Suara Warga

Dilema Jokowi-JK Memilih Anggota Kabinet

Artikel terkait : Dilema Jokowi-JK Memilih Anggota Kabinet

Dalam pidato kemenangan Jokowi-JK mengatakan “Kemenangan rakyat ini akan melapangkan jalan untuk mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan” Untuk mencapai tujuan tersebut maka Presiden/Wakil Presiden RI ke- 7 terpilih Ir. H. Joko Widodo dan H.M. Jusuf Kalla mengajak masyarakat ikut berpartisipasi dalam mengusulkan nama-nama calon menteri yang akan duduk dalam Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK. Jokowi berkeinginan kabinetnya memiliki latar belakang profesional, baik dari partai politik maupun dari unsur lain. “Masih digodog, tapi kalau saya ingin agar yang menjadi menteri lepas dari parpol,” kata Jokowi di Kantor Transisi Jokowi-JK, Jl Situbondo 10, Menteng, Jakarta, Sabtu, (9/8/2014)

Banyak sudah usulan nama-nama calon menteri Kabinet Jokowi-JK (untuk sementara sebut Kabinet Indonesia Hebat) yang ada masuk di meja Jokowi dan Jusuf Kalla tentunya, baik secara offline terlebih nampak nyata secara online yang diusulkan oleh beberapa Institusi, komunitas dan bahkan kelompok masyarakat lainnya. Sebut misalnya penulis juga ada usulan calon menteri pada situs Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) klik di SINI.

Ini semua bagian dari upaya masyarakat demi kemandirian dan kesejahteraan bersama warga bangsa dan sebagai bentuk dukungan masyarakat kepada Jokowi-JK dalam melaksanakan hak dan tanggungjawabnya sebagai presiden dan wakil presiden.

Pertanyaan adalah, Adakah dilema Jokowi-JK dalam memilah, memilih dan menentukan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya?? Kalau toh ada “dilema Jokowi-JK”, itu muncul dari internal partai pengusung dan pendukungnya sendiri. Kalau Jokowi-JK mau menggunakan budaya Tega demi kabinet yang profesional Pro Rakyat tentu terasa mudah dan tanpa dilema.

Sengaja dugaan situasi ini saya angkat dan buat tulisan, agar menjadi bahan diskusi di seluruh partai pengusung/pendukung Jokowi dan Jusuf Kalla atau kepada seluruh organ Kantor Transisi, dengan outputnya bahwa bisa jadi Jokowi dan Jusuf Kalla akan keluar dari dilema yang sedikit menggigit ini, bila memang ada. Kalkulasi dan analisanya (bisa jadi subyektif) sampai ada dilema, begini:

1. Dilema terhadap semua partai (Ketum dan Elit Partai) pendukung dan khususnya pengusung, apakah mereka juga ngotot untuk duduk di kabinet dan tidak meninggalkan partai secara struktural. Tapi sepertinya (perkiraan) ada 3 orang yang tidak ngotot yaitu Surya Paloh (NasDem), Wiranto (Hanura) dan Sutiyoso (PKPI). Untuk Muhaimin Iskandar (PKB) masih diragukan untuk tetap Ketum PKB dan rangkap jabatan Menteri. Kalau Megawati sudah pasti tidak, karena sudah bukan posisinya sebagai menteri. Tapi posisi Mega tentu ada pertimbangan “substitusi” ke Puan Maharani ?? Benarkah ??

2. Dilema terhadap Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani, khusus untuk dua orang ini, apakah bersedia keluar dari struktur partai dan bersedia tidak rangkap jabatan atau sekalian keluar partai? Kalau mereka berpikir seirama dengan Jokowi-JK, rasanya tidak sulit untuk memilih salah satunya, menteri atau pengurus parpol.

3. Dilema tersendiri terhadap Megawati, yang sepertinya “bercita-cita” menjadikan Puan Maharani sebagai Capres dan/atau cawapres 2019-2024. Yang tentu diawali dengan menjadikan Puan Maharani sebagai Ketum PDIP pasca Megawati. Ini masih normal dan manusiawi, karena Puan Maharani bukan karbitan juga di PDIP, sebagaimana yang terjadi pada Putera/Puteri para politikus atau petinggi di republik ini. Sebenarnya pada Pilpres 2014 ini, ada kecenderungan Mega memajukan Puan Maharani sebagai cawapres dari Jokowi, tapi perhitungan suara tidak mencapai dan terlebih konstelasi politik sangat tinggi, maka ditempatkanlah Jusuf Kalla pada posisi cawapres mendampingi Jokowi. Hanya Jusuf Kalla lah yang mungkin mampu menghadapi semua pertanyaan dan tantangan yang muncul terhadap Jokowi dan Megawati, baik internal maupun eksternal partai.

Saran dan Bahan Diskusi di Kantor Transisi

1. Sebaiknya Megawati, Surya Paloh, Wiranto, Muhaimin Iskandar dan Sutiyoso masuk jajaran penasehat Presiden/Wakil Presiden saja secara devakto dan/atau dejure, tergantung kehendak struktur pemerintahan yang dibuat Jokowi-JK > ini baru ASli Kabinet tanpa transaksional atau politik dagang sapi. Ini merupakan pertunjukan positif menuju Revolusi Mental yang sejati dalam demokrasi Indonesia. Karena menempatkan menteri tanpa rangkap jabatan itu merupakan awal perjalanan Revolusi Mental. Tanpa itu, rasanya Jokowi dan JK akan mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat khususnya para oposisi (bila ada) dan tentu sorotan masyarakat pula.

2. Karena Megawati bercita-cita menjadikan Puan Maharani sebagai putri mahkota untuk menduduki posisi Presiden/Wakil Presiden pada periode berikutnya (2019-2024) sebaiknya Puan Maharani konsentrasi di partai untuk selanjutnya menjadi Ketum. PDIP menggantikan sang ibu. Jangan atau tolak saja menjadi menteri, karena sesuai fakta, banyak elemen yang mengusulkan nama Puan Maharani masuk jajaran kabinet. Untuk memperbaiki karir politik Puan Maharani, sebaiknya tetap di PDIP atau Pilih menteri saja. Jokowi-JK juga akan lega dengan kondisi ini.

3. Hal yang paling radikal tapi sangat bermakna dalam dan super profesional dalam mendukung Jokowi-JK untuk memberi kebebasan mutlak dalam memilih menteri (menghilangkan kesan atau tuduhan “Boneka Mega”). Sebaiknya sesudah Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres tanggal (21/8), para Ketum Partai Pengusung/pendukung Jokowi-JK membuat kesepahaman dan kesepakatan (deklarasi) untuk menolak duduk di Kabinet Jokowi dengan mempersilakan para profesional untuk duduk di jajaran Kabinet Indonesia Hebat. Serta menyepakati setiap anggota parpol (dari parpol manapun) yang duduk sebagai menteri atau posisi dalam Kabinet Jokowi-JK agar menanggalkan baju partainya alias keluar dari struktur partai (baca: bukan cuma rangkap jabatan tapi keluar dari anggota partai). Karena kalau masih rangkap jabatan, itu berarti masih bisa ada intervensi partai dalam menjalankan roda pemerintahan.

4. Intinya yang harus dipertegas bahwa, mari kita dukung Jokowi-JK yang menginginkan kabinetnya bebas dari intervensi partai, untuk menjalankan pemerintahan system Presidensial yang sebenarnya, bukan pemerintahan banci (berjalan antara keduanya, system Presidensial dan Parlementer). kenapa harus masyarakat dukung Jokowi-JK, agar tidak menjadi bulan-bulanan di parlemen ke depan yang sok berkuasa nantinya (seperti yang dipertontonkan oleh legislatif sebelumnya). Yakinlah bahwa legislatif (DPR-RI) tidak akan mungkin berani menolak usulan eksekutif (Pemerintah) bila usulan pemerintah benar, jujur dan terbuka (bebas dari indikasi permainan yang mengarah pada perbuatan korupsi). Dengan catatan sebelum pemerintah mengajukan usulan pekerjaan ke DPR-RI, diumumkan ke publik terlebih dahulu, agar masyarakat bisa membackupnya. Intinya kalau presiden dan wakil presiden jujur dan tidak korup, pasti system presidensial dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama.

5. Dalam mempersiapkan program-program Jokowi dan JK melalui Pokja Tim Transisi, sebaiknya beri kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat yang mempunyai ide kreatif bagi Indonesia, bisa saja melalui surat atau presentasi langsung di depan Pokja Tim Transisi. Bila perlu libatkan yang bersangkutan dalam aplikasi ke depan. (banyak anak bangsa yang punya kreatif dan keterampilan yang tersembunyi, itu karena tidak diberi ruang dan waktu selama ini, karena akibat konsfirasi nepotisme (KKN). Tentu difahami bersama situasi dan kondisi yang menjerat bangsa ini.

Saran Buat Petinggi dan Anggota Partai.

Sekedar ingatan bersama buat para petinggi dan anggota partai, khususnya pada Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani, dimana beliau masih berumur relatif muda, bahwa ;

1. Mari berkaca pada Jokowi-JK, bahwa tidak mutlak menjadi Ketum atau Petinggi partai untuk bisa menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jokowi dan JK bukan pengurus atau anggota dari partai pengusung atau pendukungnya. Ini sebuah momentum positif pada perkembangan demokrasi di Indonesia sekaligus menjadi kesempatan lebar buat masyarakat Indonesia termasuk Gubernur/Walikota/Bupati, bahwa bisa saja mencalonkan diri sebagai pemimpin di negara ini ke depan tanpa berpartai, hanya menunjukkan kinerja keberpihakan kepada rakyat, itu merupakan modal utama.

2. Mari pula berkaca pada sisi positif Anas Urbaningrum (AU), bahwa AU tempo hari tidak ngotot untuk menjadi menteri Kabinet SBY, hanya memilih menjadi Ketum Partai Demokrat, AU sudah puas, karena dalam membaca pikiran dan sikap AU, ada cita-cita menjadi Capres 2014. (Persoalan AU ada masalah Tipikor itu lain konteksnya untuk menjadi pembelajaran). Tapi AU menjadi “positif” disikapi, pada konteks pemilihan sikap dan konsistensi AU berpartai dan berdemokrasi dalam menduduki jabatan strategis.

3. Khusus untuk Puan Maharani dan Muhaimin Iskandar, dalam mengikuti saran “perhitungan jangka pendek” ini sangatlah pahit, karena membuang kesempatan “materi/jabatan” yang sudah didepan mata. Untuk menjawabnya “yang pro rakyat” hanya Iman yang Kuat. Karena kenyakinan terhadap Tuhan YMK yang mutlak dimiliki dalam sebuah sikap konsistensi dan sosial yang bermasyarakat.

4. Maka mengusulkan nama- nama calon menteri yang dianggap oleh rakyat layak untuk duduk di kabinet pemerintahan. Tentu jangan berdasar “suka” atau “tidak”, tapi berdasar pada kompetensi yang beralaskan kejujuran terhadap diri, keluarga, institusi, negara, bangsa dan agama. Tidak pernah terlibat korupsi, Bukan pelanggar HAM, Profesional di bidangnya (The right man/women and The right Job) atau sesuai dengan visi misi Jokowi-JK, serta mempunyai catatan hidup (rekam jejak) yang baik dan mau melayani bukan dilayani.

Bilamana Jokowi dan JK diberi kebebasan mutlak (tanpa tekanan) dalam menjalankan roda pemerintahan di NKRI, tentu tidak ada alasan untuk tidak berbuat baik dan pro rakyat. Begitupun sebaliknya rakyat Indonesia akan mendukung penuh tanpa alasan, selain alasan untuk mandiri dan sejahtera. Karena sesuai amatan terhadap Pak Jokowi dan Jusuf Kalla, karena melihat beratnya persoalan yang dihadapi kedepan, yang harus diberi prioritas untuk berkreasi, meskipun kami tetap optimis bahwa memang meskipun masalah berat hanya diperlukan suatu kejujuran dan keteladanan. Diperlukan suatu gerak perubahan yang cepat (lebih cepat lebih baik.. Untuk #JusufKalla buktikan slogan itu) dan tidak ada kepentingan selain kepentingan rakyat, sekali lagi harus Pro Rakyat, bila tidak sangat mahal harganya untuk dibayar pada rakyat Indonesia yang telah memilihnya (lebih sedikit separuh dari pemilih Pilpres 2014) oleh Jokowi dan JK bersama pengusung dan pendukungnya. Sebagai kalimat penutup bahwa Jokowi dan Jusuf Kalla HARUS keluar dari kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Insya Allah, Tuhan memberkati dan memberi HidayahNya kepada bangsa dan negara Republik Indonesia. Ingat bahwa Indonesia kaya. Kenapa jadi miskin, itu karena perbuatan Korupsi yang sudah sistematis, terstruktur dan massif. Mari kita berbuat untuk Indonesia Hebat. Selamat dan Sukses kepada Timwork Kantor Transisi Jokowi dan Jusuf Kalla. (Asrul-Kompasiana)




Sumber : http://ift.tt/Y58hWK

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz