka dia akan bekerja lebih bertanggung-jawab. Dan disisi lain para Legislatif yang ada di DPRD pun akan melakukan sistim pengawasan yang maksimal dan tidak akan segan-segan memberikan teguran kepada Kepala Daerah bila melakukan kebijaksanaan yang tidak memihak rakyat.
Sebaiknya para anggota DPR yang sekarang ada di Senayan saat ini berani menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dan merubah UU Pilkada yang pro rakyat seperti ilustrasi diatas. Harapan kita semua, Calon Kepala Daerah mendatang bukanlah berasal dari Partai Politik dan harus didukung oleh minimal sekian persen dari masyarakat yang ada. Mungkin sebagai gambaran adalah Pilgub DKI 2012 yang mengizinkan adanya calon independen.
Kita semua sangat berharap kepada mereka yang saat ini menguasai Parlemen yaitu Koalisi Merah Putih dapat menunjukkan pilihan terbaiknya untuk rakyat. Semoga tidak terjadi adanya elit-elit di Koalisi ini yang malah ingin merubah Pilkada lewat DPRD dengan segala resikonya termasuk potensi melakukan Politik Remote Control seperti tersebut diatas.
Kalau itu sampai terjadi maka yang ada kemudian elit-elit ini akan dianggap rezim Oligarki yang membentuk Parlemen diatas Parlemen, atau lebih jauh lagi malah akan dituduh ingin membentuk Mafia Parlemen. Semoga itu tidak akan terjadi.
Demikian.
Salam Kompasiana
Sumber : http://ift.tt/1CKZJUS