Suara Warga

Andai Saya Jadi Menteri

Artikel terkait : Andai Saya Jadi Menteri

Setelah Presiden Jokowi melantik jajaran kabinet kerja, muncul pro dan kontra. Terserah apakah pada pilpres lalu mereka memilih atau tidak, yang jelas nama-nama menteri yang dilantik memang cukup menarik untuk dikuliti. Namun masa itu sudah selesai, masa-masa komplain kekecewaan karena kalah saat pilpres atau memang kesal karena menteri terkait dinilai kurang greget.

Kini masyarakat menunggu gebrakan dari para menteri. Menteri Susi sedang berperang melawan hiu-hiu, Menpora sedang berusaha mengalahkan mafia PSSI, dan Menteri ESDM via badan pemberantas mafia migas sedang mempersiapkan kuburan bagi para mafia. Menarik ditunggu nanti hasilnya bagaimana, yang jelas kalau untuk kebaikan, rakyat akan selalu mendukung.

Lalu bagaimana dengan menteri yang lain? Belum kelihatan. Tapi saya menyambut baik niat menteri pariwisata yang kini seolah ‘bertanya’ pada para kompasianer tentang apa yang kurang dan ide apa yang ingin disampaikan pada menteri?

Tulisan ini sebenarnya sudah sangat lama ingin saya tuliskan, namun karena dulu lebih tertarik pada konflik PSSI dan bahasan lainya, saya baru bisa menuliskan sekarang. Tentang pertanyaan besar.

Saya heran mengapa Indonesia dengan keindahan alam yang luar biasa indah ini tidak mampu menjadi pusat wisata dunia? setidaknya Asia. Masih kalah dengan Singapore yang kecil dan sama sekali tidak memiliki keindahan alam. Tapi karena mereka kreatif dan berpikir bisnis, pemerintah berani berinvestasi besar untuk membuat tempat wisatanya sendiri, meski kadang saya harus tertawa dalam hati saat melihat pantai buatan di Sentosa. Miris. Bayangkan, Singapore berusaha membuat pantai lewat tangan-tangan manusia, sementara kita yang diwarisi keindahan langsung oleh kreasi tangan Tuhan seakan tidak menganggapnya ada.

Sampai saat ini (setahu saya) belum ada perusahaan atau investor yang melihat potensi wisata sebagai peluang bisnis. Investor lebih suka mengeksploitasi alam pada sektor pertambangan dibanding mengelola keindahanya.

Andai saya jadi menteri pariwisata, sepertinya saya akan membuat Lombok sebagai the next Bali. Lombok memiliki keindahan yang luar biasa, namun karena pulau ini tidak memiliki infrastruktur dasar untuk menjadi tempat wisata, maka tak banyak orang mengetahui keberadaanya. Tapi sisi positifnya kita bisa merancang sesistematis dan serapi mungkin.

Pemerintah punya peluang untuk ‘menguasai’ Lombok dan menyediakan semua hal dari transportasi sampai penginapan sebagai bagian dari eksploitasi keindahan alam.

Kita sudah biasa melihat tempat wisata by design seperti Ancol, lantas mengapa tidak ada yang berani mendesign sebuah pulau menjadi tempat wisata? Toh wahananya sudah ada, kita juga tidak perlu susah payah beli pasir dan angkut batu untuk bikin pantai seperti yang dilakukan Singapore. Lalu mengapa kita tidak bisa berpikir untuk memaksimalkan keindahan alam ini?

Lihatlah Malaysia, hanya karena negara tersebut memiliki bukit, investor Singapore langsung memanfaatkanya dan membuat perusahaan yang kemudian mengelola Genting Highland. Mendirikan Cassino, menyediakan wahana bermain dan tentunya hotel mewah yang siap menampung wisatawan.

Lalu bagaimana Lombok? Pulau ini punya pantai dan gunung yang sama indahnya, dua hal yang langka untuk dimiliki oleh satu pulau kecil. Untuk itu pemerintah melalui BUMN harus berani mengambil kesempatan mengelola wisata Lombok seperti yang dilakukan oleh investor Singapore yang ‘menguasai’ Genting Highland. Menjadikan Lombok sebagai pulau wisata seperti Bali.

Lalu harus dimulai dari mana? Pastilah harus dimulai dari perbaikan jalan yang layak dilewati oleh kendaraan, karena menurut cerita teman, dia harus menggunakan boat untuk menjangkau pantai Pink Lombok karena jalur darat sangat susah dilewati.

Jika jalan sudah dibuat atau diperbaiki, selanjutnya adalah menyediakan transportasi umum yang menjangkau pantai-pantai eksotis dan Rinjani. Genting Highland bisa menyediakan bus tepat di terminal bandara KLIA 2. Sehingga wisatawan yang baru keluar dari bandara tidak perlu banyak tanya nanti naik angkot nomer berapa? Pindah angkot kah? Apalagi disuruh jalan kaki sekian kilometer menuju pantai (ini kondisi menuju pantai-pantai Lombok).

Kemudian, perlu ada penginapaan atau hotel high class dengan biaya yang sesuai. Penginapan ini harus dekat dengan tempat-tempat wisata agar pengunjung tidak perlu berjalan terlalu jauh.

Saya yakin jika ada perusahaan yang berani melakukan ini, tidak lama lagi Lombok akan jadi pulau wisata tempat orang-orang melepas penat. Tempat para pejabat melakukan munas atau lobi-lobi politik. Tempat wisatawan asing menghabiskan dollarnya.

Jika sudah begitu, maka alasan terbang ke luar negeri lebih murah dibanding ke pulau sendiri akan hilang dengan sendirinya.

Mungkin ada yang penasaran kenapa terbang ke Malaysia atau Singapore lebih murah dibanding ke Lombok? Bahkan kalau sedang promo, ke Kuala Lumpur atau Singapore dari Jakarta atau Surabaya hanya 100 ribu rupiah. Dalam harga normalpun sebenarnya ke Kuala Lumpur atau Singapore memang lebih murah dibanding ke Lombok. Ini wajar karena jumlah penumpang ke dua tempat tersebut selalu banyak, sehingga maskapai tidak perlu mematok harga tinggi untuk memastikan mereka tidak rugi.

Sementara adanya harga tiket promo adalah bagian dari upaya maskapai untuk mempromosikan pelayanan dan pesawatnya kepada penumpang dan supaya penumpang punya perbandingan jika sudah biasa dengan maskapai pesaing.

Bali adalah salah satu destinasi yang paling sering ada promo. Bahkan pernah hanya 25 ribu dari Surabaya. Mengapa bisa begitu? Karena Bali memiliki faktor pendukung seperti Singapore dan Kuala Lumpur untuk mendapat promo.

Kalau Lombok memiliki ifrastrktur yang bagus, ada perusahaan yang mau mengelola keindahan alamnya, maka otomatis maskapai akan menurunkan biaya terbang ke sana dan maskapai yang suka bikin harga tiket pesawat lebih murah dari tiket bus itu akan memperlakukan Lombok seperti Bali, Kuala Lumpur atau Singapore.

Eksploitasi keindahan alam jauh lebih baik daripada rencana eksploitasi pengerukan pasir besi yang sempat didemo oleh masyarakat Lombok.

Pertanyaanya kemudian, jika kita bisa menjaga keindahanya dan tetap menghasilkan uang, mengapa memilih mengeruk pasir? Jika kita bisa sama-sama memberi pemasukan pada kas negara dengan jalan ideal, mengapa memilih jalan pintas? Apalagi mengelola tempat wisata ini jauh lebih baik bagi ekonomi masyarakat Lombok karena membuka peluang kerja dan usaha, tidak hanya memperkaya orang-orang pertambangan.

Saya yakin menteri-menteri pilihan Presiden sudah tau soal ini, namun apakah kita akan tetap memilih merusak alam atau menjaga keindahanya? Sekarang semua di tangan kabinet kerja. Tapi andai saya jadi menteri, saya akan menempuh jalur ideal meski membutuhkan waktu lama untuk menuai.

Filosofi: kalau menanam jagung, 3 bulan sudah panen. Sementara jika menanam pohon mangga, 3 tahun baru berbuah. Tapi ingat, kita hanya perlu menanam pohon mangga sekali seumur hidup, namun perlu menanam jagung setiap ingin merasakan jagungnya.

Tulisan ini adalah lanjutan dari dua tulisan sebelumnya

3 Faktor Memajukan Pariwisata,

Andai Saya Menjadi Menteri Pariwisata,

Semoga bermanfaat.




Sumber : http://ift.tt/1woFA01

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz