Karena DPKTb, Pilpres harus Diulang ?
Pokok masalah yang diajukan oleh tim Prabowo-Hatta (pihak pemohon) adalah Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb). Berikut saya sarikan pokok-pokok keterangan dari pihak pemohon dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari hal tersebut, saya mengajukan pendapat (opini) saya. Tentu saja pendapat saya, subyektif sifatnya.
DPKTB MELEBIHI 3%
Darimana pihak pemohon mendapat rumus 3%. Tidak ada dalam UU atau Peraturan KPU yang mensyaratkan jumlah DPKTb dibawah 3%. Nampaknya pihak Pemohon, menggunakan rumus ketersediaan surat suara cadangan 2%. Dan berasumsi bahwa DPKTb akan menggunakan surat suara cadangan tersebut. Ini sesat pikir namanya. Bila seluruh DPT hadir 100% menggunakan hak pilihnya, dan DPTb atau DPK juga hadir dan terpaksa menggunakan surat suara cadangan. Maka ketika ada pemilih dalam katagori DPKTb ada di TPS itu, sedang surat suara habis. Dalam peraturan KPU, petugas KPPS dapat meminta pemilih ke TPS terdekat masih dalam lingkungan wlayah itu, yang masih memiliki ketersediaan surat suara.
JUMLAH DPKTB YANG TIDAK WAJAR
Ini sudah masuk pada penilaian: Wajar atau Tidak Wajar. Sedangkan ukuran Wajar, pihak pemohon tidak memberi ukuran. Atau paling tidak memberi perbandingan. Sedangkan dalam keterangan saksi Termohon (dari KPU) misalnya untuk Kota Batu, Jawa Timur dan Kota Semarang, Jawa Tengah. Total jumlah DPKTb berbanding dengan total jumlah TPS, besarannya tiga sampai empat orang per TPS. Saya tidak tahu, apakah 3-4 orang yang memilih dalam katagori DPKTb per TPS itu dianggap wajar atau tidak?
KEBERATAN DENGAN TOTAL DPKTB SAAT PLENO DI KPU KABUPATEN/ KOTA
Hampir sebagian besar keberatan yang diajukan oleh pihak pemohon berkaitan dengan DPKTb terjadi di tingkat KPU Kabupaten/ Kota, dan KPU Provinsi. Hal ini yang terasa ganjil. Mengapa pada tingkat TPS, PPS dan PPK, masalah ini tidak dijadikan keberatan oleh saksi. Alasan saksi tingkat Provinsi dan saksi Nasional, para saksi mereka di tingkat TPS, PPS dan PPK tidak melihat “ketidakwajaran” itu. Bagaimana mungkin? Agak masuk akal, jika katagori dan rekap jumlah DPKTb baru muncul di KPU Kabupaten/ Kota dan KPU Provinsi. Nyatanya, katagori ini sudah dicatat dalam berkas sertifikat dan berita acara per tingkatan. Misalnya di tingkat TPS. Pada formulir model C1 PPWP, bagian Sertifikat hasil dan Rincian halaman 3, tertulis jelas katagori DPKTb pada bagian B. point 4. Pengguna Hak Pilih. Begitu juga di tingkat TPS (formulir D1) dan tingkat PPK (formulir DA1). Jika di tingkat TPS, PPS dan PPK, tidak ada keberatan, mengapa masalah DPKTb ini baru dipermasalahkan? Mungkin jawaban dari keterangan saksi di persidangan MK bisa menjelaskannya. Saat KPU Provinsi Papua menanyakan hal ini kepada saksi pasangan nomor 1, apa alasan baru mempermasalahkan hal ini di tingkat KPU Provinsi. Dijawab “perintah dari pusat”. Saya kira jelas masalahnya.
HAMPIR SEMUA TPS TERJADI JUMLAH DPKTB YANG BESAR
Tanpa merinci di TPS mana DPKTb yang besar itu. Hanya bermodal pada hitungan versi sendiri. Keterangan ini tentu menyamaratakan kejadian di semua TPS. Tak terkecuali TPS khusus. Seperti keterangan dari saksi dari Kota Batu. Dibenarkan fakta bahwa ada TPS-TPS yang jumlah DPKTbnya besar (5-10 orang). Yaitu di TPS khusus, Rumah Sakit dan Lembaga Pemasyarakatan. Tentu saja TPS khusus, jumlah DPKTbnya besar karena pasien, keluarga pasien, Napi dan tahanan tidak berdomisili dimana TPS tersebut berada.
Pada bagian lain saksi dari KPU, membantah dengan menyampaikan fakta kejadian DPKTb besar di DI Yogyakarta. Pada bulan Mei – Juli, terjadi lonjakan penduduk dewasa di kota itu, karena penerimaan mahasiswa baru. Orang dari luar kota berdatangan ke Yogyakarta. Saat Pilpres, mereka yang punya hak pilih tentu tidak bisa menggunakan hak pilihnya di kota asal. Dengan surat keterangan Kipem (Kartu Tanda Penduduk Sementara), orang-orang ini bisa menggunakan hak pilihnya di TPS terdekat. Dan akibatnya, tentu terjadi penambahan DPKTb di TPS-TPS tersebut.
DPKTB AKAN DISALAHGUNAKAN DAN DIREKAYASA
Sekali lagi ini dugaaan atau asumsi tanpa ada bukti yang bisa menunjukannya. Jika hal tersebut dapat memunculkan pelanggaran. Pelanggaran apa yang dimaksud ?. Mencoblos dua kali atau mencoblos menggunakan hak orang lain, itu bentuk pelanggaran. Tapi saksi Pemohon, tidak dapat menunjukan bukti, adanya orang yang masuk DPKTb mencoblos dua kali. Atau membuktikan bahwa pemilih DPKTb hanya bermodalkan KTP tanpa A5. Saat hakim bertanya berapa orang dan di TPS mana, ada pemilih yang menggunakan KTP saja tanpa menyertakan A5 (surat keterangan pindah domisili). Saksi tidak dapat menjawab. Dengan berdalih, itu tugas KPU untuk membuktikannya? Lho ?
KPU KEBERATAN MEMBERIKAN DOKUMEN PEMILIH YANG RINCI
Tentu saja KPU menolak memberikannya. Bukti yang diminta berupa C7 (daftar Hadir Pemilih di TPS) dan formulir AT Khusus berada di kotak surat yang terkunci segel. Mengambil dokumen tersebut tanpa ada perintah dari Bawaslu. KPU Nasional, dan MK, KPU Kabupaten/ Provinsi tidak dapat membuka kotak suara itu.
Opini saya: sebenarnya keberatan pihak Pemohon, saat KPU membuka kotak suara untuk beban pembuktian di MK, bukan masalah melanggar hukum atau tidak. Nampaknya pihak pemohon agak gusar, kalau KPU dapat menyodorkan bukti-bukti sah berkaitan dengan DPKTb yang ditudukan. Hanya berkas dokumen A5, formulir AT Khusus dan C7 Yang dapat menunjukan apakah DPKTb (termasuk DPT, DPK dan DPTb) bermasalah atau tidak. Diantaranya apakah ada di TPS tertentu ada pemilih yang hanya menggunakan KTP saja tanpa disertai A5.
DPKTB PALING MENCOLOK DI JAWA TIMUR DAN DKI JAKARTA
Apa yang dimaksud dengan mencolok ? Apakah jumlahnya yang dianggap begitu besar? Jika obyektif, jumlah DPKTb terbesar terjadi di provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat. Tapi mengapa jumlah DPKTb di Jawa Barat dan Sumatera Barat tidak jadi dalil utama. Justru provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta yang diajukan. Sedangkan jumlah DPKTb di Jawa Timur dan DKI Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa Barat atau Sumatera Barat. Apakah karena pihak pemohon, menang di provinsi tersebut, meski ada lonjakan DPKTb yang besar dianggap bukan masalah?
DENGAN DPKTB, KPU TELAH BERBUAT CURANG
Pengertian curang, jika salah satu pihak merasa diuntungkan dan pihak lain dirugikan. Lalu apa korelasinya antara adanya lonjakan DPKTb dengan hasil perolehan suara masing-masing pihak? Apakah dengan lonjakan DPKTb tersebut, pihak pemohon perolehan suaranya telah dicurangi oleh KPU? Siapa yang bisa mengetahui bahwa pemilih dalam katagori DPKTb akan memilih Jokowi atau memilih Prabowo ? Artinya adanya DPKTb atau tidak, kedua pasangan calon punya peluang yang sama.
KARENA DPKTB, KAMI MENUNTUT PEMUNGUTAN SUARA ULANG (PSU)
Yang harus dijawab terlebih dahulu, apakah jumlah DPKTb yang dianggap “tidak wajar” itu merupakan pelanggaran (pidana atau adminsitasi)?. Taruhlah di satu TPS, terbukti ada satu dua orang pemilih yang memilih hanya menggunakan KTP dan tidak menyertakan A5. Jelas pelanggaran administrasi. Tapi apakah dengan pelanggaran administrasi tersebut, mengorbankan ratusan orang yang tidak berdosa dengan dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Kata “mengorbankan” disini, terbukti dalam persidangan, saat KPU menjalankan rekomdasi Bawaslu melakukan PSU, partisipasi pemilih menurun drastis. Diantaranya PSU di beberapa TPS di Jakarta. Dengan merujuk pada hasil PSU, para pemilih yang sudah memberikan haknya pada Pemungutan Suara sebelumnya (karena alasan teknis tidak bisa hadir dalam PSU), harus kehilangan hak suaranya. Hanya karena kesalahan adminsitrasi yang dilakukan oleh satu dua orang, ratusan pemilih kehilangan haknya atau tidak diakui hak konstitusinya.
MEMASUKAN DPKTB TELAH MELANGGAR KONSTITUSI
Siapakah pihak yang punya wewenang, untuk memutuskan norma hukum tertentu telah melanggar konstitusi atau tidak. Jawabnya: Mahkamah Konstitusi. Sepanjang MK tidak mengeluarkan putusan bahwa penggunaan DKTb dalam Pilpres melanggar konstitusi, maka selama itu pula, ketentuan ini sah secara hukum.
Justru sebaliknya, peraturan KPU No 26 Tahun 2013 yang memasukan katagori DPKTb, adalah merujuk pada putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Latarbelakangnya: Pada Pilpres 2009, ada sekitar40 juta-an penduduk yang tidak masuk dalam DPT, dan tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Saat itu KPU dan Pemerintah berpedoman pada syarat formil dan alasan administrasi. Namun pendapat MK saat itu, tidak bisa karena alasan admistrasi dan prosedur (hukum formil) , hak konstitusional warga menjadi hilang. Singkatnya, dimasukannya katagori DPKTb justru untuk mewadahi hak konstitusional warga. Bukan sebaliknya.
KEBERADAANN DAN PENGGUNAAN DPKTB TIDAK SAH
Dengan alasan bahwa katagori DPKTb, dan DPK tidak tercantum dalam UU No. 42/ 2008 tentang Pilpres. Sekali lagi, siapakah pihak yang berwenang menyatakan bahwa Peraturan KPU dianggap sah atau tidak sah?. Baik sebelum maupun sesudah Peraturan KPU diketuk palu, ada peluang untuk membatalkannya. Pada tahap sebelum. Prosedur pengesahan peraturan ini melalui jalan yang panjang, untuk meminta pendapat semua pihak. Jadi bukan kewenangan KPU sepihak. Sebelum Peraturan ini disahkan, KPU berkonsultasi dengan Pemerintah dan DPR. Lalu mengapa wakil rakyat yang ada di DPR saat itu tidak mempermasalahkannya? Peraturan ini dibuat pada bulan Desember 2013. Tak cukup hanya itu. KPU juga melakukan konsultasi publik dengan mengundang para stakeholder dalam mensosialisasikan peraturan KPU sebelum disahkan. Tak cukup hanya itu, KPU harus menyerahkan peraturan tersebut ke Depkumham (baca: pemerintah) untuk dimintakan persetujuan.
Dengan begitu, mempermasalahkan Peraturan KPU, sama saja artinya menuduh KPU, DPR, Pemerintah dan Masyarakat telah bersengkongkol melakukan tindak kecurangan. Naif !. Karena semua pihak inilah yang turut serta dan terlibat hingga lahirnya Peraturan KPU.
Bila dianggap juga tidak puas. Masih ada peluang untuk membatalkan peraturan itu, baik meminta fatwa ke MA atau mengajukannya ke PTUN. Tak pernah ada upaya ini sebelumnya, hingga perkara DPKTb dipermasalahkan di sidang MK.
Adakah pelanggaran administrasi sejenis, yang kemudian MK membatalkan keputusan KPU dan memerintahkan PSU. Pernah !. Salah satu diantaranya Perkara PHPU Pilkada Yapen, Papua tahun 2010. Seorang pasangan kandidat Bupati dicoret oleh KPU setempat karena dianggap tidak memenuhi syarat administrasi. Akibatnya dia tidak bisa menjadi peserta Pilkada. Karena dianggap curang, pihak ini mengajukan ke PTUN atas putusan KPU tersebut. Hasilnya putusan PTUN mengabulkan gugatan, dan membatalkan putusan KPU. Oleh KPU, putusan PTUN tersebut diabaikan karena alasan tahapan sudah terlewati. Peristiwa ini kemudian diajukan oleh Bakal Calon (disinilah awal bakal calon dapat menjadi legal standing) ke MK. Dan hasilnya, dengan selembar alat bukti putusan PTUN, akhirnya MK memerintahkan Pilkada ulang dengan mengikutsertakan pemohon.
Maksud saya, ruang dan mekanisme pengajuan keberatan dalam sistem hukum kita terbuka lebar. Dan hal itu seharusnya ditempuh terlebih dahulu sebelum akhirnya mengajukan ke MK sebagai peradilan akhir. Termasuk pelanggaran administrasi (jika dianggap DPKTb adalah pelanggaran administrasi) harus ditempuh jalur ke PTUN sebelumnya. Bukan setelah terlambat dan kasep, baru berteriak kesakitan.
Sumber bacaan:
1. Risalah sidang PHPU Pilpres di MK tanggal 6 Agustus 2014;
2. Risalah sidang PHPU Pilpres di MK tanggal 8 Agustus 2014;
3. Risalah sidang PHPU Pilpres di MK tanggal 11 Agustus 2014;
4. Risalah sidang PHPU Pilpres di MK tanggal 12 Agustus 2014;
5. Risalah sidang PHPU Pilpres di MK tanggal 13 Agustus 2014;
6. Risalah sidang PHPU Pilpres di MK tanggal 14 Agustus 2014.
Sumber : http://ift.tt/1oAFAfk