Suara Warga

Elit Politik Menyandera Demokrasi, Rakyat Kecewa dan Muak

Artikel terkait : Elit Politik Menyandera Demokrasi, Rakyat Kecewa dan Muak

Rakyat kini kecewa dan mulai muak dengan perilaku elit politik menjadi-jadi, usai Pilpres 2014. Pasalnya, kekuasaan konstitusional yang sudah diejawantahkan dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 lalu, dipersoalkan tak henti-hentinya oleh cendekiawan-cendekiawan politik di negeri ini terutama yang ada dipusaran salah satu kubu capres/cawapres kontestan Pilpres. Bukan karena tidak setuju dengan penggugatan oleh kubu bersangkutan, melainkan karena terkesan ada ketidakrelaan untuk menerima bahkan sengaja mengabaikan suara rakyat yang sudah lebih banyak diberikan kepada Cappres/cawapres partner kontestan. Lalu bermanuver kiri kanan, dengan sejuta argumentasi merongrong proses pemilihan presiden yang sudah memasuki tahap-tahap akhir.

Pernyataan-pernyataan sejumlah elit politik yang cenderung mencurigai kinerja KPU setelah menetapkan Capres/cawapres terpilih, terus disimak rakyat termasuk penulis sendiri sebagai salah satu rakyat jelata yang awam politik. Bukan saja terbuat bingung, tetapi juga kecewa dan muak, sembari bertanya “ apa sih maunya orang-orang ini?” Sudah dengan susah payah rakyat berduyun-duyun datang ke TPS-TPS di seluruh pelosok tanah air, hanya untuk melaksanakan hak politik berdasarkan konstitusi, sesuai dengan kehendak nuraninya, dengan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka mencari nafkah hari itu, eeeh…. malah diremehkan oleh elit dan mau dibatalkan. Padahal, kalangan terdidik ini nyaris setiap detik mengeluarkan statemen mengatasnamakan demokrasi (kedaulatan rakyat). Ironis memang, karena disatu pihak mereka ingin menjadikan diri pahlawan demokrasi, tetapi dilain pihak justru menyandera demokrasi itu agar tidak dinamis bergerak maju.

Rakyat gembira melihat proses demokrasi di negeri ini hidup dan berkembang, terutama pada saat kampanye. Betapa bersemangatnya semua kalangan pemihak dua kubu Capres/Cawapres membela jagoan dan visi serta misi masing-masing dibarengi optimisme yang tinggi akan memenangkan pertarungan. Sambil meyakinkan rakyat bahwa akan menghormati apapun hasil PILPRES yang didapat. Elit-elit pendukung adu pintar dengan komentar dan argumentasi yang memang semuanya masuk akal dan berdasar. Walau tidak sedikit juga komentar miring yang tidak sesuai dengan etika dan tatakrama ciri khas bangsa Indonesia yang terkenal berbudaya, namun tidak menyebabkan gesekan mengganggu. Ada konten disebut negatif, ada pula yang dikatakan konten hitam. Semuanya mengalir seperti air sungai yang tidak bisa terbendung bahkan dinikmati oleh kedua belah pihak dan rakyat. Lalu sampai pada puncaknya, tercapai seperti apa yang sekarang diketahui oleh seluruh bangsa, Keputusan KPU menetapkan salah satu Kontestan sebagai Capres dan Cawapres terpilih.

Proses diakui rakyat berlangsung dengan penuh dinamika. Sangat afdol setelah salah satu kubu memilih MK sebagai eksekutor final yang bakal menghentikan semua ketidak puasan akibat kecurigaan atas hasil yang diraih oleh lawan kontestan. Sayangnya, ada elit politik di kubu pemohon yang mendorong lokomotif lain di luar MK untuk menggandeng gerbong ketidak puasan itu. Para elit ini juga yang mengajarkan rakyat dengan pernyataan bahwa MK adalah Lembaga terakhir yang berdasarkan konstitusi sah untuk menyelesaikan sengketa seperti dalam Pilpres tahun ini. Tapi mengapa ada lagi elit politik yang menarik sengketa ini ke ranah Dewan dengan ingin membentuk Pansus, bahkan juga MPR untuk mmboikot pelantikan nanti? Bingung jadinya rakyat sekarang ini melihat ulah elit-elit politiknya. Juga kecewa dan bahkan muak.

Sebagai salah satu rakyat jelata yang ada di Papua, ingin memohon dengan hormat kepada para elit politik yang terhormat, jangan gunakan kepintaran Bapak ibu untuk membingungkan rakyat kecil. Jangan juga gunakan kepintaran untuk mengaborsi hak rakyat yang sudah diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang Undang serta peraturan yang berlaku untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Didik rakyat untuk berpikir jernih, rasional dan etis. Jangan justru terkesan mengajarkan rakyat Indonesia untuk selalu berpikir negatif, sebab akan sangat berpengaruh terhadap moral dan mental bangsa ke depan.









Sumber : http://ift.tt/1sm6ExW

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz