Apa yang Salah dari PP Aborsi Akibat Perkosaan?
OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pemerintahan SBY pada tanggal 21 Juli 2014 lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dalam PP tersebut pengakhiran kehamilan secara sengaja (aborsi) alias membunuh janin diperbolehkan dengan beberapa syarat antara lain korban perkosaan.
Pada PP tersebut Pasal 31 dikatakan: (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan.
Dan, lebih khusus dalam ayat (2)-nya dikatakan:(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
PP ini mengundang ketidaksetujuan dari beberapa pihak, antara lain unsur MUI Tutty Alawiyah dan beberapa anggota DPR Irgan Chairul Mahfiz dan Indra dari komisi IX.
Pada intinya mereka berpendapat bahwa aborsi dengan alasan pemerkosaan justru melanggar HAM, haram dari sisi syariat dan makin membuka peluang untuk disalahgunakan. Aborsi hanya dimaklumi agama dari sudut kedaruratan sebagai langkah penyelamatan nyawa ibu janin. Itupun dengan syarat tertentu.
Pertanyaannya adalah mengapa Pemerintahan SBY melahirkan PP kontroversial itu? Mengapa unsur DPR mempertanyakannya bahkan menentangnya, apakah PP ini outframe dari perintah UU yang notabene produk bersama Presiden dan DPR?
Sebagaimana diketahui PP khususnya soal aborsi berlatar pemerkosaan itu merupakan peraturan pelaksana UU. Dan, sebagaimana dikatakan oleh PP ini bahwa UU yang dilaksanakannya ini ialah UU Nomor 36 Tahun 2009 (39/2009) terutama pasal 74 (3) dan 75 (4).
Bunyi Pasal 74 UU 39/2009 sebagai berikut: (1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan. (2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian, Pasal 75 sebagai berikut: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika dicermati sesungguhnya PP 61/2014 ini sudah sesuai dengan perintah UU No. 36/2009, pasal 75 ayat (2) bahwa larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Dan, UU No. 36/2009 inilah yang justru mengandung kontradiktif, khususnya antara pasal 74 ayat (2) dengan pasal 75 ayat (1) dan ayat (2)b. Satu sisi jiwa pasal ini mempertimbangkan nilai-nilai agama dan peraturan perundang-undangan. Tapi pada sisi lain membolehkan aborsi akibat pemerkosaan yang dari sisi agama banyak yang berpendapat diharamkan.
Dalam koridor perundang-undangan lain, misalnya, KUHP Pasal 346 juga mengatur bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Memang, dalam hukum ada asas Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Sehingga UU 36/2009 merupakan lex specialis dari KUHP pasal itu.
Namun, kembali pada PP 61/2014, bahwa PP ini dari sisi konstitusionalitas sesungguhnya tidak ada masalah. Hanya saja dari sisi materinya jika memang ada yang dianggap salah karena ia hanya merupakan turunan dari UU maka UU-nyalah yang harus dipertanyakan (judicial review).
Di samping itu sebagaimana diketahui UU 36/2009 yang notabene produk DPR dan Presiden ini disahkan dan diundangkan pada Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144 pada 13 Oktober 2009.
Sementara PP 61/2014 yang dipersoalkan ini barulah diteken kemarin 21 Juli 2014 berjarak hampir genap 5 tahun dari UU-nya. Padahal, jika Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak membuat PP sebagai peraturan pelaksana UU bukankah secara politik bisa dianggap sebagai tidak melaksanakan perintah UU dan potensial untuk dimakzulkan?
Demikianlah. Salam.***
Sumber : http://ift.tt/1uOEvQQ