Jokowi, Nilai Mistis Kebo Bule, Ratu Hemas, Grace Kelly, dan Pecahnya DPD RI
Jokowi naik menjadi Presiden RI. GKR Hemas mendukung Koalisi Prabowo di MPR. Kyai Bodong mati karena ditombak. Dunia mistis Jawa dan peradaban Jawa meradang. Tak pelak banyak yang terkejut. Baru kali ini ada tangan jahil menombak pusaka kerajaan: kebo bule keturunan Kyai Slamet. Tanda-tanda alam matinya Kyai Bodong, maneuver Ratu Hemas dan pecahnya DPD sebagai penyeimbang di MPR, memiliki kisah sama dengan Grace Kelly yang menikah dengan Raja Monako. Peristiwa pernikahan, hilangnya simbol kerajaan dan pusaka, dan kematian tragis menjadi rangkaian meredupnya gemerlap kerajaan baik di Jogjakarta maupun di Monako. Bagaimana nilai sosiologis-mistis naiknya Jokowi dan matinya Kyai Bodong - kerbau bule keturunan Kyai Slamet yang fenomenal itu - sepak terjang Ratu Hemas yang memengaruhi Keraton Jogjakarta dan pernikahan Kerajaan Monako dalam konstelasi politik di DPD RI menurut ulasan Ki Sabdopanditoratu?
Tingkah-polah politik dua kaki Ratu Hemas di MPR dan sepak terjang Raja Monako rupanya merupakan takdir suratan yang tak terpisahkan dengan peristiwa di belakang layar: kondisi kerajaan Jogjakarta dan Monako.
Memang, bibit, bebet, bobot, dan pendidikan perlu. Jika seseorang yang tidak semestinya berada di lingkungan yang tidak tepat secara sosiologis dan kultural, maka akan menimbulkan masalah secara mistis. Kebudayaan kontemporer Jawa dipengaruhi oleh empat kebudayaan dasar: local jenius Jawa purba, India, Arab dan China.
Awal mula terbentuknya Kerajaan Mataram adalah munculnya kekuatan peradaban baru: Arab-China-Majapahit dengan berdirinya Kerajaan Demak. Dengan intrik politik, Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjalu dan arsitek strategi politik Ki Juru Mertani menjadikan Pajang sebagai perantara terbentuknya Kerajaan Mataram sampai sekarang dengan hanya Jogjakarta yang menyisakan ‘sisa sedikit kebesarannya’. Sementara Surakarta (dengan Kasunanan dan Mangkunegaran) sudah nyungsep hanya menjadi hiasan sejarah dan museum hidup tanpa kekuasaan.
Salah satu simbol terpenting kehidupan adalah pernikahan. Bibit, bebet, bobot dan pendidikan (baca: kesaktian hasil latihan dan belajar) menjadi acuan. Pelanggaran kalangan kerajaan sebagai simbol peradaban dan pemeliharaan pusaka budaya yang terlalu banyak dilakukan akan menjadikan kelemahan bagi kerajaan.
Sejarah panjang Kerajaan Monako memiliki tradisi hebat pernikahan antar darah biru Eropa. Kejayaan terbentuk dengan kemakmuran. Salah satu upaya meningkatkan ketenaran Monako sebagai kota judi adalah memberi gambaran gemerlap. Maka menikahlah Pangeran Monako dengan selibritas dan bintang film terkenal: Grace Kelly. Akibatnya? Bukan kejayaan yang didapat: meredupnya pamor Monako sebagai kota judi dan tragedi kehidupan yang menimpa keluarga Kerajaan Monako, dengan kematian tragis Grace Kelly sendiri yang misterius.
Anak-anak keturunan pernikahan Raja Monako dengan orang kebanyakan Grace Kelly pun menjadikan mereka menjadi: seperti orang kebanyakan dengan sifat dan tingkah polah orang kebanyakan yang jauh dari sikap aristokrat kebanyakan Eropa yang membanggakan.
Kisah serupa terjadi di Mataram - baik Jogja maupun Solo. Percampuran darah biru (baca: penciptaan citra ningrat yang sebenarnya hanya dari kalangan petani pendiri Kerajaan Pajang dan Mataram) yang selalu dirintis sejak zaman Pajang, dengan mengambil sisa-sisa keturunan para Raja Singasari dan Majapahit, pada kurun waktu Kerajaan Surakarta dan Jogjakarta banyak dilanggar.
Para raja Solo dan Jogja yang memiliki puluhan selir - yang justru diambil dari kalangan rakyat jelata - menimbulkan keturunan yang berbeda tingkat darahnya. Sikap, laku, sifat dasar ‘ningrat yang diciptakan’ tergerus oleh ‘darah baru orang kebanyakan dan jelata’. Bahkan mulailah raja dan putra mahkota diangkat dari keturunan selir: akibat raja tak mengangkat putra mahkota.
Maka para raja hasil pernikahan dengan selir pun kehilangan mistisismenya. Roh keagungan, kehormatan mistis, kewibawaan agung, dan kebesaran raja dan keturunan raja tergerus. Datangnya pengaruh luar - Belanda dan kebudayaan kontemporer luar - pun menggoda para raja yang berdarah ‘biasa’ atau keturunan ‘rakyat biasa’ mau menggadaikan kerajaan untuk demi keselamatan diri. Maka Solo pun takluk dan menghapus ‘kedaulatan dan memeluk Belanda’. Kebudayaan dan tradisi pernikahan pun menjadi ‘pluralis’ dan bisa mengambil ‘siapa saja tanpa melihat bibit, bebet, dan bobot’. Hasilnya sungguh mencengangkan.
Kerajaan Solo (Kasunanan dan Mangkunegaran) gagal menjadi pusaka kebudayaan karena takluk di bawah Belanda. Kisruh selalu menyelimuti dan kembali sejarah sebagai ‘kerajaan konflik Pajang’ pada masa sebelum terbentuk Mataram sampai sekarang.
Kerajaan Jogja pun mengalami masalah seperti pernikahan Kerajaan Monako. Sultan Hamengkubuwono IX yang agung gagal mengangkat permasuri dari kalangan ‘ perempuan ningrat kelas satu’ dari banyak selir. Bahkan sampai mangkatnya Hamengkubuwono IX, tak ada putra Mahkota yang diangkat. Akhirnya, kebiasaan petani - sebagai asal-usul para raja Mataram - penentuan putra mahkota yang akan diangkat menjadi Raja atau Sultan Jogjakarta dilakukan atas ‘turunnya wahyu kedaton’. Maka Pangeran Mangkubumi diangkat dan jadilah dia Sultan Hamengkubuwono X.
Mengulangi trah biasa, Sultan HX X pun mengukuti jejak ‘tidak memilih dari kalangan’ ningrat kelas 1. Bibit, bebet, bobot dikalahkan oleh sekali lagi kebudayaan kontemporer: artis, model, penyanyi, selibritas yang sama nilanya dengan pengikis tradisi pernikahan yang keluar dari tradisi klasik ningrat ala Pajang dan Mataram mula-mula yang ketat: keturunan ningrat. Menikahlah HB X dengan seorang mantan model: Titiek Dradjat Supriastuti. Sejarah keturunan satu perempuan dengan enam lelaki bersaudaranya jelas akan mengeringkan keturunan lelaki. Dan, benar. Sultan HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti tak memiliki anak lelaki sebagai pewaris Kerajaan Jogjakarta. Hilanglah garis keturunan lelaki pewaris takhta dari HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti.
Sikap dan sifat dasar GKR Hemas sebagai orang kebanyakan pun muncul dalam kiprah politiknya di DPP. Semua itu disebabkan beban sejarah dalam darah kebanyakan Tatiek Dradjat Supriati yang terlalu berat. Maka luapan keaslian ‘kultur, budaya, sikap, tingkah laku’ GKR Hemas alias Tatiek Dradjat Supriati muncul. Manuver GKR Hemas di DPD adalah tidak menunjukkan intrik ‘kebangsawanan Kerajaan Mataram’ namun intrik datar politik kebanyakan ala partai.
Kondisi carut-marut ini lebih dalam lagi dilambangkan dengan munculnya Jokowi yang mencuat menjadi “penguasa baru’ keturunan Ki Juru Mertani yakni Joko Widodo yang berasal dari trah Mataram. Kebesaran Jogja dari dalam keraton tergerus akibat pernikahan dan perseliran ala petani yang menjadi ciri Kerajaan Mataram di kalangan para putra-putri dan raja Jogja dan Solo.
Maka Jokowi pun tampil mengalahkan semua keturunan para raja Mataram. Kondisi ini disadari oleh Tatiek Dradjat Supriastuti yang tak menyukai naiknya keturunan saingan mistis Ki Juru Mertani yang lebih kuat: Joko Widodo. Itulah sebabnya GKR Hemas mendukung Koalisi Prabowo dan kekalahan Jokowi adalah kebahagiaan mistis dalam jiwa Tatiek Dradjat Supriati.
Perlambang mistis tergerusnya kehormatan itu antara lain: Kebo Bule Kyai Bodong tewas ditombak rakyat - sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Itulah salah satu tanda mistis akibat kengawuran pernikahan yang tak memerhatikan bibit, bebet, bobot dalam sejarah kerajaan Solo, Jogja dan Monako. Itulah wejangan Ki Sabdopanditoratu dalam menyikapi matinya Kebo Bule Kyai Bodong.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1x7IdXt
Tingkah-polah politik dua kaki Ratu Hemas di MPR dan sepak terjang Raja Monako rupanya merupakan takdir suratan yang tak terpisahkan dengan peristiwa di belakang layar: kondisi kerajaan Jogjakarta dan Monako.
Memang, bibit, bebet, bobot, dan pendidikan perlu. Jika seseorang yang tidak semestinya berada di lingkungan yang tidak tepat secara sosiologis dan kultural, maka akan menimbulkan masalah secara mistis. Kebudayaan kontemporer Jawa dipengaruhi oleh empat kebudayaan dasar: local jenius Jawa purba, India, Arab dan China.
Awal mula terbentuknya Kerajaan Mataram adalah munculnya kekuatan peradaban baru: Arab-China-Majapahit dengan berdirinya Kerajaan Demak. Dengan intrik politik, Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjalu dan arsitek strategi politik Ki Juru Mertani menjadikan Pajang sebagai perantara terbentuknya Kerajaan Mataram sampai sekarang dengan hanya Jogjakarta yang menyisakan ‘sisa sedikit kebesarannya’. Sementara Surakarta (dengan Kasunanan dan Mangkunegaran) sudah nyungsep hanya menjadi hiasan sejarah dan museum hidup tanpa kekuasaan.
Salah satu simbol terpenting kehidupan adalah pernikahan. Bibit, bebet, bobot dan pendidikan (baca: kesaktian hasil latihan dan belajar) menjadi acuan. Pelanggaran kalangan kerajaan sebagai simbol peradaban dan pemeliharaan pusaka budaya yang terlalu banyak dilakukan akan menjadikan kelemahan bagi kerajaan.
Sejarah panjang Kerajaan Monako memiliki tradisi hebat pernikahan antar darah biru Eropa. Kejayaan terbentuk dengan kemakmuran. Salah satu upaya meningkatkan ketenaran Monako sebagai kota judi adalah memberi gambaran gemerlap. Maka menikahlah Pangeran Monako dengan selibritas dan bintang film terkenal: Grace Kelly. Akibatnya? Bukan kejayaan yang didapat: meredupnya pamor Monako sebagai kota judi dan tragedi kehidupan yang menimpa keluarga Kerajaan Monako, dengan kematian tragis Grace Kelly sendiri yang misterius.
Anak-anak keturunan pernikahan Raja Monako dengan orang kebanyakan Grace Kelly pun menjadikan mereka menjadi: seperti orang kebanyakan dengan sifat dan tingkah polah orang kebanyakan yang jauh dari sikap aristokrat kebanyakan Eropa yang membanggakan.
Kisah serupa terjadi di Mataram - baik Jogja maupun Solo. Percampuran darah biru (baca: penciptaan citra ningrat yang sebenarnya hanya dari kalangan petani pendiri Kerajaan Pajang dan Mataram) yang selalu dirintis sejak zaman Pajang, dengan mengambil sisa-sisa keturunan para Raja Singasari dan Majapahit, pada kurun waktu Kerajaan Surakarta dan Jogjakarta banyak dilanggar.
Para raja Solo dan Jogja yang memiliki puluhan selir - yang justru diambil dari kalangan rakyat jelata - menimbulkan keturunan yang berbeda tingkat darahnya. Sikap, laku, sifat dasar ‘ningrat yang diciptakan’ tergerus oleh ‘darah baru orang kebanyakan dan jelata’. Bahkan mulailah raja dan putra mahkota diangkat dari keturunan selir: akibat raja tak mengangkat putra mahkota.
Maka para raja hasil pernikahan dengan selir pun kehilangan mistisismenya. Roh keagungan, kehormatan mistis, kewibawaan agung, dan kebesaran raja dan keturunan raja tergerus. Datangnya pengaruh luar - Belanda dan kebudayaan kontemporer luar - pun menggoda para raja yang berdarah ‘biasa’ atau keturunan ‘rakyat biasa’ mau menggadaikan kerajaan untuk demi keselamatan diri. Maka Solo pun takluk dan menghapus ‘kedaulatan dan memeluk Belanda’. Kebudayaan dan tradisi pernikahan pun menjadi ‘pluralis’ dan bisa mengambil ‘siapa saja tanpa melihat bibit, bebet, dan bobot’. Hasilnya sungguh mencengangkan.
Kerajaan Solo (Kasunanan dan Mangkunegaran) gagal menjadi pusaka kebudayaan karena takluk di bawah Belanda. Kisruh selalu menyelimuti dan kembali sejarah sebagai ‘kerajaan konflik Pajang’ pada masa sebelum terbentuk Mataram sampai sekarang.
Kerajaan Jogja pun mengalami masalah seperti pernikahan Kerajaan Monako. Sultan Hamengkubuwono IX yang agung gagal mengangkat permasuri dari kalangan ‘ perempuan ningrat kelas satu’ dari banyak selir. Bahkan sampai mangkatnya Hamengkubuwono IX, tak ada putra Mahkota yang diangkat. Akhirnya, kebiasaan petani - sebagai asal-usul para raja Mataram - penentuan putra mahkota yang akan diangkat menjadi Raja atau Sultan Jogjakarta dilakukan atas ‘turunnya wahyu kedaton’. Maka Pangeran Mangkubumi diangkat dan jadilah dia Sultan Hamengkubuwono X.
Mengulangi trah biasa, Sultan HX X pun mengukuti jejak ‘tidak memilih dari kalangan’ ningrat kelas 1. Bibit, bebet, bobot dikalahkan oleh sekali lagi kebudayaan kontemporer: artis, model, penyanyi, selibritas yang sama nilanya dengan pengikis tradisi pernikahan yang keluar dari tradisi klasik ningrat ala Pajang dan Mataram mula-mula yang ketat: keturunan ningrat. Menikahlah HB X dengan seorang mantan model: Titiek Dradjat Supriastuti. Sejarah keturunan satu perempuan dengan enam lelaki bersaudaranya jelas akan mengeringkan keturunan lelaki. Dan, benar. Sultan HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti tak memiliki anak lelaki sebagai pewaris Kerajaan Jogjakarta. Hilanglah garis keturunan lelaki pewaris takhta dari HB X dan Tatiek Dradjat Supriastuti.
Sikap dan sifat dasar GKR Hemas sebagai orang kebanyakan pun muncul dalam kiprah politiknya di DPP. Semua itu disebabkan beban sejarah dalam darah kebanyakan Tatiek Dradjat Supriati yang terlalu berat. Maka luapan keaslian ‘kultur, budaya, sikap, tingkah laku’ GKR Hemas alias Tatiek Dradjat Supriati muncul. Manuver GKR Hemas di DPD adalah tidak menunjukkan intrik ‘kebangsawanan Kerajaan Mataram’ namun intrik datar politik kebanyakan ala partai.
Kondisi carut-marut ini lebih dalam lagi dilambangkan dengan munculnya Jokowi yang mencuat menjadi “penguasa baru’ keturunan Ki Juru Mertani yakni Joko Widodo yang berasal dari trah Mataram. Kebesaran Jogja dari dalam keraton tergerus akibat pernikahan dan perseliran ala petani yang menjadi ciri Kerajaan Mataram di kalangan para putra-putri dan raja Jogja dan Solo.
Maka Jokowi pun tampil mengalahkan semua keturunan para raja Mataram. Kondisi ini disadari oleh Tatiek Dradjat Supriastuti yang tak menyukai naiknya keturunan saingan mistis Ki Juru Mertani yang lebih kuat: Joko Widodo. Itulah sebabnya GKR Hemas mendukung Koalisi Prabowo dan kekalahan Jokowi adalah kebahagiaan mistis dalam jiwa Tatiek Dradjat Supriati.
Perlambang mistis tergerusnya kehormatan itu antara lain: Kebo Bule Kyai Bodong tewas ditombak rakyat - sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Itulah salah satu tanda mistis akibat kengawuran pernikahan yang tak memerhatikan bibit, bebet, bobot dalam sejarah kerajaan Solo, Jogja dan Monako. Itulah wejangan Ki Sabdopanditoratu dalam menyikapi matinya Kebo Bule Kyai Bodong.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1x7IdXt