Suara Warga

Bangsa Salah Kaprah: Soal Migas

Artikel terkait : Bangsa Salah Kaprah: Soal Migas


Prolog


Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, mohon beribu maaf apabila judul dan isi tulisan ini menyinggung perasaan dan terkesan “belagu”. Sebab, dengan terpaksa saya katakan bahwa bangsa ini sering salah kaprah, seperti contoh berikut:


(1) Salah kaprah Pendidikan. Sistim Pendidikan di Indonesia berorientasi ke pengajaran. Anak-anak diajarkan banyak pengetahuan, bukan dididik memiliki hasrat kuat untuk ingin tahu banyak pengetahuan. Tidak heran kalau para remaja kita sering juara Olimpiade Ilmu Pengetahun Internasional, namun setelah dewasa “nyaris tidak terdengar kiprahnya”. Pendidikan dasar kurang menanamkan karakter dasar (jujur, disiplin, kerja keras, tanggung-jawab, percaya diri) untuk menumbuh-kembangkan mentalitas pemenang dan berdaya saing tinggi.


(2) Salah kaprah Pengelolaan Pertambangan. Ijin eksploitasi pertambangan umum diserahkan ke Pemda tanpa pengawasan ketat, akibatnya terjadi “jor-joran” eksploitasi tambang, lingkungan rusak. Lantas bagaimana kita mempertanggung-jawabkannya ke anak cucu?


(3) Salah kaprah kekayaan alam Migas. Akan saya uraikan berikut ini.



Down to Earth, Please….


Salah kaprah soal energi migas ditandai dengan persepsi kolektif bahwa bumi Indonesia memiliki kekayaan sumber daya minyak mentah dan gas bumi (migas) yang melimpah ruah. Keyakinan ini sudah berlangsung lama, sudah berurat berakar, menghinggapi para pejabat dan tokoh nasional, banyak pengamat serta masyarakat luas.


Persepsi tersebut tidak mencerminkan realitas. Ketahuilah, jumlah cadangan minyak Indonesia saat ini sekitar 3,99 milyar barrel atau hanya sekitar 0.27% dari total cadangan minyak dunia yang sebesar 1.468 milyar barrel. Produksi minyak sekitar 815 ribu barrel per hari (mbph) atau hanya sekitar 0,95% dari produksi minyak dunia yang sebesar 86.650 mbph. Bandingkan dengan cadangan minyak Saudi Arabia (terkaya migas) yang sebesar 263 milyar barrel (17.88%) dengan tingkat produksi yang relative lebih rendah dari kemampuan, yaitu 10.520 mbph (12.14%).


Produksi minyak Indonesia tertinggi sekitar 1.500 mbph. Setelah itu terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Grafik-1. Produksi minyak (dan kondensat) tahun 2000 masih sebesar 1.414 mbph, kemudian terus turun hingga menjadi 860 mbph tahun 2012, sekitar 815 mbph tahun ini dan diperkirakan menjadi kurang dari 800 mbph tahun depan.


Beberapa pengamat energi mengatakan bahwa menurunnya cadangan minyak disebabkan tidak kondusif-nya iklim investasi sehingga tidak merangsang pencarian dan penemuan (eksplorasi) cadangan minyak yang baru. Faktanya tidak demikian, kegiatan pemboran eksplorasi tetap tinggi, bahkan meningkat (Grafik-2), diperkuat juga dengan data investasi yang meningkat (Grafik-3). Ini semua menunjukkan bahwa penyebab utama kekurang berhasilan penemuan cadangan minyak yang baru bukan karena minimnya investasi kegiatan eksplorasi, melainkan sumber daya migas di Indonesia yang memang semakin terbatas.


Ada juga pengamat yang menyadari bahwa cadangan minyak sudah menurun dan menyarankan untuk melakukan konversi ke gas. Tapi sejatinya cadangan gas juga tidak kaya-kaya amat, hanya sedikit di atas minyak yaitu 106 trilyun kaki kubik atau 1,59% dari cadangan gas dunia dengan tingkat produksi sekitar 1,66% dari produksi gas dunia. Apabila cadangan gas melimpah, seyogianya tidak terjadi gas shortage (suplai gas lebih kecil dari kebutuhan) di Jawa Barat & Banten, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.


Dari uraian di atas terlihat bahwa kekayaan migas kita tidaklah signifikan, apalagi kalau jumlah cadangan dan produksi dibandingkan terhadap jumlah penduduk yang mencapai 248 juta jiwa.





Sejak tahun 2003 status Indonesia berubah dari net oil exporter (jumlah produksi lebih besar dari konsumsi) menjadi net oil importer. Saat ini konsumsi minyak (dalam bentuk BBM) telah mencapai sekitar 1,65 juta bph atau dengan kata lain, setiap hari Indonesia membutuhkan impor minyak sekitar 800 ribu bph. Anehnya, barang impor ini sebagian besar dijual dengan harga “obral” dimana 70% pembeli memakainya untuk kenikmatan berkendaraan.



First Things First


Soal SKKMigas. Hari-hari terakhir ini ramai sekali para pengamat membicarakan lembaga SKKMigas, menghujat, menyalahkan dan menuduh. Seakan-akan lembaga ini menjadi biang keladi menurunnya produksi minyak. UU Migas juga jadi sasaran caci-maki. Mungkin betul SKKMigas belum bekerja optimal, mungkin betul UU No 22 tentang Migas mengandung banyak kelemahan, namun dari uraian di atas, jelaslah bahwa kelembagaan dan pendanaan bukan penyebab utama. Janganlah kita berpikir dan berdebat membahas masalah yang kurang substantif. Selesaikan masalah yang lebih prioritas. Jangan salah kaprah.


Dalam konteks bisnis migas, sepertinya Direktur Utama Pertamina (Karen Agustiawan) sudah menyadari keterbatasan sumber daya migas di dalam negeri. Oleh karena itu, Karen secara agresif melakukan “go international” dengan mengembangkan bisnis eksplorasi & produksi migas ke manca negara seperti Nigeria, Libya dan Irak. Karen juga giat mengembangkan bisnis hilir terbarukan dengan mencampur energi nabati dan energi fosil (Bio Diesel). Visi bisnis Dirut Pertamina tersebut seyogianya dilanjutkan oleh penggantinya (Karen akan mengundurkan diri tmt 1 Oktober 2014).


Bahwa produksi migas Indonesia belum optimal saya sependapat. Beberapa lapangan migas di Indonesia masih berpeluang ditingkatkan produksinya. Sungguhpun begitu, secara makro, upaya optimalisasi produksi tidak dapat membalikan keadaan, melainkan hanya “melandaikan” decline produksi secara alamiah.


Soal mafia Migas. Apabila betul ada mafia, pengaruhnya terhadap biaya pengadaan BBM tidak signifikan karena komponen biaya BBM sebesar 80%-nya adalah biaya bahan baku minyak mentah yang harganya ditentukan oleh pasar. Sudah seharusnya mafia diberantas (jika ada), kita dukung penuh, tapi janganlah hal itu menjadi fokus utama sehingga menelantarkan yang lebih prioritas, janganlah pikiran-energi-waktu dihabiskan melebihi porsinya. Jangan salah kaprah.


Soal pembangunan kilang minyak baru. Setuju untuk segera dibangun pada lokasi-lokasi yang tepat dan strategis (baik dari sisi suplai bahan baku jangka panjang maupun dari sisi pasar dan rencana pengembangan ekonomi). Strategi ini tentu akan menghemat biaya transportasi dan distribusi serta memacu multiplier effect. Sungguhpun demikian, perlu disadari bahwa pembangunan kilang memerlukan biaya besar dan waktu (mungkin 2-3 tahun). Sebaiknya ini investasi swasta, pemerintah membantu perijinan, lahan dan memberikan jaminan tertentu bagi investor.


Pekerjaan pemerintah yang paling prioritas adalah melakukan percepatan pengembangan energi terbarukan seperti energi panas bumi, air, angin dan matahari untuk listrik serta energi nabati untuk kendaraan bermotor. Kalau sumber daya energi terbarukan saya percaya kita memang kaya. Selama ini energi terbarukan tidak berkembang karena kalah kompetitif dengan BBM. Segera buat Master Plan (lengkap dengan road mapnya), setiap tahapan program kerja harus terukur, implementasinya dimonitor dan dikendalikan. Ini pekerjaan prioritas tinggi.



Dampak Salah Kaprah


(1) Persepsi berkorelasi dengan mindset (pola pikir) yang berujung pada tindakan. Dalam konteks pemerintahan, akibat kekeliruan persepsi menghasilkan kebijakan yang keliru pula. Contohnya kebijakan harga BBM yang sangat tidak kondusif bagi pengembangan energi alternative.


(2) Masyarakat mengira kita kaya migas karena bertahun-tahun di nina-bobokan dengan informasi salah kaprah dan dimanjakan dengan harga energi (BBM) murah, makin lama makin manja. Karena harga BBM di obral (diskon 50%) maka penggunaannya cenderung tidak efisien (boros). Konsumsi BBM orang Indonesia sekitar 0,83 liter per orang per tahun (pendapatan per kapita per tahun US$ 4700), bandingkan dengan Filipina yang sebesar 0,47 liter per tahun (pendapan per kapitan US$ 4.100) dan Vietnam yang sebesar 0,56 liter per kapita (pendapan per kapitan US$ 3.300). Resistensi pengurangan/pencabutan subsidi BBM luar biasa keras.


(3) Apabila salah kaprah soal minyak (BBM) terus berlangsung, dan kebijakan energi tetap business as usual, maka Krisis Energi yang sebenarnya sudah berlangsung akan menjadi bom waktu dalam waktu kurang dari 10 tahun ke depan, percayalah…



Epilog


Pada akhir tulisan ini saya hanya bisa berdo’a….


Ya Allah Yang Maha Agung… sadarkanlah para pemimpin kami, para pakar dan pengamat serta masyarakat bahwa persepsi Indonesia memiliki sumber daya migas yang melimpah adalah salah kaprah yang nyata.


Ya Allah Yang Maha Pemurah… ikhlaskanlah bangsa ini untuk menerima kebijakan kenaikan harga BBM, kuatkan hatinya dan yakinkanlah bahwa Revolusi Mental merupakan keniscayaan sejarah.


Ya Allah Yang Maha Penyayang… lancarkanlah upaya kami untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan agar bangsa ini terhindar dari malapetaka Krisis Energi.





Referensi


http://ift.tt/1ClEvgk


http://ift.tt/1ClEtoE


http://ift.tt/1ClEvwA






Sumber : http://ift.tt/1ozCtPo

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz