Uang: Membongkar Makar Kompasianer Misterius (Bag. 3/End)
Saya tidak suka cuma mengambil sisi negatif beliau. Kalau demikian berarti tidak berimbang. Berikut keuntungan yang bisa kita ambil setelah membersamai pemikiran beliau—sekaligus merupakan hikmah dari PILPRES tahun ini:
1. Perkembangan informasi menyediakan ruang bagi setiap orang berpikir jernih.
2. Kita harus menjadi pribadi yang mengambil informasi dari dalam dan dari luar ‘rumah’. Turunkan konsentrasi egosentris!
3. Lapang dada ciri kesatria.
4. Jangan menyeret rakyat yang sebagiannya lugu, ke dalam konflik. Rakyat jadi tumbal, kalau itu benar terjadi.
5. Kecenderungan bahwa tidak ada ‘rumah’ yang indah berasal dari bahan yang jelek. Berpolitik lah dengan indah maka Anda membangun rumah yang indah.
6. Jangan jadikan rakyat korban di ‘pasar perdagangan politik’. Politik harus menjadi domain seluruh masyarakat, bukan kalangan elit saja.
7. Main-main dalam politik sama dengan mempermainkan negara.
8. Kegelapan yang menguasai jiwa maka tidak dapat melihat setitik terang yang ada di luar rumah.
9. Egosentris mempermalukan diri sendiri. Membangun kerajaan tanpa baju.
10. Pemimpin yang baik seharusnya bersedia mendengar lebih banyak, bukan mendengar suara yang lebih enak didengar.
11. Jangan menyembah kekuasaaan.
12. Sulit mengincar gawang lawan sambil tertawa. Di tempat serius kita mesti serius. Kalau tidak. Kita yang malu.
13. Jika dua kubu bercita-cita dan satu muara, kenapa tidak bekerja sama saja. Kenapa tidak simbiosis mutualisme saja.
14. Jangan mempersepsikan PILPRES sebagai Perang. Tapi persepsikanlah sebagai perlombaan.
15. Kalau Anda menuduh, Anda harus membuktikan, bukan orang yang dituduh yang membuktikan. Jadi kerja menuduh itu lebih merepotkan. Tapi mencari keadilan tidak lah salah dan tidak pula keliru.
16. Jangan mengelu-elu pemimpin.
17. Jangan jadikan rakyat sebagai senjata perusak. Petasan kecil mampu bikin rumah kecil terbakar. Pun demikian rumah sebesar Indonesia.
18. Jangan gunakan segala cara untuk memenangkan PILPRES.
19. Ketegasan aparat dibutuhkan agar hukum tak diremehkan.
20. Mafia hukum salah satunya adalah mereka yang memasok saksi palsu .
21. Menuding orang yang menuding. Sama saja kulitas kedua orang itu, jika menuding dengan opini bukan dengan fakta.
22. Menghormati nama baik sendiri tak bisa maka lebih tidak bisa menghormati orang lain.
23. Mengingkari hasil penelitian yang valid dan realible boleh jadi tidak bisa diharapkan mampu mencerdaskan orang lain.
24. Membangun rumah dengan tiang-tiang yang goyang sudah pasti membangun kuburan bagi dirinya sendiri.
25. Manusia memiliki dua mata dan dua telinga. Tapi cuma memiliki satu mulut. Itu artinya manusia harus lebih banyak melihat dan mendengar ketimbang berbicara.
Boleh jadi dengan karakter pemikiran yang demikian beliau makin berkembang dan tentu saja tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia apalagi Republik Kompasiana. Seandainya Indonesia berjalan dengan dua kaki. Maka ZA termasuk ke dalam golongan kaki yang satu sebagai korektor (sedang kaki yang lain adalah government). Berjalan dengan satu kaki seperti pincang. Berjalan sekaligus dengan dua kaki menghabiskan banyak energi dan tidak efektif. Maka harus mempergilirkan kaki yang satu baru kemudian kaki yang lain dan seterusnya bergantian. Tapi, akankah beliau bertahan dengan sikap kritisnya itu? Kita lihat saja nanti!
Oleh karena kita bisa pro, dan suatu saat bisa kontra terhadap sesuatu yang sama (objek yang sama) maka mari sama-sama berhati-hati meniti jembatan dari start sampai finish.
Alasan lain kenapa saya membahas ZA bukan karena pentingnya beliau untuk dibahas. Tujuan saya sebenarnya bukan itu. Tujuan sebenarnya agar kita mengambil hikmah dari PILPRES tahun ini, di samping agar kita berhati-hati mengambil makna dari artikel, karena ada makna tersurat dan tersirat.
End
***MenolakRiba
Note: “rindu dengan artikel about perbankan syariah”
Sumber : http://ift.tt/1qrrjjz