SBY, Malin Kundang dan G30S
Menyimak berita di televisi soal sidang DPR untuk mengesahkan RUU Pemilukada dan sikap Partai Demokrat, juga SBY, mengingatkan saya akan legenda “Malin Kundang” si anak durhaka.
Malin Kundang mulanya anak yang baik dan menghormati ibunya. Tapi kemudian dia berubah bermula dari penyalah gunaan kebebasan yang diberikan ibunya. Ya. Ibunya telah memberi ijin untuk mengarungi lautan merantau ke tanah Jawa meskipun dengan berat hati. Sementara Malin Kundang sangat bersuka cita atas sikap ibunya itu. Wajah Malin Kundang tampak berbinar-binar dan tak henti-hentinya melambai-lambaikan tangannya dari atas kapal kepada ibunya. Demikian juga sang ibu, tak henti-henti menyambut lambaian tangan sang putera tercinta meski dengan perasaan yang tak menentu. Apalagi ketika kapal itu semakin jauh dan semakin tak tampak dari tatapan matanya. Sebaliknya dari dalam kapal Malin Kundang tampak menikmati betul pemandangan samudera luas bagai tak berbatas. “Ohh…..indah nian alam ini, Ohh…betapa luas lautan dan alam raya ciptaan Tuhan ini” bisiknya dalam hati tak henti-henti.
Hingga suatu ketika, saatnya Malin Kundang harus mengakhiri perjalanannya, saatnya dia sudah harus pulang dan kembali di kampung halamannya, dia begitu percaya diri dan tampil mempesona, kaya raya dengan didampingi isteri cantik pujaan hatinya.
Tetapi tiba-tiba saja segala hal yang membanggakan itu hilang maknanya begitu dia mendarat kembali di kampung halamannya. Tragedi terjadi ketika ia justru tidak mau lagi mengakui seorang perempuam tua yang menjemputnya di pelabuhan sebagai ibunya. Bahkan dia menendangnya hingga perempuan tua yang sudah lemah tenaga itu terjengkang. Dalam kesedihannya perempuan tua itu lantas berdo’a bahwa kalau benar orang yang menendangnya itu adalah anak kandungnya, semoga dia dikutuk menjadi batu.
SBY adalah Presiden pertama Indonesia yang lahir langsung dari rakyat, dia dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu 20 September 2004 lalu, dia menikmati demokrasi langsung hingga sepuluh tahun lamanya dan selama itu dia telah banyak menorehkan prestasi meskipun tetap ada catatan di sna-sini dan yang terkesan paling melegakan adalah ketika diujung perjalanan pemerintahannya dia tampak begitu baik menjaga kesinambungan dengan pemerintahan selanjutnya. Dia tampak ingin mengakhiri masa baktinya dengan akhir yang baik dan tanpa huru-hara seperti yang dialami para pendahulunya. Cukup melegakan sebetulnya.
Tapi pemandangan mengejutkan terjadi justru ketika dia hampir tiba di “kampung halamannya”. Dia tiba-tiba mencampakkan ibu demokrasi yang melahirkannya. Dia justru memilih “pembantu” daripada “ibu kandung” rakyat untuk mengurus kesejahteraan mereka. Dia ternyata lebih memilih wakil rakyat daripada rakyat itu sendiri yang akan menentukan kelayakan calon pemimpinnya. Maka tiba-tiba saja nuansa buruk menyelimuti udara Nusantara bahkan Rupiah-pun makin jeblok nilainya. Sekarang rakyatpun berama-ramai menghujatnya dan jangan-jangan juga terselip doa bahwa kalau benar SBY adalah anak kandung rakyat, seperti ketika dia dipilih langsung mereka pada sepuluh tahun yang lalu, maka biarlah dia menjadi “batu”, menjadi monumen agar bisa dilihat dan dikenang sepanjang masa sebagai contoh buruk dari sebuah kedurhakaan dan penghianatan. Uniknya, peristiwa ini nyaris terjadi hampir bersamaan dengan peringatan penghianatan yang terjadi puluhan tahun lalu di bulan September.
Semoga SBY segera menyadari kekhilafannya jika benar dia sebagai sumber penghianatan atas hak-hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. Tetapi kalau tidak dan ternyata ini hanya akibat ulah segelintir orang-orang Partai Demokrat yang “kabur” dari sidang DPR kemarin malam/dini hari itu, semoga SBY masih punya nyali untuk mengambil tindakan tegas kepada para anak buahnya yang sudah mencoreng harga dirinya di muka rakyat. Soal monumen tetap harus dibuat. Tapi monumen kebanggaan atas Presiden Indonesia yang bukan saja satu-satunya yang pernah dipilih langsung oleh rakyat, tapi juga satu-satunya Presiden Indonesia yang mengakhiri pemerintahannya secara smooth landing aw bikhusnil-khatimah.
Sumber : http://ift.tt/1rraG9t
Malin Kundang mulanya anak yang baik dan menghormati ibunya. Tapi kemudian dia berubah bermula dari penyalah gunaan kebebasan yang diberikan ibunya. Ya. Ibunya telah memberi ijin untuk mengarungi lautan merantau ke tanah Jawa meskipun dengan berat hati. Sementara Malin Kundang sangat bersuka cita atas sikap ibunya itu. Wajah Malin Kundang tampak berbinar-binar dan tak henti-hentinya melambai-lambaikan tangannya dari atas kapal kepada ibunya. Demikian juga sang ibu, tak henti-henti menyambut lambaian tangan sang putera tercinta meski dengan perasaan yang tak menentu. Apalagi ketika kapal itu semakin jauh dan semakin tak tampak dari tatapan matanya. Sebaliknya dari dalam kapal Malin Kundang tampak menikmati betul pemandangan samudera luas bagai tak berbatas. “Ohh…..indah nian alam ini, Ohh…betapa luas lautan dan alam raya ciptaan Tuhan ini” bisiknya dalam hati tak henti-henti.
Hingga suatu ketika, saatnya Malin Kundang harus mengakhiri perjalanannya, saatnya dia sudah harus pulang dan kembali di kampung halamannya, dia begitu percaya diri dan tampil mempesona, kaya raya dengan didampingi isteri cantik pujaan hatinya.
Tetapi tiba-tiba saja segala hal yang membanggakan itu hilang maknanya begitu dia mendarat kembali di kampung halamannya. Tragedi terjadi ketika ia justru tidak mau lagi mengakui seorang perempuam tua yang menjemputnya di pelabuhan sebagai ibunya. Bahkan dia menendangnya hingga perempuan tua yang sudah lemah tenaga itu terjengkang. Dalam kesedihannya perempuan tua itu lantas berdo’a bahwa kalau benar orang yang menendangnya itu adalah anak kandungnya, semoga dia dikutuk menjadi batu.
SBY adalah Presiden pertama Indonesia yang lahir langsung dari rakyat, dia dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu 20 September 2004 lalu, dia menikmati demokrasi langsung hingga sepuluh tahun lamanya dan selama itu dia telah banyak menorehkan prestasi meskipun tetap ada catatan di sna-sini dan yang terkesan paling melegakan adalah ketika diujung perjalanan pemerintahannya dia tampak begitu baik menjaga kesinambungan dengan pemerintahan selanjutnya. Dia tampak ingin mengakhiri masa baktinya dengan akhir yang baik dan tanpa huru-hara seperti yang dialami para pendahulunya. Cukup melegakan sebetulnya.
Tapi pemandangan mengejutkan terjadi justru ketika dia hampir tiba di “kampung halamannya”. Dia tiba-tiba mencampakkan ibu demokrasi yang melahirkannya. Dia justru memilih “pembantu” daripada “ibu kandung” rakyat untuk mengurus kesejahteraan mereka. Dia ternyata lebih memilih wakil rakyat daripada rakyat itu sendiri yang akan menentukan kelayakan calon pemimpinnya. Maka tiba-tiba saja nuansa buruk menyelimuti udara Nusantara bahkan Rupiah-pun makin jeblok nilainya. Sekarang rakyatpun berama-ramai menghujatnya dan jangan-jangan juga terselip doa bahwa kalau benar SBY adalah anak kandung rakyat, seperti ketika dia dipilih langsung mereka pada sepuluh tahun yang lalu, maka biarlah dia menjadi “batu”, menjadi monumen agar bisa dilihat dan dikenang sepanjang masa sebagai contoh buruk dari sebuah kedurhakaan dan penghianatan. Uniknya, peristiwa ini nyaris terjadi hampir bersamaan dengan peringatan penghianatan yang terjadi puluhan tahun lalu di bulan September.
Semoga SBY segera menyadari kekhilafannya jika benar dia sebagai sumber penghianatan atas hak-hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. Tetapi kalau tidak dan ternyata ini hanya akibat ulah segelintir orang-orang Partai Demokrat yang “kabur” dari sidang DPR kemarin malam/dini hari itu, semoga SBY masih punya nyali untuk mengambil tindakan tegas kepada para anak buahnya yang sudah mencoreng harga dirinya di muka rakyat. Soal monumen tetap harus dibuat. Tapi monumen kebanggaan atas Presiden Indonesia yang bukan saja satu-satunya yang pernah dipilih langsung oleh rakyat, tapi juga satu-satunya Presiden Indonesia yang mengakhiri pemerintahannya secara smooth landing aw bikhusnil-khatimah.
Sumber : http://ift.tt/1rraG9t