Antara Florence dan Nasib Jemaat El Shadai Sleman Yogyakarta
Membaca berita Florence Sihombing yang ditahan Polda Yogyakarta otak saya langsung berdenyut dan nurani saya benar benar terusik. Florence bisa saja salah namun ini berlebihan sekali. Jika mau tegakan hukum mestinya aparatus Polda menatap cermin besar dan jernih biar terlihat arif dan bijak.
Mereka seolah olah melupakan serangkaian kasus heboh sebelumnya yang masih gantung dan menyisahkan lembaran PR yang belum selesai. Kalau memang benar benar mau tegakan hukum jangan tebang pilih kasus lah! Berikan perlindungan hukum dan keamanan bagi semua warga negara tanpa terkecuali dengan adil seadil-adilnya.
Buka mata lebar lebar dan cek ke lapangan perihal jemaat Gereja El Shadai Sleman Yogyakarta? Mau beribadah saja mereka mesti urunan uang setiap pekan agar bisa sewa tempat ? Sementara faktanya mereka sudah memiliki lokasi Gereja sendiri yang dibangun dari keringat jemaat.
Soal ada tidaknya ijin pun dabatabel, saya sudah mempelajari kasus ini dan menjumpai banyak sekali kejanggalan. Perihal ini tim hukum (saya dkk) yang mengadvokasi kasus ini sudah bertemu Pemda, Muspida, FKUB hingga Muspika Sleman agar Negara benar-benar hadir untuk mengayomi warganya,
Dalam sejumlah keterangan ditemukan data jika Gereja ini pernah bekerjasama dengan Pemda Sleman untuk pembinaan mental spritual aparatus Pemda Sleman yang beragama Kristiani selama 3 tahun. Aktivitas Gerejapun sudah berjalan jauh hari sebelum turunnya SKB Menteri yang kontroversial itu. Saat ini Pendeta Niko Lombuan selaku pemimpin jemaat El Shadai diminta untuk mengikuti prosedural aturan berlaku berdasarkan pada SKB Menteri.
Kami tak masalahkan prosedural administratif jika aturan hukum sudah menetapkannya demikian namun jika mau fair, mari sama sama mengecek perijinan rumah ibadah lainnya. Kasus ini sudah sangat bernuansa politis sehingga sangat mendesak bagi publik untuk mengatensinya secara khusus. Jika tidak, maka ini bom waktu dan segerombolan orang dengan kedok “agama” akan semakin mendapatkan ruang untuk seenaknya mengitervensi hukum demi syahwat kepentingannya.
Yogyakarta yang menjadi simbol Bhineka Tunggal Ika kini tengah mengalami tantangan paling serius. Boleh jadi mengoyak Yogyakarta sama dengan menggergaji pilar kebangsaan kita. Jika Yogyakarta saja bisa ditembus maka wilayah lain jauh lebih mudah. Ini yang menurut saya mungkin ada dalam pikiran kaum anti toleransi itu !
Ironi lain aparatus terkesan takut terhadap kelompok anti kebhinekaan yang ketika kasus ini menyeruak justru sebagian besar datang dari kota lain dengan menunggangi warga setempat. Secara prinsipil IMB di lokasi tak ada masalah untuk rumah tinggal, nah mau kembali ke rumahnya saja aparatus terkesan ragu malah minta Pendeta Niko yang telah berjumpa pimpinan FKUB dan Muspika untuk mengklarifikasi malah disarankan membuat pernyataan tertulis meminta maaf kepada oknum penghasut itu.
Ada apa ini? Lalu dimana peran dan tanggung jawab Polisi untuk memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan warga negara? Polisi mestinya tegas untuk menangkap siapapun dari organisasi manapun yang terang terangan mengancam kebhinekaan !
Belum lagi kasus pemaksaan sekelompok orang agar Gereja Pantekosta Bantul juga mesti ditutup (padahal izinnya telah ada sejak tahun 1990 dan ada prasasti peresmpian oleh Bupati ketika itu), belum lagi kasus terbunuhnya wartawan Udin dll.
Ingat! Cara penanganan kasus Florence Sihombing bagi kami justru mempertebal rasa yakin jika ada yang tidak beres dengan aparatus disana, ini boleh jadi upaya sistemik atau ulah oknum. Kami tak akan pernah mundur, resiko apapun akan kami hadapi demi tegaknya Hukum, HAM dan keadilan di Republik ini (*)
Sumber : http://ift.tt/1lpGydH