Biasakah Korupsi di Sela Meja Menteri-Parpol itu?
Koalisi tanpa transaksi, apakah mungkin? Transaksi tanpa negosiasi berbuntut bagi kursi, apakah mungkin? Kursi tanpa korupsi, bagaimana?
Sudah sering terungkap bahwa korupsi sangat potensial berada di antara jabatan menteri dan partai politik. Kasus korupsi yang membawa Andi ke pengadilan adalah “menteri sekaligus orang partai”. Begitu juga dengan Surya. Dan lain-lain, termasuk menyeret pula orang-orang dalam sebuah partainya. Biasalah praktik korupsi semacam itu.
Praktik korupsi lainnya, yang berhubungan antara “menteri” dan “partai” terjadi pada Luthfi. Luthfi bukanlah menteri tetapi petinggi partai. Uang hasil korupsi diperolehnya dari ‘kader partai’ yang menjadi menteri. Malpraktik semacam itu terjadi pula di lingkup daerah. Biasa juga, karena “kader” harus ‘menghidupi’ partainya.
Oleh karenanya, biasa pula jika sebuah partai menuntut jatah posisi menteri, dan banyak partai cenderung merapat ke kekuasaan, selain tujuan politik adalah murni demi kekuasaan. Dengan kekuasaan, ada anggaran yang bisa dialokasikan untuk ‘menghidupi’ partai.
Akan tetapi, apakah ‘kebiasaan’ korupsi melalui jabatan menteri dan orang parpol itu harus dikompromi (ditolerir) sehingga mengentalkan istilah “tradisi korupsi”?
Sesungguhnya aneh bin ajaib hidup di Indonesia yang sudah 69 tahun ini, ketika korupsi dijadikan tradisi bahkan kemerdekaan mutlak oleh kalangan birokrasi.
Bagaimana, Pak Jokowi-JK; apakah tradisi korupsi akan dilestarikan melalui transaksi bagi-bagi kursi ke parpol di rumah transisi?
*******
Sabana Karang, 2014
Sumber : http://ift.tt/Vqk3cz
Sudah sering terungkap bahwa korupsi sangat potensial berada di antara jabatan menteri dan partai politik. Kasus korupsi yang membawa Andi ke pengadilan adalah “menteri sekaligus orang partai”. Begitu juga dengan Surya. Dan lain-lain, termasuk menyeret pula orang-orang dalam sebuah partainya. Biasalah praktik korupsi semacam itu.
Praktik korupsi lainnya, yang berhubungan antara “menteri” dan “partai” terjadi pada Luthfi. Luthfi bukanlah menteri tetapi petinggi partai. Uang hasil korupsi diperolehnya dari ‘kader partai’ yang menjadi menteri. Malpraktik semacam itu terjadi pula di lingkup daerah. Biasa juga, karena “kader” harus ‘menghidupi’ partainya.
Oleh karenanya, biasa pula jika sebuah partai menuntut jatah posisi menteri, dan banyak partai cenderung merapat ke kekuasaan, selain tujuan politik adalah murni demi kekuasaan. Dengan kekuasaan, ada anggaran yang bisa dialokasikan untuk ‘menghidupi’ partai.
Akan tetapi, apakah ‘kebiasaan’ korupsi melalui jabatan menteri dan orang parpol itu harus dikompromi (ditolerir) sehingga mengentalkan istilah “tradisi korupsi”?
Sesungguhnya aneh bin ajaib hidup di Indonesia yang sudah 69 tahun ini, ketika korupsi dijadikan tradisi bahkan kemerdekaan mutlak oleh kalangan birokrasi.
Bagaimana, Pak Jokowi-JK; apakah tradisi korupsi akan dilestarikan melalui transaksi bagi-bagi kursi ke parpol di rumah transisi?
*******
Sabana Karang, 2014
Sumber : http://ift.tt/Vqk3cz