Kompasioner Terancam
Sejak Florence Sihombing ditangkap dan ditahan oleh Polda DIY, efek ketakutan menyeruak. Lantaran Polda DIY menggunakan pasal “penghinaan” Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), para nitizen menjadi was-was. Tidak main-main, gara-gara menulis di media sosial, ancaman kurungan penjara enam tahun bisa menimpa siapa saja. Tak pelak, para nitizen mencoba menasihati diri dan sesama rekan nitizen lainnya. “Hati-hati jika menulis di media sosial”. Tak terkecuali, beberapa kompasioner yang menulis artikelnya, memberi himbauan serupa.
Dakwaan berlapis dikenakan kepada Florence oleh Polda DIY. Tidak saja Pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1, Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE No. 11 Tahun 2008, tetapi juga Pasal 310 dan 311 KUHP. Dengan ancaman hukuman kurungan maksimal enam tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp.1 miliar. Hanya seorang warga menulis kalimat “Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya ”, harus mendapat ancaman hukuman yang menurut saya tidak setimpal.
Saya tidak dalam kapasitas membela siapapun, baik membela Florence atau membela warga Yogyakarta. Tulisan ini tidak juga mengulas kasus Florence, yang sudah banyak ditulis oleh para rekan-rekan kompasioner. Paling tidak tulisan ini untuk membela saya sendiri. Sebagai seorang penulis (kompasioner) di blok kroyokan ini. Dengan digunakannya pasal 27 dan pasal 45 UU ITE sebagai dasar dakwaan, bisa mengancam diri saya sendiri. Alih alih melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru ancaman itu akan membungkamnya. Hukum yang semestinya untuk melindungi, sebaliknya akan digunakan sebagai instrumen teror bagi pihak yang bersebrangan.
Bila saya menulis kalimat, “Prabowo pelanggar HAM”, atau “Jokowi antek Cina”, sewaktu-waktu, saya bisa dijerat oleh pasal karet itu. Bukan tanpa alasan. Menulis kalimat “Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya ”, saja bisa terjerat oleh pasal karet itu. Padahal kalimat itu tidak jelas ditujukan kepada siapa sebagai badan hukum atau perorangan. Apalagi jelas-jelas menulis nama seseorang seperti “Prabowo”, “Ahok”, atau “Jokowi”.
Hal ini mengingatkan saya, sewaktu masih berstatus mahasiswa di Yogyakarta dulu. Ada ketakutan tersembunyi akan ancaman UU Subersif, bila turun kejalan, mencaci maki pemerintahan Suharto. Kembali hal serupa terjadi, dengan penggunaan pasal 27 dan pasal 45 UU ITE. Menghadirkan teror, ancaman, dan menimbulkan ketakutan bagi siapa saja yang menyatakan pendapat dan berekspresi.
Sejak diberlakukan UU ITE tahun 2008, kurang lebih sudah 32 orang yang menjadi korban. Dari daftar korban paling populer adalah Prita Mulyasari. Meskipun putusan MA, pada akhirnya membebaskan Prita, tapi Prita harus meringkuk ditahanan selama 22 hari. Bila terbukti bersalah, orang bisa terkena ancaman enam tahun penjara. Jika tidak terbukti bersalah, tetap merasakan hidup di balik jeruji. Salah atau tidak salah, seseorang yang terkena pasal ini, tetap meringkuk ditahanan. Ironis.
Sedari awal, pasal UU ITE ini memang penuh kontroversial. Kalangan pekerja sosial, wartawan dan advokat mengusulkan agar DPR merevisi UU ITE ini. Kenyataannya DPR periode lalu, tidak hirau. Berharap pembahasan revisi UU ITE bisa masuk dalam Prolegnas DPR periode 2014-2019 mendatang. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang erat hubunganya dengan UU ITE ini, meminta DPR berkerjasama untuk merevisi UU ITE. Karena korban telah banyak berguguran. “Saya terus terang sedih ada korban lagi menyangkut Pasal 27 ayat 3 UU ITE,” ungkap Gatot Sulistiantoro, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo . Pernyataan Gatot ini berkaitan vonis enam bulan dengan masa percobaan satu tahun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Benny Handoko (Benhan) atas kicauannya di Twitter. Benhan dianggap mencemarkan nama baik Misbakhun (sumber)
Jika masih diberlakukan sampai saat ini, pihak kepolisian sebagai lembaga penegak hukum termasuk kejaksaan, akan kembali mengunakan pasal-pasal karet ini sebagai dasar dakwaan. Meskipun Andi Hamzah (Guru Besar Hukum Pidana), berulang kali menyatakan, alasan kepolisian menggunakan pasal tersebut tidak tepat dan bahkan dapat menjadi dasar yurisprudensi, untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang.
Tidak ada ukuran baku untuk menilai suatu perbuatan dianggap “penghinaan” atau “pencemaran nama baik” yang termuat dalam pasal tersebut. Pasal ini mengandung multi tafsir, subyektif, dan relativitas yang tinggi. Para penegak hukum dapat secara sepihak menggunakan pasal ini. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Berbeda halnya dengan peradilan di Inggris yang memberi kriteria untuk menilai pernyataan memiliki muatan menghina atau tidak. Kriteria itu dibentuk oleh House of Lords pada tahun 1999 saat mengadili kasus Reynolds v. Times Newspapers Limited, dan dijadikan yurisprudensi sampai sekarang. (Sumber: Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform: November 2012)
Dalam konteks hukum tata negara, masih diberlakukan hukum ini terasa aneh bin ganjil. Bagaimana tidak. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, karena mencederai hak konstitusi warga menyatakan pendapat. Sisi lain (menurut hukum) warga negara bebas menyatakan pendapat berkenaan dengan Presiden dan Wakil Presinden, sementara institusi di bawahnya masih “kebal hukum”. Seorang tidak bisa dihukum karena dianggap menghina Presiden, tapi bisa dihukum karena dianggap menghina Bupati. Seperti kasus Donny Iswandono, seorang wartawan yang menulis artikel berjudul “Segera! Periksa, Tangkap dan Adili Bupati Nias Selatan” . Atau kasus Budiman, yang menulis status di Facebook dianggap menghina Bupati Pangkep dengan status “Bupati terbodoh di Indonesia”. (sumber).
Tidak sebatas hukuman formal dan legal yang bisa dijatuhkan kepada siapa saja yang dianggap melakukan perbuatan “menghina” atau “pencemaran nama baik”. Tetapi juga hukum tambahan, dikenakan kepada pelaku. Seperti yang dialami oleh para “korban” UU ITE. Teror lewat sms, rumah dirusak, di demo, bahkan keluargapun ikut ditekan. Itulah yang disebut Chilling effect. Ujar Yenti Ganarsih (ahli hukum pidana Universitas Trisakti), maksudnya” obatnya terlalu jahat dibanding penyakitnya.” Sudah jatuh ditimpa tangga pula .
Penggunaan pasal “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” oleh beberapa negara telah dihapus. Karena dianggap telah memasung demokrasi. Baik yang terdapat dalam UU ITE, maupun dalam UU KUHP. Seperti di Inggris, AS, Srilangka, India termasuk negara tetangga Timor Leste. Lagipula pasal karet ini, adalah ketentuan hukum yang dianut pada abad ke 13. Dengan mengintrodusir sejarah lahirnya Scandalum Magnatum pada abad ke 13 di Inggris pada masa pemerintahan Edward I. Scandalum Magnatum ini disahkan karena pada saat itu di Inggris terdapat cukup banyak korban dan kegaduhan yang diakibatkan oleh pembalasan akibat saling menghina. Dan oleh MK, menjadi dasar mencabut pasal pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden pada 2006 silam. Anehnya, pasal penghinaan terhadap penguasa, instansi di bawah presiden masih tertera di KUHP. Bahkan diperkuat dengan UU ITE.
Penerapan pasal “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” ini, masih terasa timpang. Jika benar ingin diterapkan secara seimbang pada semua orang. Kita semua tahu, akun twiter @TrioMacam2000, misalnya yang tak henti-henti menulis kicauan yang bernada “menghina”. Tak tersentuh oleh hukum. Bahkan saat kampanye Pilpres yang baru saja berlalu, tidak sedikit tulisan, status, kicauan yang bisa dikatagorikan menghina baik kepada Prabowo maupun Jokowi. Atau sebaliknya Prabowo mengatakan “Bangsa Indonesia kadang-kadang Naif dan Goblok” (sumber). Lalu. Dimanakah ketajaman pedang keadilan dalam penerapannya? Mekanisme pidana mestinya menjadi ultimum remidium yang digunakan untuk memproses semua kasus penghinaan. Tak pandang bulu.
Hukum penghinaan selayaknya hanya bisa ditujukan kepada perorangan, bukan institusi atau lembaga. Karena drajat penghinaan bersifat privat dan tidak menggangu stabilitas dan keamanan nasional, maka ganjaran hukumnya diletakan pada hukum perdata, bukan pidana. Tidak akan hilang kredebilitas dan kehormatan diri saya, jika seandainya anda menulis kicauan “bodoh atau tolol” pada diri saya. Justru sebaliknya, anda akan menerima hantaman balik dari orang-orang yang bersimpati pada saya. Sudah sepadankah anda mendapat ancaman hukuman enam tahun penjara, hanya karena anda menghina saya dengan menulis “bodoh atau tolol”. Sementara anda mendapat hukuman berlipat (chilling effect) dengan di bully oleh para nitizen yang lain.
Apa yang menimpa pada Florence di Yogyakarta, dengan ancaman pasal teror itu, sekali lagi telah menimbulkan iklim ketakutan dalam masyarakat, terutama para nitizen. Dan secara masif berpotensi membatasi hak warga menyatakan pendapat dan berekspresi yang telah dijamin dalam konstitusi negara. Perbuatan yang dilakukan oleh Florence tentulah bisa kita anggap sebagai tindakan melanggar norma dan etik. Tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan. Namun, ketika Polda DIY, memberlakukan kembali pasal 27 dan pasal 45 UU ITE, efeknya bukan saja pada Florence. Tapi semacam sinyal kepada seluruh nitizen dalam upaya pembungkaman.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1pvsbpp
Dakwaan berlapis dikenakan kepada Florence oleh Polda DIY. Tidak saja Pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1, Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE No. 11 Tahun 2008, tetapi juga Pasal 310 dan 311 KUHP. Dengan ancaman hukuman kurungan maksimal enam tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp.1 miliar. Hanya seorang warga menulis kalimat “Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya ”, harus mendapat ancaman hukuman yang menurut saya tidak setimpal.
Saya tidak dalam kapasitas membela siapapun, baik membela Florence atau membela warga Yogyakarta. Tulisan ini tidak juga mengulas kasus Florence, yang sudah banyak ditulis oleh para rekan-rekan kompasioner. Paling tidak tulisan ini untuk membela saya sendiri. Sebagai seorang penulis (kompasioner) di blok kroyokan ini. Dengan digunakannya pasal 27 dan pasal 45 UU ITE sebagai dasar dakwaan, bisa mengancam diri saya sendiri. Alih alih melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru ancaman itu akan membungkamnya. Hukum yang semestinya untuk melindungi, sebaliknya akan digunakan sebagai instrumen teror bagi pihak yang bersebrangan.
Bila saya menulis kalimat, “Prabowo pelanggar HAM”, atau “Jokowi antek Cina”, sewaktu-waktu, saya bisa dijerat oleh pasal karet itu. Bukan tanpa alasan. Menulis kalimat “Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya ”, saja bisa terjerat oleh pasal karet itu. Padahal kalimat itu tidak jelas ditujukan kepada siapa sebagai badan hukum atau perorangan. Apalagi jelas-jelas menulis nama seseorang seperti “Prabowo”, “Ahok”, atau “Jokowi”.
Hal ini mengingatkan saya, sewaktu masih berstatus mahasiswa di Yogyakarta dulu. Ada ketakutan tersembunyi akan ancaman UU Subersif, bila turun kejalan, mencaci maki pemerintahan Suharto. Kembali hal serupa terjadi, dengan penggunaan pasal 27 dan pasal 45 UU ITE. Menghadirkan teror, ancaman, dan menimbulkan ketakutan bagi siapa saja yang menyatakan pendapat dan berekspresi.
Sejak diberlakukan UU ITE tahun 2008, kurang lebih sudah 32 orang yang menjadi korban. Dari daftar korban paling populer adalah Prita Mulyasari. Meskipun putusan MA, pada akhirnya membebaskan Prita, tapi Prita harus meringkuk ditahanan selama 22 hari. Bila terbukti bersalah, orang bisa terkena ancaman enam tahun penjara. Jika tidak terbukti bersalah, tetap merasakan hidup di balik jeruji. Salah atau tidak salah, seseorang yang terkena pasal ini, tetap meringkuk ditahanan. Ironis.
Sedari awal, pasal UU ITE ini memang penuh kontroversial. Kalangan pekerja sosial, wartawan dan advokat mengusulkan agar DPR merevisi UU ITE ini. Kenyataannya DPR periode lalu, tidak hirau. Berharap pembahasan revisi UU ITE bisa masuk dalam Prolegnas DPR periode 2014-2019 mendatang. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang erat hubunganya dengan UU ITE ini, meminta DPR berkerjasama untuk merevisi UU ITE. Karena korban telah banyak berguguran. “Saya terus terang sedih ada korban lagi menyangkut Pasal 27 ayat 3 UU ITE,” ungkap Gatot Sulistiantoro, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo . Pernyataan Gatot ini berkaitan vonis enam bulan dengan masa percobaan satu tahun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Benny Handoko (Benhan) atas kicauannya di Twitter. Benhan dianggap mencemarkan nama baik Misbakhun (sumber)
Jika masih diberlakukan sampai saat ini, pihak kepolisian sebagai lembaga penegak hukum termasuk kejaksaan, akan kembali mengunakan pasal-pasal karet ini sebagai dasar dakwaan. Meskipun Andi Hamzah (Guru Besar Hukum Pidana), berulang kali menyatakan, alasan kepolisian menggunakan pasal tersebut tidak tepat dan bahkan dapat menjadi dasar yurisprudensi, untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang.
Tidak ada ukuran baku untuk menilai suatu perbuatan dianggap “penghinaan” atau “pencemaran nama baik” yang termuat dalam pasal tersebut. Pasal ini mengandung multi tafsir, subyektif, dan relativitas yang tinggi. Para penegak hukum dapat secara sepihak menggunakan pasal ini. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Berbeda halnya dengan peradilan di Inggris yang memberi kriteria untuk menilai pernyataan memiliki muatan menghina atau tidak. Kriteria itu dibentuk oleh House of Lords pada tahun 1999 saat mengadili kasus Reynolds v. Times Newspapers Limited, dan dijadikan yurisprudensi sampai sekarang. (Sumber: Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform: November 2012)
Dalam konteks hukum tata negara, masih diberlakukan hukum ini terasa aneh bin ganjil. Bagaimana tidak. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, karena mencederai hak konstitusi warga menyatakan pendapat. Sisi lain (menurut hukum) warga negara bebas menyatakan pendapat berkenaan dengan Presiden dan Wakil Presinden, sementara institusi di bawahnya masih “kebal hukum”. Seorang tidak bisa dihukum karena dianggap menghina Presiden, tapi bisa dihukum karena dianggap menghina Bupati. Seperti kasus Donny Iswandono, seorang wartawan yang menulis artikel berjudul “Segera! Periksa, Tangkap dan Adili Bupati Nias Selatan” . Atau kasus Budiman, yang menulis status di Facebook dianggap menghina Bupati Pangkep dengan status “Bupati terbodoh di Indonesia”. (sumber).
Tidak sebatas hukuman formal dan legal yang bisa dijatuhkan kepada siapa saja yang dianggap melakukan perbuatan “menghina” atau “pencemaran nama baik”. Tetapi juga hukum tambahan, dikenakan kepada pelaku. Seperti yang dialami oleh para “korban” UU ITE. Teror lewat sms, rumah dirusak, di demo, bahkan keluargapun ikut ditekan. Itulah yang disebut Chilling effect. Ujar Yenti Ganarsih (ahli hukum pidana Universitas Trisakti), maksudnya” obatnya terlalu jahat dibanding penyakitnya.” Sudah jatuh ditimpa tangga pula .
Penggunaan pasal “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” oleh beberapa negara telah dihapus. Karena dianggap telah memasung demokrasi. Baik yang terdapat dalam UU ITE, maupun dalam UU KUHP. Seperti di Inggris, AS, Srilangka, India termasuk negara tetangga Timor Leste. Lagipula pasal karet ini, adalah ketentuan hukum yang dianut pada abad ke 13. Dengan mengintrodusir sejarah lahirnya Scandalum Magnatum pada abad ke 13 di Inggris pada masa pemerintahan Edward I. Scandalum Magnatum ini disahkan karena pada saat itu di Inggris terdapat cukup banyak korban dan kegaduhan yang diakibatkan oleh pembalasan akibat saling menghina. Dan oleh MK, menjadi dasar mencabut pasal pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden pada 2006 silam. Anehnya, pasal penghinaan terhadap penguasa, instansi di bawah presiden masih tertera di KUHP. Bahkan diperkuat dengan UU ITE.
Penerapan pasal “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” ini, masih terasa timpang. Jika benar ingin diterapkan secara seimbang pada semua orang. Kita semua tahu, akun twiter @TrioMacam2000, misalnya yang tak henti-henti menulis kicauan yang bernada “menghina”. Tak tersentuh oleh hukum. Bahkan saat kampanye Pilpres yang baru saja berlalu, tidak sedikit tulisan, status, kicauan yang bisa dikatagorikan menghina baik kepada Prabowo maupun Jokowi. Atau sebaliknya Prabowo mengatakan “Bangsa Indonesia kadang-kadang Naif dan Goblok” (sumber). Lalu. Dimanakah ketajaman pedang keadilan dalam penerapannya? Mekanisme pidana mestinya menjadi ultimum remidium yang digunakan untuk memproses semua kasus penghinaan. Tak pandang bulu.
Hukum penghinaan selayaknya hanya bisa ditujukan kepada perorangan, bukan institusi atau lembaga. Karena drajat penghinaan bersifat privat dan tidak menggangu stabilitas dan keamanan nasional, maka ganjaran hukumnya diletakan pada hukum perdata, bukan pidana. Tidak akan hilang kredebilitas dan kehormatan diri saya, jika seandainya anda menulis kicauan “bodoh atau tolol” pada diri saya. Justru sebaliknya, anda akan menerima hantaman balik dari orang-orang yang bersimpati pada saya. Sudah sepadankah anda mendapat ancaman hukuman enam tahun penjara, hanya karena anda menghina saya dengan menulis “bodoh atau tolol”. Sementara anda mendapat hukuman berlipat (chilling effect) dengan di bully oleh para nitizen yang lain.
Apa yang menimpa pada Florence di Yogyakarta, dengan ancaman pasal teror itu, sekali lagi telah menimbulkan iklim ketakutan dalam masyarakat, terutama para nitizen. Dan secara masif berpotensi membatasi hak warga menyatakan pendapat dan berekspresi yang telah dijamin dalam konstitusi negara. Perbuatan yang dilakukan oleh Florence tentulah bisa kita anggap sebagai tindakan melanggar norma dan etik. Tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan. Namun, ketika Polda DIY, memberlakukan kembali pasal 27 dan pasal 45 UU ITE, efeknya bukan saja pada Florence. Tapi semacam sinyal kepada seluruh nitizen dalam upaya pembungkaman.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1pvsbpp