Masih Tentang: Ketika SBY Enggan Menaikkan Harga BBM.
Ketika tulisan ini disusun (31/8/14), di beberapa tempat masih ada masyarakat yang kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi. Begitulah! Lagi dan lagi. Masalah BBM bersubsidi selalu menjadi sesuatu yang seksi sekaligus menjengkelkan untuk dibicarakan. Oleh sebab itu, BBM acapkali diplesetkan sebagai singkatan dari: Benar Benar Menjengkelkan.
Mengelola BBM bersubsidi tak ubahnya memakan buah Simalkama. Dinaikkan dapat memicu inflasi, namun bila tak dinaikkan akan menjadi beban keuangan negara. sehingga keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sering dipandang sebagai “keputusan yang tidak populer.”
Polemik BBM bersubsidi kali ini, konon gara-gara menyusutnya cadangan BBM (hanya mampu mensuply hingga November ‘14) sehingga perlu dilakukan pembatasan kuota. Namun kemudian pernyataan itu diralat:
“Penambahan kuota BBM tak akan berakibat jebol hingga akhir Desember. Aman!”
Bukan baru kali ini saja saling silang pernyataan antara pejabat yang satu dengan pejabat lainnya. Hm, “pating pecotot”!
Sesungguhnya, urusan menaikkan harga BBM bersubsidi sudah puluhan kali terjadi. Bahkan sejak pemerintahan Soekarno. Yang menjadi masalah, tak adanya antisipasi terhadap bakal menipisnya cadangan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara), dan kemudian beralih ke bahan bakar yang lebih murah (gas) atau energi yang ramah lingkukangan seperti: air, angin, matahari dan panas bumi.
Meski energi terbarukan pernah digaungkan namun kenyataannya hanya sebatas wacana atau lip service belaka. Implementasinya nihil, npl besar!
Sejatinya, langkah cerdas dan berani pernah dilakukan oleh Jusuf Kalla (th 2007) dengan mengkonversi penggunaan minyak tanah ke gas (LPG), ketika JK menjabat Wapres pada masa pemerintahan SBY (2004 - 2009). Namun entah kenapa, langkah “prest[gious” itu tak ditiru atau dilanjutkan dengan mengkonversi penggunaan BBM ke BBG (Bahan Bakar Gas).
Padahal, apabila pada pada periode ke II (2009 - 2014) pemerimtahan SBY sudi membangun sarana BBG: pipanisasi, SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) serta konventer kitnya, niscaya cerita duka tentang antrian panjang gara-gara pembatasan BBM bersubsidi tak akan pernah terjadi.
Bahkan, kalaupun SBY akan menaikkan BBM bersubsidi sebesar Rp 500,- / tahun, hampir pasti tak akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat seperti ini.
Apa pengaruhnya bila SBY enggan menaikkan harga BBM bersubsidi?
Banyak pihak mengatakan bahwa hal ini akan membebani atau bahkan memberikan “bom waktu” kepada pemerintahan berikutnya.
Lantas, bagaimana dengan pemerintahan yang baru (Jokowi-JK) bila ternyata kenaikan harga BBM bersubsidi juga mengalami kendala?
Apa boleh buat! Jokowi harus menunda sementara, program-program unggulannya seperti KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan sebaiknya Jokowi mempersiapkan sarana untuk pengalihan penggunaan BBM ke BBG.
Selain itu, Jokowi harus merombak sistem pembelian BBM yang dilakukan selama ini (melalui pihak ketiga atau broker), dengan sistem pembelian secara langsung ke negara produsen, sehingga dapat menekan harga BBM seefisien mungkin.
- Selamat malam Indonesia!
Sumber : http://ift.tt/1B7tXQf
Mengelola BBM bersubsidi tak ubahnya memakan buah Simalkama. Dinaikkan dapat memicu inflasi, namun bila tak dinaikkan akan menjadi beban keuangan negara. sehingga keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sering dipandang sebagai “keputusan yang tidak populer.”
Polemik BBM bersubsidi kali ini, konon gara-gara menyusutnya cadangan BBM (hanya mampu mensuply hingga November ‘14) sehingga perlu dilakukan pembatasan kuota. Namun kemudian pernyataan itu diralat:
“Penambahan kuota BBM tak akan berakibat jebol hingga akhir Desember. Aman!”
Bukan baru kali ini saja saling silang pernyataan antara pejabat yang satu dengan pejabat lainnya. Hm, “pating pecotot”!
Sesungguhnya, urusan menaikkan harga BBM bersubsidi sudah puluhan kali terjadi. Bahkan sejak pemerintahan Soekarno. Yang menjadi masalah, tak adanya antisipasi terhadap bakal menipisnya cadangan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara), dan kemudian beralih ke bahan bakar yang lebih murah (gas) atau energi yang ramah lingkukangan seperti: air, angin, matahari dan panas bumi.
Meski energi terbarukan pernah digaungkan namun kenyataannya hanya sebatas wacana atau lip service belaka. Implementasinya nihil, npl besar!
Sejatinya, langkah cerdas dan berani pernah dilakukan oleh Jusuf Kalla (th 2007) dengan mengkonversi penggunaan minyak tanah ke gas (LPG), ketika JK menjabat Wapres pada masa pemerintahan SBY (2004 - 2009). Namun entah kenapa, langkah “prest[gious” itu tak ditiru atau dilanjutkan dengan mengkonversi penggunaan BBM ke BBG (Bahan Bakar Gas).
Padahal, apabila pada pada periode ke II (2009 - 2014) pemerimtahan SBY sudi membangun sarana BBG: pipanisasi, SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) serta konventer kitnya, niscaya cerita duka tentang antrian panjang gara-gara pembatasan BBM bersubsidi tak akan pernah terjadi.
Bahkan, kalaupun SBY akan menaikkan BBM bersubsidi sebesar Rp 500,- / tahun, hampir pasti tak akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat seperti ini.
Apa pengaruhnya bila SBY enggan menaikkan harga BBM bersubsidi?
Banyak pihak mengatakan bahwa hal ini akan membebani atau bahkan memberikan “bom waktu” kepada pemerintahan berikutnya.
Lantas, bagaimana dengan pemerintahan yang baru (Jokowi-JK) bila ternyata kenaikan harga BBM bersubsidi juga mengalami kendala?
Apa boleh buat! Jokowi harus menunda sementara, program-program unggulannya seperti KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan sebaiknya Jokowi mempersiapkan sarana untuk pengalihan penggunaan BBM ke BBG.
Selain itu, Jokowi harus merombak sistem pembelian BBM yang dilakukan selama ini (melalui pihak ketiga atau broker), dengan sistem pembelian secara langsung ke negara produsen, sehingga dapat menekan harga BBM seefisien mungkin.
- Selamat malam Indonesia!
Sumber : http://ift.tt/1B7tXQf