Jokowi Salah!
Berhembus angin, bahkan semakin kencang, Jokowi akan memberikan satu kursi pembantunya kepada Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Saya tak tahu atas dasar apa. Namun, bagi saya, bila nanti kabar ini terbukti betul, Jokowi melakukan kesalahan. Ada beberapa pertimbangan sederhana.
Pertama, mentri berasal dari kaum profesional. Hal ini sering dikatakan Jokowi. Apakah Muhaimin Iskandar bukan dari kalangan profesional? Tidak. Sebab Jokowi juga mengatakan bahwa profesional bisa non partai, tetapi bisa juga dari partai. Lalu, mengapa saya mengatakan Jokowi salah bila memilih Muhaimin Iskandar sebagai salah satu pembantunya? Dasar saya adalah penjelasan Jokowi sendiri tentang profesional itu sendiri. Yang dimaksudkan Jokowi dengan profesional tidak lain dari pada kemampuan untuk bekerja. Dan hal itu bukan berdasarkan claim, melainkan berdasarkan track record. Apakah Cak Imin tak mempunyai kemampuan kerja? Rekam jejaknya menyatakan demikian. Selama menjabat sebagai menakertrans, banyak persoalan tak terselesaikan, terutama menyangkut hiruk pikuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Padahal, segala urusan ketenagakerjaan berada ada pada wewenang kerja kementrian yang dipimin oleh keponakan Gus Dur ini. Sering kali, kita melihat atau membacanya dari media bahwa pekerjaan Muhaimin ‘diselesaikan’ pihak lain, baik personal maupun non personal. Artinya, Muhaimin tak mencatatkan prestasi yang mampu menghantarkan dia kembali menjabat sebagai mentri. Inilah rekam jejaknya. Rekam jejak bahwa Muhaimin tak memenuhi syarat untuk kembali menjabat sebagai mentri.
Kedua, dalam beberapa kesempatan Jokowi pernah mengatakan, orang yang menjabat sebagai mentri dalam kabinetnya bila dari partai maka bukanlah orang yang menduduki jabatan di partai (Koreksi saya bila salah). Kita semua tahu, Muhaimin baru saja terpilih kembali sebagai Ketum partai yang digagas oleh Gus Dur ini. Apakah Jokowi lupa dengan kata-katanya ini? Ataukah pernyataan itu hanyalah untuk konsumsi media saat itu? Dengan jabatan ketum, jelas, Muhaimin tak memenuhi syarat untuk menjabat sebagai mentri. Lalu mengapa Jokowi mengisyaratkan sebaliknya?
Ketiga, saat berbicara tentang mentri, Jokowi selalu menetapkan standar tinggi. Dari omongan itu, publik menaruh harapan besar akan ada perubahan dalam pemerintahan Jokowi. Namun apa yang terjadi? Ternyata, standar tinggi itu hanya ‘setinggi’ Muhaimin Iskandar. Tak pelak lagi publik pasti kecewa.
Keempat, koalisi tanpa syarat. Kita semua tahu, koalisi yang dibangun oleh Jokowi merupakan koalisi tanpa syarat. Dalam bahasa Jokowi: “syaratnya adalah tanpa syarat!” Kalau ini betul, mengapa ada signal Muhaimin akan diangkat sebagai mentri? Apakah ini yang dimaksud dengan ‘syarat tanpa syarat’ itu? Bila nanti betul, pengangkatan Muhaimin sebagai mentri membuktikan Jokowi pun menganut politik transaksional. Apabila memang demikian, sejak kapan Jokowi mulai menganut sistim politik transaksional? Apakah sejak dulu atau baru saja? Kalau sejak dulu, berarti Jokowi memang cerdas dalam komunikasi politik karena mampu menyembunyikan hal ini hingga baru terungkap saat telah terpilih sebagai presiden. Namun apabila ternyata baru sekarang, berarti posisi tawar Jokowi tak memiliki ketahanan yang cukup untuk menghidarkannya dari arus politik transaksional yang telah membudaya di negeri kita ini.
Saya kira, rakyat Indonesia tak memasalahkan bila Jokowi hendak membalas jasa PKB yang telah mendukungnya dalam pilpres hingga akhirnya terpilih sebagai presiden. Adat ketimuran kita memang mengharuskan demikian. Sudah selayaknya yang dibantu berterima kasih kepada pihak yang membantu supaya tak dibilang tidak tahu berterimakasih. Namun, tidak harus dengan mengangkat Muhaimin sebagai mentri kan?! Sebab PKB mempunyai sejumlah kader yang profesional, bukan hanya Muhaimin!
Pak Jokowi, Anda mempunyai hak yang tak bisa diintervensi oleh siapa pun dalam menentukan siapa-siapa saja yang layak menjadi pembantu Anda. Kami, rakyat Indonesia, berharap Anda mempergunakan hak prerogatif itu sebaik-baiknya.
Sumber : http://ift.tt/1pCaIeY
Pertama, mentri berasal dari kaum profesional. Hal ini sering dikatakan Jokowi. Apakah Muhaimin Iskandar bukan dari kalangan profesional? Tidak. Sebab Jokowi juga mengatakan bahwa profesional bisa non partai, tetapi bisa juga dari partai. Lalu, mengapa saya mengatakan Jokowi salah bila memilih Muhaimin Iskandar sebagai salah satu pembantunya? Dasar saya adalah penjelasan Jokowi sendiri tentang profesional itu sendiri. Yang dimaksudkan Jokowi dengan profesional tidak lain dari pada kemampuan untuk bekerja. Dan hal itu bukan berdasarkan claim, melainkan berdasarkan track record. Apakah Cak Imin tak mempunyai kemampuan kerja? Rekam jejaknya menyatakan demikian. Selama menjabat sebagai menakertrans, banyak persoalan tak terselesaikan, terutama menyangkut hiruk pikuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Padahal, segala urusan ketenagakerjaan berada ada pada wewenang kerja kementrian yang dipimin oleh keponakan Gus Dur ini. Sering kali, kita melihat atau membacanya dari media bahwa pekerjaan Muhaimin ‘diselesaikan’ pihak lain, baik personal maupun non personal. Artinya, Muhaimin tak mencatatkan prestasi yang mampu menghantarkan dia kembali menjabat sebagai mentri. Inilah rekam jejaknya. Rekam jejak bahwa Muhaimin tak memenuhi syarat untuk kembali menjabat sebagai mentri.
Kedua, dalam beberapa kesempatan Jokowi pernah mengatakan, orang yang menjabat sebagai mentri dalam kabinetnya bila dari partai maka bukanlah orang yang menduduki jabatan di partai (Koreksi saya bila salah). Kita semua tahu, Muhaimin baru saja terpilih kembali sebagai Ketum partai yang digagas oleh Gus Dur ini. Apakah Jokowi lupa dengan kata-katanya ini? Ataukah pernyataan itu hanyalah untuk konsumsi media saat itu? Dengan jabatan ketum, jelas, Muhaimin tak memenuhi syarat untuk menjabat sebagai mentri. Lalu mengapa Jokowi mengisyaratkan sebaliknya?
Ketiga, saat berbicara tentang mentri, Jokowi selalu menetapkan standar tinggi. Dari omongan itu, publik menaruh harapan besar akan ada perubahan dalam pemerintahan Jokowi. Namun apa yang terjadi? Ternyata, standar tinggi itu hanya ‘setinggi’ Muhaimin Iskandar. Tak pelak lagi publik pasti kecewa.
Keempat, koalisi tanpa syarat. Kita semua tahu, koalisi yang dibangun oleh Jokowi merupakan koalisi tanpa syarat. Dalam bahasa Jokowi: “syaratnya adalah tanpa syarat!” Kalau ini betul, mengapa ada signal Muhaimin akan diangkat sebagai mentri? Apakah ini yang dimaksud dengan ‘syarat tanpa syarat’ itu? Bila nanti betul, pengangkatan Muhaimin sebagai mentri membuktikan Jokowi pun menganut politik transaksional. Apabila memang demikian, sejak kapan Jokowi mulai menganut sistim politik transaksional? Apakah sejak dulu atau baru saja? Kalau sejak dulu, berarti Jokowi memang cerdas dalam komunikasi politik karena mampu menyembunyikan hal ini hingga baru terungkap saat telah terpilih sebagai presiden. Namun apabila ternyata baru sekarang, berarti posisi tawar Jokowi tak memiliki ketahanan yang cukup untuk menghidarkannya dari arus politik transaksional yang telah membudaya di negeri kita ini.
Saya kira, rakyat Indonesia tak memasalahkan bila Jokowi hendak membalas jasa PKB yang telah mendukungnya dalam pilpres hingga akhirnya terpilih sebagai presiden. Adat ketimuran kita memang mengharuskan demikian. Sudah selayaknya yang dibantu berterima kasih kepada pihak yang membantu supaya tak dibilang tidak tahu berterimakasih. Namun, tidak harus dengan mengangkat Muhaimin sebagai mentri kan?! Sebab PKB mempunyai sejumlah kader yang profesional, bukan hanya Muhaimin!
Pak Jokowi, Anda mempunyai hak yang tak bisa diintervensi oleh siapa pun dalam menentukan siapa-siapa saja yang layak menjadi pembantu Anda. Kami, rakyat Indonesia, berharap Anda mempergunakan hak prerogatif itu sebaik-baiknya.
Sumber : http://ift.tt/1pCaIeY