Suara Warga

Memerdekaan Indonesia

Artikel terkait : Memerdekaan Indonesia

Lagi, kita berjumpa dengan bulan penuh sejarah. Agustus yang membangkit cita rasa kebangsaan yang tinggi. Bendera merah putih berbagai ukuran terpampang di sisi-sisi jalan, juga di perkantoran, sekolah dan rumah-rumah warga. Kita dapat menghirup aroma “kemerdekaan”.

Sejarah mengantarkan waktu saat 69 tahun silam di bulan yang sama. Saat perjuangan bangsa sampai pada titik penting. Saat diproklamasikan sebuah pernyataan yang bertuah. Yang membangkitkan darah-darah nasionalisme setiap warga Indonesia di sehampar nusantara. Indonesia telah merdeka. Indonesia melepaskan diri dari cengkraman bangsa imperealis. Indonesia siap hidup mandiri, menentukan arah hidupnya.

Merdeka atau mati!

Teriakan yang menjadi kekuatan semangat para pejuang. Tak pikir panjang dan perhitungan terkait pribadi. Yang ada dalam benak para pejuang adalah Indonesia merdeka, seluruh rakyat bersatu. Para pejuang menepis segala perbedaan yang berpotensi memantik perpecahan. Pejuang terdahulu sadar, musuh sudah jelas di depan mata, penjajah tak berkemanusiaan. Musuh yang satu dan untuk meluluhlantakkannya juga dengan kesatuan.

Kembali kita pada kehidupan kekinian. Kita seringkali hanya terlibat romantisme sejarah. Kita kagum dan bangga pada sejarah. Kita berterimakasih pada generasi pejuang. Namun kita lupa esensi yang sesungguhnya. Kita sibuk memuji kemenang yang terukir dalam masa lalu. Tapi kita tidak memetik hikmah yang terpenting. Hingga kita terjebak sendiri.

Lihatlah bangsa kita hari ini. Perhatikan lebih dalam Indonesia dengan mata hati. Di Agustus ini rakyat Indonesia merayakan ritual tahunan, hari kemerdekaan. Segala atribut dan kemeriahan mengisinya. Mulai dari upacara bendera, panjat pinang, makan kerupuk dan lain-lain. Serta terbetik rasa kita telah merdeka tahun yang ke 69.

Dalam perenungan, benarkah kita sudah merdeka? Jawaban yang setiap tahun harus kita jawab. Momen Agustus adalah saat yang tepat untuk kontemplasi kebangsaan. Muhasabah massal, merenungi apa yang telah terjadi di bumi pertiwi ini.

Bagi saya kita belumlah merdeka. Bahkan kita mengalami kemerosotan dibanding era kemerdekaan dulu. Dahulu rakyat Indonesia terlunta-lunta mungkin karena Indonesia baru menata ekonominya. Sekarang, kemelaratan masih merajalela saat kemajuan menghampiri Indonesia. Ironi antara pengusaha kaya menikmati gelimang harta dan masyarakat kolong jembatan harus bertahan menahan gigilnya dingin malam.

Dahulu pendidikan masih minim, karena saat penjajahan rakyat Indonesia dikekang pendidikannya sehingga banyak yang belum bisa baca tulis. Kini, masih juga ada. Bukan karena penjajah. Tapi karena kita sendiri. Pemerintah disibukkan dengan sistem pendidikan yang melilit rakyat, dari kurikulum dan biayanya.

Persoalan kemiskinan dan kebodohan menandakan Indonesia belum merdeka, atau setidaknya belum seutuhnya merdeka. Keharusan bagi seluruh unsur bangsa “memerdekakan” Indonesia dari “penjajahan” tersebut. Penjajahan yang tak kasat secara fisik tapi mematikan dengan perlahan.

Problema kemiskinan dan kebodohan hanya dapat dipecahkan dengan persatuan. Dengan langkah bersama akan ada jalan yang dapat ditempuh. Bukan dengan sikut-menyikut mengejar kepentingan sendiri. Pilpres sudah usai. Cukup peperangannya. Ikuti jalur konstitusi yang sudah tersedia. Tidak perlu habiskan energi untuk perpecahaan bangsa. Apalagi anarkisme yang hanya untuk kaum primitif. Ada pekerjaan besar untuk memerdekaan Indonesia dengan seutuhnya. Memang tidak mudah. Ini bukan pekerjaan sekejap mata. Tapi kita harus memulai dan melanjutkan perjuangan pahlawan untuk menghadirkan Indonesia yang sejahtera.

Tak apa kita larut dalam suasana Agustus. Tak apa kita ikut memeriahkan berbagai acaranya. Namun jangan lupa kita harus tetap tegap memerdekakan Indonesia.




Sumber : http://ift.tt/Vqk4x8

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz