Kenaikan BBM: Koalisi Merah Putih Satu Suara
Lagi-lagi rakyat menjadi faktor pelengkap (penderita). Ketika Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang memperebutkan suaranya rakyat benar-benar dimanjakan. Padahal selain waktunya habis untuk pesta demokrasi, rakyat juga harus memikirkan sekolah dan lebaran. Artinya kantong mereka benar-benar terkuras habis. Kini rakyat kecil juga yang harus menanggung beban, karena dengar-dengar Bahan Bakar Minya (BBM) akan naik. Duh!
Sontak hal ini menimbulkan kegaduhan politik. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkritik desakan kenaikan BBM yang dilakukan Joko Widodo kepada Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Wasekjen PKS Fahri Hamzah ihwal kenaikan kali ini berbeda saat pendamping Jokowi, Jusuf Kalla ikut menaikkan harga BBM di era SBY. Saat itu, JK melakukan konversi gas sehingga beban masyarakat tidak terlalu tinggi.
Dalam kacapandang Fahri desakan Jokowi itu sebagai bentuk kegagalan Revolusi Mental yang terus disuarakan selama kampanye pemilihan presiden. Jadi yang namanya revolusi itu ada perbaikan yang drastis. Jadi kalau mau revolusi mental tapi kok mengatasi persoalan fiskal harus cabut subsidi BBM, itu sama sekali tidak kreatif. “Revolusi mental bikin yang hebat. Kalau cabut subsidi enak. Langkah paling bodoh. Kirain ada ketahuan ternyata tidak punya ilmu juga,” ujar Anggota Komisi III itu.
Fahri berharap agar Jokowi bersama PDI Perjuangan tidak terus berusaha membebani pemerintah dengan meminta kenaikan harga BBM bersubsidi. Jadi mencabut subsidi bukan satu-satunya solusi menyelamatkan APBN.
Demi Citra
Lagi dan lagi, rakyat yang menjadi korban. Polemik tentang perlu atau tidaknya pencabutan subsidi BBM antara Presiden SBY dengan Jokowi, dinilai tak menguntungkan masyarakat. Tarik ulur penerapan kebijakan tersebut, diyakini hanyalah “pertarungan” Presiden SBY dengan Presiden RI terpilih Jokowi demi mempertahankan citra persona mereka masing-masing. Hal tersebut, dituturkan Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat Ajiguna, Ahad (31/8/2014).
“SBY tak mau menaikkan harga BBM pada akhir masa jabatannya. Sebab, SBY masih memiliki harapan menaikkan kariernya. Sementara Jokowi, ingin menjaga pemerintahannya yang ‘pro rakyat’ lepas dari ini semua, tetapi dampaknya juga menyengsarakan rakyat,” tutur Rahmat.
Padahal, Presiden SBY maupun Jokowi bisa dipastikan mengetahui kebijakan mencabut subsidi BBM. Tidak mungkin rasanya seorang Presiden tidak mengetahui hal ihwal kenapa BBM harus naik. Ini suatu keniscayaan karena merupakan “mandat” dari sejumlah lembaga pendonor dan Amerika Serikat.
Rezim SBY maupun tim transisi Jokowi memiliki titik tolak yang sama terkait pencabutan subsidi BBM tersebut. Rahmat menuturkan, Kedua pihak sama-sama menilai, jika subsidi energi tetap dipertahankan, akan mengakibatkan APBN perubahan 2014 dan APBN 2015 jebol. Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pada kuota BBM dalam negeri akan habis sebelum waktunya dan negara akan menanggung kerugian yang besar.
Info dari AGRA ini mengabarkan, pencabutan subisidi BBM tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis karena pemerintah, sejak 2000, menyetujui tiga dokumen tentang kebijakan liberalisasi sektor energi nasional.
Dokumen pertama adalah, Memorandum of Economic and Financial Policies atau leter of intens International Monetary Fund, Januari 2000.
Kedua, dokumen Indonesia Country Assistance Strategy, yang dikeluarkan World Bank tahun 2001. Ketiga, tertuang dalam dokumen USAID dengan judul Energy Sector Governance Strengthened.
Jadi ketiga dokumen itu, intinya mengharuskan Indonesia mengatur sektor energinya agar lebih efisien dan transparan. Caranya, pengurangan subsidi dan melibat sektor swasta serta asing dalam urusan hajat hidup orang banyak atau dengan kata lain privatisasi.
Nah, ketiga dokumen itulah yang menjadi pedoman 10 tahun era pemerintahan SBY untuk mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi BBM. “Karena ketiga dokumen itu masih berlaku, maka era Jokowi-JK juga bakal memiliki kebijakan yang sama,” imbuh Rahmat.
Jadi mau tidak mau Jokowi-JK yang dianggap populis atau pro-rakyat kali ini harus berhadapan dengan rakyat. Citranya memang dipertaruhkan. Mau pilih mana, Rakyat atau Asing?
Koalisi Merah Putih Satukan Suara
Isu kenaikan BBM adalah isu seksi yang memang sangat asik untuk digoreng terus. hal ini bisa menjadi sarana promosi untuk menaikan citra partai politik. Tapi, hal ini jelas sekali lagi rakyat yang dikorbankan. pembaca bisa menilai penolakan kenaikan BBM ini serius membela kepentingan wong cilik atau sekedar pencitraan, bisa melihatnya dari konsistensi partai itu sendiri. Diakui memang ada riak-riak di Koalisi Merah Putih (KMP), Menyikapi adanya wacana kenaikan BBM pada masa transisi pemerintahan Presiden SBY dan Jokowi. Tapi, Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai hal tersebut tidak menunjukkan adanya perpecahan dalam koalisi. “Itu kan memang dicari-cari bagi yang berharap koalisi ini pecah,” kata Firman kepada ROL, Ahad (31/8).
Menurut Firman, perbedaan pendapat yang terjadi dalam koalisi hanya dalam masalah aksentuasi saja. Secara prinsip, hal pokok yang dipegang oleh koalisi tersebut masih sama. Oleh karena itu, perbedaan aksentuasi dianggap sebagai hal yang wajar.
Namanya partai politik, tentu saja masing-masing punya kepentingan untuk konstituennya. Riak itu hanya menunjukkan adanya dinamika di KMP. Tinggal bagaimana caranya para elit di KMP mengelola riak-riak itu untuk menjadi kesatuan gelombang yang kuat sehingga bisa melayarkan perahu hingga sampai ke pulau tujuan.
Sebelumnya, politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan tetap konsisten dengan keputusan PKS diawal untuk menolak kenaikan harga BBM. Kebijakan ini dinilai akan menyengsarakan rakyat. Selain itu, Hidayat juga memaparkan beberapa alternatif kebijakan lain yang bisa ditempuh, seperti penghematan anggaran dan mengatasi kebocoran anggaran negara.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan, partainya akan tetap konsisten menolak kenaikan BBM baik sekarang maupun ke depan. Opsi menaikkan tidak tepat dalam kondisi seperti sekarang ini. “Kalau mau menaikkan BBM itu semua orang bisa, dan itu pasti menyusahkan rakyat. Apalagi kondisi seperti sekarang ini,” tegasnya.
Sumber : http://ift.tt/W444RV
Sontak hal ini menimbulkan kegaduhan politik. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkritik desakan kenaikan BBM yang dilakukan Joko Widodo kepada Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Wasekjen PKS Fahri Hamzah ihwal kenaikan kali ini berbeda saat pendamping Jokowi, Jusuf Kalla ikut menaikkan harga BBM di era SBY. Saat itu, JK melakukan konversi gas sehingga beban masyarakat tidak terlalu tinggi.
Dalam kacapandang Fahri desakan Jokowi itu sebagai bentuk kegagalan Revolusi Mental yang terus disuarakan selama kampanye pemilihan presiden. Jadi yang namanya revolusi itu ada perbaikan yang drastis. Jadi kalau mau revolusi mental tapi kok mengatasi persoalan fiskal harus cabut subsidi BBM, itu sama sekali tidak kreatif. “Revolusi mental bikin yang hebat. Kalau cabut subsidi enak. Langkah paling bodoh. Kirain ada ketahuan ternyata tidak punya ilmu juga,” ujar Anggota Komisi III itu.
Fahri berharap agar Jokowi bersama PDI Perjuangan tidak terus berusaha membebani pemerintah dengan meminta kenaikan harga BBM bersubsidi. Jadi mencabut subsidi bukan satu-satunya solusi menyelamatkan APBN.
Demi Citra
Lagi dan lagi, rakyat yang menjadi korban. Polemik tentang perlu atau tidaknya pencabutan subsidi BBM antara Presiden SBY dengan Jokowi, dinilai tak menguntungkan masyarakat. Tarik ulur penerapan kebijakan tersebut, diyakini hanyalah “pertarungan” Presiden SBY dengan Presiden RI terpilih Jokowi demi mempertahankan citra persona mereka masing-masing. Hal tersebut, dituturkan Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat Ajiguna, Ahad (31/8/2014).
“SBY tak mau menaikkan harga BBM pada akhir masa jabatannya. Sebab, SBY masih memiliki harapan menaikkan kariernya. Sementara Jokowi, ingin menjaga pemerintahannya yang ‘pro rakyat’ lepas dari ini semua, tetapi dampaknya juga menyengsarakan rakyat,” tutur Rahmat.
Padahal, Presiden SBY maupun Jokowi bisa dipastikan mengetahui kebijakan mencabut subsidi BBM. Tidak mungkin rasanya seorang Presiden tidak mengetahui hal ihwal kenapa BBM harus naik. Ini suatu keniscayaan karena merupakan “mandat” dari sejumlah lembaga pendonor dan Amerika Serikat.
Rezim SBY maupun tim transisi Jokowi memiliki titik tolak yang sama terkait pencabutan subsidi BBM tersebut. Rahmat menuturkan, Kedua pihak sama-sama menilai, jika subsidi energi tetap dipertahankan, akan mengakibatkan APBN perubahan 2014 dan APBN 2015 jebol. Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pada kuota BBM dalam negeri akan habis sebelum waktunya dan negara akan menanggung kerugian yang besar.
Info dari AGRA ini mengabarkan, pencabutan subisidi BBM tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis karena pemerintah, sejak 2000, menyetujui tiga dokumen tentang kebijakan liberalisasi sektor energi nasional.
Dokumen pertama adalah, Memorandum of Economic and Financial Policies atau leter of intens International Monetary Fund, Januari 2000.
Kedua, dokumen Indonesia Country Assistance Strategy, yang dikeluarkan World Bank tahun 2001. Ketiga, tertuang dalam dokumen USAID dengan judul Energy Sector Governance Strengthened.
Jadi ketiga dokumen itu, intinya mengharuskan Indonesia mengatur sektor energinya agar lebih efisien dan transparan. Caranya, pengurangan subsidi dan melibat sektor swasta serta asing dalam urusan hajat hidup orang banyak atau dengan kata lain privatisasi.
Nah, ketiga dokumen itulah yang menjadi pedoman 10 tahun era pemerintahan SBY untuk mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi BBM. “Karena ketiga dokumen itu masih berlaku, maka era Jokowi-JK juga bakal memiliki kebijakan yang sama,” imbuh Rahmat.
Jadi mau tidak mau Jokowi-JK yang dianggap populis atau pro-rakyat kali ini harus berhadapan dengan rakyat. Citranya memang dipertaruhkan. Mau pilih mana, Rakyat atau Asing?
Koalisi Merah Putih Satukan Suara
Isu kenaikan BBM adalah isu seksi yang memang sangat asik untuk digoreng terus. hal ini bisa menjadi sarana promosi untuk menaikan citra partai politik. Tapi, hal ini jelas sekali lagi rakyat yang dikorbankan. pembaca bisa menilai penolakan kenaikan BBM ini serius membela kepentingan wong cilik atau sekedar pencitraan, bisa melihatnya dari konsistensi partai itu sendiri. Diakui memang ada riak-riak di Koalisi Merah Putih (KMP), Menyikapi adanya wacana kenaikan BBM pada masa transisi pemerintahan Presiden SBY dan Jokowi. Tapi, Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai hal tersebut tidak menunjukkan adanya perpecahan dalam koalisi. “Itu kan memang dicari-cari bagi yang berharap koalisi ini pecah,” kata Firman kepada ROL, Ahad (31/8).
Menurut Firman, perbedaan pendapat yang terjadi dalam koalisi hanya dalam masalah aksentuasi saja. Secara prinsip, hal pokok yang dipegang oleh koalisi tersebut masih sama. Oleh karena itu, perbedaan aksentuasi dianggap sebagai hal yang wajar.
Namanya partai politik, tentu saja masing-masing punya kepentingan untuk konstituennya. Riak itu hanya menunjukkan adanya dinamika di KMP. Tinggal bagaimana caranya para elit di KMP mengelola riak-riak itu untuk menjadi kesatuan gelombang yang kuat sehingga bisa melayarkan perahu hingga sampai ke pulau tujuan.
Sebelumnya, politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan tetap konsisten dengan keputusan PKS diawal untuk menolak kenaikan harga BBM. Kebijakan ini dinilai akan menyengsarakan rakyat. Selain itu, Hidayat juga memaparkan beberapa alternatif kebijakan lain yang bisa ditempuh, seperti penghematan anggaran dan mengatasi kebocoran anggaran negara.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan, partainya akan tetap konsisten menolak kenaikan BBM baik sekarang maupun ke depan. Opsi menaikkan tidak tepat dalam kondisi seperti sekarang ini. “Kalau mau menaikkan BBM itu semua orang bisa, dan itu pasti menyusahkan rakyat. Apalagi kondisi seperti sekarang ini,” tegasnya.
Sumber : http://ift.tt/W444RV