Pilpres dan Supremasi Konstitusi
PILPRES, DAN SUPREMASI KONSTITUSI
OLEH : ASPIANOR SAHBAS
Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diberikan ruang hukum untuk melakukan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 201 ayat (1) (2) (3) (4) dan ayat (5). Pada pokoknya ketentuan tersebut mengatur tentang kebolehan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang merasa dirugikan oleh penyelenggara Pemilu dalam perhitungan suara untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi.Keberatan tersebut hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, dalam ketentuan tersebut juga diatur tentang batasan waktu MK dalam memutuskan perkara tersebut paling lambat empat belas hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh MK. Dan KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Dasar konstitusional pengajuan keberatan terhadap PHPU ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Dengan adanya ketentuan ini, hal yang dapat kita pahami adalah bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelennggara Pemilu bukanlah satu-satunya lembaga negara yang menentukan ditetapkannya pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.Ada lembaga negara lain yang secara significant menentukan terpilih tidaknya Presiden dan Wakil Presiden yang ikut dalam kontestasi Pemilu yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks Pilpres secara langsung sesungguhnya kita telah menjalankan paham kedaulatan rakyat. Rakyatlah sesungguhnya yang berdaulat untuk menentukan siapa pemimpin mereka. Dalam UUD 1945, negara kita menganut paham kedaulatan rakyat seperti dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (2), ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sepintas, ketika rakyat telah menentukan siapa pemimpinya dengan melalui Pemilu, maka siapa yang terpilih dengan suara mayoritas itulah yang menjadi pemimpin. Namun suatu hal yang perlu dipahami bahwa prinsip kedaulatn rakyat yang kita anut adalah kedaulatan rakyat yang berdasarkan konstitusi. Atau dalam perkataan lain dianutnya prinsip constitutional democracy (demokrasi konstitusional) atau tiada lain adalah prinsip negara berdasarkan atas hukum.
Oleh sebab itu, dalam Pilpres selain kita menjalankan prinsip kedaulatan rakyat kita juga menjalankan prinsip kedaulatan hukum. Dimana dalam hal ini Pemilu yang dilaksanakan harus berdasarkan aturan hukum atau aturan konstitusi. Dengan demikian kita menempatkan supremasi konstitusi dalam kehidupan demokrasi. Di sinilah arti penting kehadiran lembaga MK untuk mengawal proses Pemilu, karena MK lembaga kekuasaan yudikatif yang berperan mengawal konstitusi agar tetap berjalan pada rel yang sebenarnya.
Secara historis, dari dua kali pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat tidak ada permohonan gugatan yang diajukan oleh Presiden dan Wakil Presiden yang kalah dalam rekapitulasi perhitungan suara di KPU permohonannya dikabulkan oleh MK.Tidak dikabulkannya permohonan itu tentu saja karena pihak pemohon dalam persidangannya di MK tidak mampu membuktikan materi gugatanya tentang selisih perhitungan suara yang dapat mengubah hasil Piplres. Katakanlah misalnya gugatan Pilpres 2004 pasangan Wiranto – Salahuddin Wahid. Dan Pilpres 2009 pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan JK-Wiranto juga ditolak oleh MK.
Menarik kemudian untuk dicermati bagaimana dengan gugatan Pilpres 2014 dimana pasangan Prabowo-Hatta telah melayangkan gugatan terhadap termohon KPU yang telah menetapkan rekapitulasi hasil perhitungan suara yang menempatkan pasangan ini sebagai pasangan yang kalah melawan pasangan Joko Widodo – Muhammad Jusuf Kalla.
Jika secara tekstual UU Pemilu yang dapat digugat hanya perselisihan hasil, maka dalam yurisprudensi MK, peradilan PHPU mengalami perkembangan tidak sekedar terkait dengan hasil rekapitulasi perhitungan suara yang dapat mengubah hasil Pemilu. Akan tetapi peradilan PHPU telah merambah pada kualitas penyelenggaraan Pemilu sehingga dapat dinilai substansi penyelenggaraan Pemilu apakah penyelenggaraan Pemilu berlangsung dengan memenuhi asas-asas konstitusionalitas Pemilu atau tidak. MK dapat saja memerintahkan pelaksanaan perhitungan ulang atau Pemilu ulang manakala pelaksanaan Pemilu tidak memenuhi keadilan substantif.
Beberapa kasus dalam Pemilukada nampak MK memutuskan perkara mempertimbangkan adanya pelanggaran yang bersifat sistematis, masif dan terstrukrur.Demikian juga pelanggaran terhadap asas jujur dapat berakibat pada didiskualifikasinya calon seperti dalam perkara Nomor 57/PHPU.D-D-VI/2008 mengenai PHPU Kepala Daerah Bengkulu Selatan, yang untuk pertama kalinya MK mendiskualifikasi calon Kepala Daerah.Selain itu pelanggaran yang disertai teror dan tekanan fisik juga berakibat pada didiskualifikasinya calon.Seperti yang terjadi dalam perkara PHPU Kepala Daerah Kabupaten Kota Waringin Barat. Semua ini menggambarkan bahwa dalam memutus PHPU MK dalam pertimbangannya tidak lagi berfokus secara tekstual dengan bunyi UU. MK telah melakukan terobosan-terobosan hukum untuk memenuhi konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu dengan mengedepankan keadilan substantif.
Jadi, menghadapi gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Prabowo-Hatta ke MK, KPU tidak bisa menganggap enteng. Tidak ada pilihan lain bagi KPU selain mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, dengan mempersiapkan bukti-bukti yang kuat untuk mematahkan dalil pemohon. Jangan sampai KPU merasa di atas angin karena merasa telah berpengalaman menghadapi gugatan Pemilu. Sebab, berdasarkan pengalaman bukan tidak mungkin MK memutuskan PHPU dengan pertimbangan-pertimbangan baru untuk memenuhi asas keadilan,kepastian dan kemanfaatan hukum yang progresif.Sehingga prinsip-prinsip konstitusinalitas Pemilu tetap terpelihara. Lebih baik bersedia payung sebelum hujan.
Bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang mendukung Prabowo-Hatta, atau yang mendukung Jokowi- JK, manakala MK telah memutuskan gugatan PHPU yang dilayangkan oleh pasangan nomor urut 1, apa pun putusannya kita harus menghormati dan melaksanakannya. Karena berdasarkan kontrak sosial kita dalam bernegara yang diwujudkan dalam konstitusi, kita telah bersepakat untuk menjadikan negara ini sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi di atas hal-hal lainya.
Sumber : http://ift.tt/1uezPU0
OLEH : ASPIANOR SAHBAS
Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diberikan ruang hukum untuk melakukan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 201 ayat (1) (2) (3) (4) dan ayat (5). Pada pokoknya ketentuan tersebut mengatur tentang kebolehan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang merasa dirugikan oleh penyelenggara Pemilu dalam perhitungan suara untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi.Keberatan tersebut hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, dalam ketentuan tersebut juga diatur tentang batasan waktu MK dalam memutuskan perkara tersebut paling lambat empat belas hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh MK. Dan KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Dasar konstitusional pengajuan keberatan terhadap PHPU ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Dengan adanya ketentuan ini, hal yang dapat kita pahami adalah bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelennggara Pemilu bukanlah satu-satunya lembaga negara yang menentukan ditetapkannya pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.Ada lembaga negara lain yang secara significant menentukan terpilih tidaknya Presiden dan Wakil Presiden yang ikut dalam kontestasi Pemilu yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks Pilpres secara langsung sesungguhnya kita telah menjalankan paham kedaulatan rakyat. Rakyatlah sesungguhnya yang berdaulat untuk menentukan siapa pemimpin mereka. Dalam UUD 1945, negara kita menganut paham kedaulatan rakyat seperti dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (2), ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sepintas, ketika rakyat telah menentukan siapa pemimpinya dengan melalui Pemilu, maka siapa yang terpilih dengan suara mayoritas itulah yang menjadi pemimpin. Namun suatu hal yang perlu dipahami bahwa prinsip kedaulatn rakyat yang kita anut adalah kedaulatan rakyat yang berdasarkan konstitusi. Atau dalam perkataan lain dianutnya prinsip constitutional democracy (demokrasi konstitusional) atau tiada lain adalah prinsip negara berdasarkan atas hukum.
Oleh sebab itu, dalam Pilpres selain kita menjalankan prinsip kedaulatan rakyat kita juga menjalankan prinsip kedaulatan hukum. Dimana dalam hal ini Pemilu yang dilaksanakan harus berdasarkan aturan hukum atau aturan konstitusi. Dengan demikian kita menempatkan supremasi konstitusi dalam kehidupan demokrasi. Di sinilah arti penting kehadiran lembaga MK untuk mengawal proses Pemilu, karena MK lembaga kekuasaan yudikatif yang berperan mengawal konstitusi agar tetap berjalan pada rel yang sebenarnya.
Secara historis, dari dua kali pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat tidak ada permohonan gugatan yang diajukan oleh Presiden dan Wakil Presiden yang kalah dalam rekapitulasi perhitungan suara di KPU permohonannya dikabulkan oleh MK.Tidak dikabulkannya permohonan itu tentu saja karena pihak pemohon dalam persidangannya di MK tidak mampu membuktikan materi gugatanya tentang selisih perhitungan suara yang dapat mengubah hasil Piplres. Katakanlah misalnya gugatan Pilpres 2004 pasangan Wiranto – Salahuddin Wahid. Dan Pilpres 2009 pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan JK-Wiranto juga ditolak oleh MK.
Menarik kemudian untuk dicermati bagaimana dengan gugatan Pilpres 2014 dimana pasangan Prabowo-Hatta telah melayangkan gugatan terhadap termohon KPU yang telah menetapkan rekapitulasi hasil perhitungan suara yang menempatkan pasangan ini sebagai pasangan yang kalah melawan pasangan Joko Widodo – Muhammad Jusuf Kalla.
Jika secara tekstual UU Pemilu yang dapat digugat hanya perselisihan hasil, maka dalam yurisprudensi MK, peradilan PHPU mengalami perkembangan tidak sekedar terkait dengan hasil rekapitulasi perhitungan suara yang dapat mengubah hasil Pemilu. Akan tetapi peradilan PHPU telah merambah pada kualitas penyelenggaraan Pemilu sehingga dapat dinilai substansi penyelenggaraan Pemilu apakah penyelenggaraan Pemilu berlangsung dengan memenuhi asas-asas konstitusionalitas Pemilu atau tidak. MK dapat saja memerintahkan pelaksanaan perhitungan ulang atau Pemilu ulang manakala pelaksanaan Pemilu tidak memenuhi keadilan substantif.
Beberapa kasus dalam Pemilukada nampak MK memutuskan perkara mempertimbangkan adanya pelanggaran yang bersifat sistematis, masif dan terstrukrur.Demikian juga pelanggaran terhadap asas jujur dapat berakibat pada didiskualifikasinya calon seperti dalam perkara Nomor 57/PHPU.D-D-VI/2008 mengenai PHPU Kepala Daerah Bengkulu Selatan, yang untuk pertama kalinya MK mendiskualifikasi calon Kepala Daerah.Selain itu pelanggaran yang disertai teror dan tekanan fisik juga berakibat pada didiskualifikasinya calon.Seperti yang terjadi dalam perkara PHPU Kepala Daerah Kabupaten Kota Waringin Barat. Semua ini menggambarkan bahwa dalam memutus PHPU MK dalam pertimbangannya tidak lagi berfokus secara tekstual dengan bunyi UU. MK telah melakukan terobosan-terobosan hukum untuk memenuhi konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu dengan mengedepankan keadilan substantif.
Jadi, menghadapi gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Prabowo-Hatta ke MK, KPU tidak bisa menganggap enteng. Tidak ada pilihan lain bagi KPU selain mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, dengan mempersiapkan bukti-bukti yang kuat untuk mematahkan dalil pemohon. Jangan sampai KPU merasa di atas angin karena merasa telah berpengalaman menghadapi gugatan Pemilu. Sebab, berdasarkan pengalaman bukan tidak mungkin MK memutuskan PHPU dengan pertimbangan-pertimbangan baru untuk memenuhi asas keadilan,kepastian dan kemanfaatan hukum yang progresif.Sehingga prinsip-prinsip konstitusinalitas Pemilu tetap terpelihara. Lebih baik bersedia payung sebelum hujan.
Bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang mendukung Prabowo-Hatta, atau yang mendukung Jokowi- JK, manakala MK telah memutuskan gugatan PHPU yang dilayangkan oleh pasangan nomor urut 1, apa pun putusannya kita harus menghormati dan melaksanakannya. Karena berdasarkan kontrak sosial kita dalam bernegara yang diwujudkan dalam konstitusi, kita telah bersepakat untuk menjadikan negara ini sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi di atas hal-hal lainya.
Sumber : http://ift.tt/1uezPU0