Kami tidak Mau Menunggu Godot
Kegembiraan demokrasi telah usai. Jokowi dan Jusuf Kalla pun terangkai. Betapa pun “hanya” sebanyak 53,15% dari jumlah suara telah menjatuhkan pilihan untuk Anda berdua, namun tidak bisa tidak Anda berdua nanti tetaplah sebagai duet pemimpin bagi seluruh suara di negeri ini. Ya, 100% suara di negeri seperempat milyar jiwa ini menunggu janji Bapak. Salam 2 jari sebagai Capres-Cawapres saatnya kini berubah menjadi ajakan 10 jari, uluran tangan, untuk bersatu bahu-membahu lagi membangun negeri yang, konon, gemah ripah loh jinawi. Seluruh rakyatmu jelas tidak ingin “menunggu Godot” yang tak pernah jelang.
Kursi ≠ (balas) budi
Terngiang Bapak mengatakan bahwa kursi menteri bukan untuk dibagi-bagi. Sungguh ciamik dan heroik. Kursi adalah kursi, budi tetaplah budi. Profesional adalah tolok ukur Bapak. Namun tidak bisa dibantah bahwa tim sukses Bapak dihuni oleh banyak profesional. Begitu juga sejawat koalisi yang berbaju partai di sekitar Bapak. Melihat itu semua, Bapak tentu juga tidak mau disebut ‘tidak tahu membalas budi’ bukan? Bapak berdua adalah pilihan 53,15% suara, tetapi para menteri Bapak bukanlah pilihan kami lagi. Sungguh sebuah terobosan cemerlang manakala Bapak memberi kami ruang usul. Sebatas usul cukuplah bagi kami dan itu menandakan bahwa Bapak sungguh peduli kami. Profesional ada di mana-mana, termasuk di partai koalisi maupun non-koalisi. Kini dan nanti Bapak, berdua, adalah Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, sehingga bukan lagi milik partai atau bahkan petugas partai. Maka alangkah eloknya jika nanti para menteri Bapak yang ternyata berasal dari partai pun segera melepas baju partai, alias non-aktif sepanjang tugas mulianya sebagai Menteri Bapak. Jangan ada lagi rangkap jabatan politis di negeri ini karena di situlah letak ambivalensi dan ambigu. Tidak akan pernah jelas, kapan dia bekerja sebagai pejabat negara sekelas Menteri dan bila ia bertindak sebagai Pejabat Partai. Ambivalensi dan ambigu adalah awal dari manipulasi. Satu lagi, Bapak ingin kabinet yang ramping. Oleh karenanya, jangan lagi menunjuk Wakil Menteri untuk membantu sang Menteri, yang kata Bapak sudah kredibel dan profesional itu. Urusan teknis biarlah diatasi para Dirjen yang merupakan pejabat karier kawakan di bidangnya.
Gaya Blusukan
Bapak Jokowi pernah juga mengatakan akan tetap memakai gaya blusukan seperti ketika jadi Walikota dan Gubernur. Saya, seorang rakyat yang sangat tidak sepandai para cendekia di sekitar Bapak, merasa sulit membayangkan jika seorang Presiden bergaya blusukan di sana-sini seantero nusantara di segala bidang. Berapa biaya protokoler dan pengawalan yang harus disiapkan. Belum lagi pemetaan areal terkunjung yang harus steril sampai radius kiloan-meter dan harus disiapkan beberapa jam sebelum Bapak beraksi blusukan. Hal yang jamak di negeri ini apabila pejabat lewat di jalan umum selalu minta keistimewaan. Rambu-rambu lantas yang ada hanya untuk rakyat sedangkan bagi pejabat tidak laku alias lumpuh total. Ya, pejabat wajib didahulukan tanpa antri. Rakyat harus merelakan waktu dan ruang demi sang pejabat. Kapan pun di mana pun. Apalagi yang punya gawe adalah Presiden sepopuler Bapak ini. Walah… Jika boleh usul, bagaimana jika para Menteri Bapak yang terjun langsung ke masyarakat saja. Selain lebih dekat dengan rakyatnya, mereka menyentuh langsung problem rakyat yang tersentuh oleh kebijakan mereka. Walaupun mereka menduduki jabatan politis tetapi, seperti tekad Bapak, mereka adalah profesional tangguh yang mengurus hajat hidup rakyat. Mereka tidak seyogyanya percaya begitu saja dengan laporan bawahannya. Kesuksesan maupun ketidaksuksesan bawahan adalah cermin pemimpinnya. Bawahan sukses, pemimpin menuai sanjungan. Sebaliknya bawahan yang gagal, pemimpin jangan cuci tangan dengan alasan tidak ada laporan atau koordinasi atau seribu kilah sejenis. Namun demikian janganlah kegiatan turba itu sekedar seremonia atau rekayasa popularita belaka.
Rekonsiliasi unifikasi
Setelah terbelah dalam Pilpres, tibalah nanti Bapak adalah Presiden untuk kita semua termasuk juga para pendukung mantan capres-cawapres nomor 1. Setelah Pilpres, dikotomi nomor 1 dan nomor 2 secara alami pupus sudah. Mereka akan kembali menjadi rakyat yang akan Bapak pimpin. Sebagai negarawan, saya percaya Bapak tidak lagi memandang mereka sebagai lawan apalagi tantangan. Tantangan yang sesungguhnya adalah realisasi sederet janji Bapak ketika kampanye. Jika di antara mereka ada profesional yang Bapak butuhkan dalam rangka merealisasi janji, tentu patut dipertimbangkan. Sudah sepatutnya bahwa siapa pun harus mendukung pemerintahan Bapak karena Bapaklah yang dipilih rakyat. Betapa pun mereka tidak mendukung dan memilih Bapak, bukan berarti mereka bakal terhindar dari kebijakan Bapak, kecuali mereka bukan lagi rakyat Bapak, alias beralih warganegara. Kalaupun mereka tidak bersedia bergabung dengan Bapak, mereka bukanlah oposisi yang senantiasa berada di seberang kebijakan Bapak. Tepatnya, mereka adalah partner kritis pemerintah. Pemikiran mereka yang terwujud dalam program kala kampanye adalah pelengkap yang layak sepanjang bersinggungan dan pararel dengan program Bapak. Rekonsiliasi menjadi lebih elok lagi dengan unifikasi ide yang bermuara ke Indonesia yang bhinneka.
Selamat menunaikan janji dan kami menunggu. Tidak perlu berpanjang, cukup tenor 5 tahun dululah.
Sumber : http://ift.tt/1v2kASq
Kursi ≠ (balas) budi
Terngiang Bapak mengatakan bahwa kursi menteri bukan untuk dibagi-bagi. Sungguh ciamik dan heroik. Kursi adalah kursi, budi tetaplah budi. Profesional adalah tolok ukur Bapak. Namun tidak bisa dibantah bahwa tim sukses Bapak dihuni oleh banyak profesional. Begitu juga sejawat koalisi yang berbaju partai di sekitar Bapak. Melihat itu semua, Bapak tentu juga tidak mau disebut ‘tidak tahu membalas budi’ bukan? Bapak berdua adalah pilihan 53,15% suara, tetapi para menteri Bapak bukanlah pilihan kami lagi. Sungguh sebuah terobosan cemerlang manakala Bapak memberi kami ruang usul. Sebatas usul cukuplah bagi kami dan itu menandakan bahwa Bapak sungguh peduli kami. Profesional ada di mana-mana, termasuk di partai koalisi maupun non-koalisi. Kini dan nanti Bapak, berdua, adalah Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, sehingga bukan lagi milik partai atau bahkan petugas partai. Maka alangkah eloknya jika nanti para menteri Bapak yang ternyata berasal dari partai pun segera melepas baju partai, alias non-aktif sepanjang tugas mulianya sebagai Menteri Bapak. Jangan ada lagi rangkap jabatan politis di negeri ini karena di situlah letak ambivalensi dan ambigu. Tidak akan pernah jelas, kapan dia bekerja sebagai pejabat negara sekelas Menteri dan bila ia bertindak sebagai Pejabat Partai. Ambivalensi dan ambigu adalah awal dari manipulasi. Satu lagi, Bapak ingin kabinet yang ramping. Oleh karenanya, jangan lagi menunjuk Wakil Menteri untuk membantu sang Menteri, yang kata Bapak sudah kredibel dan profesional itu. Urusan teknis biarlah diatasi para Dirjen yang merupakan pejabat karier kawakan di bidangnya.
Gaya Blusukan
Bapak Jokowi pernah juga mengatakan akan tetap memakai gaya blusukan seperti ketika jadi Walikota dan Gubernur. Saya, seorang rakyat yang sangat tidak sepandai para cendekia di sekitar Bapak, merasa sulit membayangkan jika seorang Presiden bergaya blusukan di sana-sini seantero nusantara di segala bidang. Berapa biaya protokoler dan pengawalan yang harus disiapkan. Belum lagi pemetaan areal terkunjung yang harus steril sampai radius kiloan-meter dan harus disiapkan beberapa jam sebelum Bapak beraksi blusukan. Hal yang jamak di negeri ini apabila pejabat lewat di jalan umum selalu minta keistimewaan. Rambu-rambu lantas yang ada hanya untuk rakyat sedangkan bagi pejabat tidak laku alias lumpuh total. Ya, pejabat wajib didahulukan tanpa antri. Rakyat harus merelakan waktu dan ruang demi sang pejabat. Kapan pun di mana pun. Apalagi yang punya gawe adalah Presiden sepopuler Bapak ini. Walah… Jika boleh usul, bagaimana jika para Menteri Bapak yang terjun langsung ke masyarakat saja. Selain lebih dekat dengan rakyatnya, mereka menyentuh langsung problem rakyat yang tersentuh oleh kebijakan mereka. Walaupun mereka menduduki jabatan politis tetapi, seperti tekad Bapak, mereka adalah profesional tangguh yang mengurus hajat hidup rakyat. Mereka tidak seyogyanya percaya begitu saja dengan laporan bawahannya. Kesuksesan maupun ketidaksuksesan bawahan adalah cermin pemimpinnya. Bawahan sukses, pemimpin menuai sanjungan. Sebaliknya bawahan yang gagal, pemimpin jangan cuci tangan dengan alasan tidak ada laporan atau koordinasi atau seribu kilah sejenis. Namun demikian janganlah kegiatan turba itu sekedar seremonia atau rekayasa popularita belaka.
Rekonsiliasi unifikasi
Setelah terbelah dalam Pilpres, tibalah nanti Bapak adalah Presiden untuk kita semua termasuk juga para pendukung mantan capres-cawapres nomor 1. Setelah Pilpres, dikotomi nomor 1 dan nomor 2 secara alami pupus sudah. Mereka akan kembali menjadi rakyat yang akan Bapak pimpin. Sebagai negarawan, saya percaya Bapak tidak lagi memandang mereka sebagai lawan apalagi tantangan. Tantangan yang sesungguhnya adalah realisasi sederet janji Bapak ketika kampanye. Jika di antara mereka ada profesional yang Bapak butuhkan dalam rangka merealisasi janji, tentu patut dipertimbangkan. Sudah sepatutnya bahwa siapa pun harus mendukung pemerintahan Bapak karena Bapaklah yang dipilih rakyat. Betapa pun mereka tidak mendukung dan memilih Bapak, bukan berarti mereka bakal terhindar dari kebijakan Bapak, kecuali mereka bukan lagi rakyat Bapak, alias beralih warganegara. Kalaupun mereka tidak bersedia bergabung dengan Bapak, mereka bukanlah oposisi yang senantiasa berada di seberang kebijakan Bapak. Tepatnya, mereka adalah partner kritis pemerintah. Pemikiran mereka yang terwujud dalam program kala kampanye adalah pelengkap yang layak sepanjang bersinggungan dan pararel dengan program Bapak. Rekonsiliasi menjadi lebih elok lagi dengan unifikasi ide yang bermuara ke Indonesia yang bhinneka.
Selamat menunaikan janji dan kami menunggu. Tidak perlu berpanjang, cukup tenor 5 tahun dululah.
Sumber : http://ift.tt/1v2kASq