JAGA KEKAYAAN LAUT ACEH
`
JAGA KEKAYAAN LAUT ACEH
Lau yang merupakan potensi ekonomi kerap terancam. Tragedi kematian ikan di perairan Sabang beberapa waktu lalu, membuat banyak pihak terhenyak dan sibuk mecari tahu; mengapa ikan-ikan yang tak berdosa itu mati? Apakah karena temperatur air laut meningkat atau karena ada faktor lain, yang kemudian menyebabkan ikan-ikan tersebut menggelepar tak berdaya, lalu mati? Seperti diberitakan, ribuan ikan karang saat itu ditemukan mati terapung di laut Sabang. Belum diketahui penyebab kematian ikan-ikan tersebut, namun sebagian warga menyebut ikan itu mati akibat diracun. Ikan yang mati mengapung itu dilaporkan hanyut hingga ke parairan Pulo Aceh. Ternyata hingga hari ini kematian ikan memang kerap terjadi di berbagai tempat. Jika kita buka lembaran kasus kematian ikan, ternyata kasus ini merupakan replikasi masa lalu. Kasus kejahatan terhadap ekosistem laut sudah berulang kali terjadi dan terkadang terus dibiarkan. Bayangkan, baru saja pada Maret tahun 2014 ratusan hingga ribuan ikan di kawasan Pantai Marunda, Jakarta Utara, mati.
Dalam beberapa kasus tentang kematian ikan, pemerintah lamban mengungkapkan mengapa kematian ikan bisa terjadi. Akibatnya, masyarakat dengan keyakinannya terus mengkonsumsi ikan-ikan yang belum jelas apakah aman dari sudut kesehatan. Bahkan, Nelayan menjadi bingung tersendiri karena merasa akan hilang mata pencaharian mereka. Kekayaan Sumber daya kelautan, ikan-ikan kecil dan besar, kini terancam dan terganggu habitatnya. Bahkan, jika diteliti lebih mendalam akan nyata berbagai macam biodiversity laut mengalami gangguan dan kerusakan yang serius. Mengapa? Laut merupakan badan perairan terluas dan menyimpan berbagai potensi sumber daya alam hayati dan nonhayati untuk memenuhi hajat hidup manusia. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu laut menjadi tong sampah raksasa di dunia. Ini karena semua hasil kegiatan manusia berupa polutan terbuang ke laut. Polutan antropogenik hasil kreativitas manusia berupa limbah industri, limbah domestik, pertanian dengan pestisidanya, perhotelan, perkotaan, restoran, dan berbagai limbah aktivitas lainnya bermuara ke laut.
Jika limbah tanpa ada pengeloaan yang sesuai dengan syarat-syarat pengolahan limbah dan baku mutu lingkungan air kemudian dibuang ke laut, maka akan terjadi yang namanya polusi perairan laut. Hasil buangan tersebut akan banyak terkumpul awalnya dekat bibir pantai atau di sekitar perairan dangkal. Hasil akan menyebabkan perubahan ekosistem yang ada di laut. Mulai dari terganggunya fitoplankton, zooplankton, dan sampai pada kematian ikan-ikan. Sadar atau tidak sadar, bahwa limbah domestik yang berasal dari kegiatan rumah tangga langsung saja mengalir ke selokan, sungai, dan mengalir ke laut. Di Indonesia dan juga khususnya Aceh, limbah domestik yang berupa hasil pemakaian detergen, minyak makan, sabun, urin, dan lain sebagainya belum dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang. Padahal, limbah domestik secara rutinitas dan terus menerus dihasilkan merupakan penyumbang terbesar polusi perairan. Limbah dapat menyebabkan tersedia makanan bagi tumbuhan laut tertentu, algae misalnya, dan ia akan terus mengalami pertumbuhan yang menutup permukaan perairan sehingga sulit ditembus oleh sinar matahari. Bahkan, menurut referensi ada algae yang beracun yang menyebabkan ikan-ikan mati. Akibatnya, jika ikan mati dikonsumsi oleh manusia akan berbahaya bagi kesehatan.
Laut Sabang yang dikenal dengan jalur lalu lintas dunia dan terus ada hilir mudik kapal-kapal besar, bukan tidak mungkin juga menyumbang polutan seperti tumpahnya minyak di tengah laut. Begitu pula dengan kapal dan perahu nelayan ukuran besar maupun kecil untuk menangkap ikan di berbagai wilayah peraiaran di Aceh, juga berpotensi meninggalkan polutan di laut. Minyak yang tumpah akan menutupi lapisan permukaan air laut yang menyebabkan terganggunya organisme dan habitat di laut. Selain limbah yang menyebabkan polusi laut dan mematikan ikan, naiknya temperatur suhu permukaan air laut juga akan mengalami gangguan terhadap organisme aquatik. Menurut Sastrawijaya (2000) bahwa kenaikan suhu air menyebabkan suhu badan hewan berdarah dingin dalam air naik. Hal ini akan menyebabkan laju metabolisme naik dalam ikan dan selanjutnya menaikkan kebutuhan oksigen. Tetapi, jika suhu air naik, maka kandungan oksigen dalam air menurun. Jika kebutuhan oksigen melampaui oksigen yang tersedia maka ikan itu akan mati. Dan kenaikan temperatur air juga terdapat korelasi dengan adanya polutan bahan pencemar baik kimia maupun biologi dalam air.
Mencermati hal tersebut, maka pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan sumber daya kelautan. Anggaran, fasilitas laboratorium, dan sumber daya manusia yang siap mutlak diperlukan. Dengan adanya fasilitas tersebut, secara periodik dan insidental dapat memantau kualitas sumber daya air kelautan dan perikanan. Dalam hal ini dinas terkait dapat juga bekerja sama dengan Bapedalda yang berperan mengendalikan dampak lingkungan. Bagaimana pemerintah memberikan informasi kepada publik tentang aman tidaknya mengonsumsi ikan yang mati tersebut, jika tidak ada fasilitas yang memadainya? Begitu pula dengan dukungan pihak Kepolisian, yang bertugas mengamankan potensi-potensi kejahatan di laut, dapat memainkan perannya lebih luas. Misalnya, ada razia dadakan terhadap kapal-kapal mana tahu membawa bahan-bahan berbahaya untuk menangkap dan meracuni ikan. Cara-cara penangkapan ikan yang destruktif atau tidak ramah lingkungan seperti menggunakan bom dan racun ikan, kini sedang marak-maraknya dilakukan. Oleh karena itu, pengawasan rutin perlu dilakukan.
Ancaman pada sumberdaya kelautan lebih banyak dipengaruhi oleh manusia dari pada terjadi secara natural. Pertambangan, aktivitas pesisir, sedimentasi karena pembukaan lahan, aktivitas pelabuhan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, dan lainnya adalah bentuk-bentuk aktivitas manusia yang berdampak pada sumber daya kelautan. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dengan baik termasuk bagaimana melindungi dari berbagai bentuk ancaman kerusakan. Hal ini karena sumber daya laut menyimpan kekayaan dan potensi ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan rakyat Aceh. Demikian juga berbagai pentuk limbah industri dan domestik harus menjadi prioritas pengelolaan dan pengawasan agar sumber daya kelautan hayati dan nonhayati tidak lagi teramcam kerusakan, kematian, dan kepunahan bagi ikan.
Banda Aceh, 6 November 2014
RAHMATSYAH
Sumber : http://ift.tt/1omccdF
JAGA KEKAYAAN LAUT ACEH
Lau yang merupakan potensi ekonomi kerap terancam. Tragedi kematian ikan di perairan Sabang beberapa waktu lalu, membuat banyak pihak terhenyak dan sibuk mecari tahu; mengapa ikan-ikan yang tak berdosa itu mati? Apakah karena temperatur air laut meningkat atau karena ada faktor lain, yang kemudian menyebabkan ikan-ikan tersebut menggelepar tak berdaya, lalu mati? Seperti diberitakan, ribuan ikan karang saat itu ditemukan mati terapung di laut Sabang. Belum diketahui penyebab kematian ikan-ikan tersebut, namun sebagian warga menyebut ikan itu mati akibat diracun. Ikan yang mati mengapung itu dilaporkan hanyut hingga ke parairan Pulo Aceh. Ternyata hingga hari ini kematian ikan memang kerap terjadi di berbagai tempat. Jika kita buka lembaran kasus kematian ikan, ternyata kasus ini merupakan replikasi masa lalu. Kasus kejahatan terhadap ekosistem laut sudah berulang kali terjadi dan terkadang terus dibiarkan. Bayangkan, baru saja pada Maret tahun 2014 ratusan hingga ribuan ikan di kawasan Pantai Marunda, Jakarta Utara, mati.
Dalam beberapa kasus tentang kematian ikan, pemerintah lamban mengungkapkan mengapa kematian ikan bisa terjadi. Akibatnya, masyarakat dengan keyakinannya terus mengkonsumsi ikan-ikan yang belum jelas apakah aman dari sudut kesehatan. Bahkan, Nelayan menjadi bingung tersendiri karena merasa akan hilang mata pencaharian mereka. Kekayaan Sumber daya kelautan, ikan-ikan kecil dan besar, kini terancam dan terganggu habitatnya. Bahkan, jika diteliti lebih mendalam akan nyata berbagai macam biodiversity laut mengalami gangguan dan kerusakan yang serius. Mengapa? Laut merupakan badan perairan terluas dan menyimpan berbagai potensi sumber daya alam hayati dan nonhayati untuk memenuhi hajat hidup manusia. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu laut menjadi tong sampah raksasa di dunia. Ini karena semua hasil kegiatan manusia berupa polutan terbuang ke laut. Polutan antropogenik hasil kreativitas manusia berupa limbah industri, limbah domestik, pertanian dengan pestisidanya, perhotelan, perkotaan, restoran, dan berbagai limbah aktivitas lainnya bermuara ke laut.
Jika limbah tanpa ada pengeloaan yang sesuai dengan syarat-syarat pengolahan limbah dan baku mutu lingkungan air kemudian dibuang ke laut, maka akan terjadi yang namanya polusi perairan laut. Hasil buangan tersebut akan banyak terkumpul awalnya dekat bibir pantai atau di sekitar perairan dangkal. Hasil akan menyebabkan perubahan ekosistem yang ada di laut. Mulai dari terganggunya fitoplankton, zooplankton, dan sampai pada kematian ikan-ikan. Sadar atau tidak sadar, bahwa limbah domestik yang berasal dari kegiatan rumah tangga langsung saja mengalir ke selokan, sungai, dan mengalir ke laut. Di Indonesia dan juga khususnya Aceh, limbah domestik yang berupa hasil pemakaian detergen, minyak makan, sabun, urin, dan lain sebagainya belum dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang. Padahal, limbah domestik secara rutinitas dan terus menerus dihasilkan merupakan penyumbang terbesar polusi perairan. Limbah dapat menyebabkan tersedia makanan bagi tumbuhan laut tertentu, algae misalnya, dan ia akan terus mengalami pertumbuhan yang menutup permukaan perairan sehingga sulit ditembus oleh sinar matahari. Bahkan, menurut referensi ada algae yang beracun yang menyebabkan ikan-ikan mati. Akibatnya, jika ikan mati dikonsumsi oleh manusia akan berbahaya bagi kesehatan.
Laut Sabang yang dikenal dengan jalur lalu lintas dunia dan terus ada hilir mudik kapal-kapal besar, bukan tidak mungkin juga menyumbang polutan seperti tumpahnya minyak di tengah laut. Begitu pula dengan kapal dan perahu nelayan ukuran besar maupun kecil untuk menangkap ikan di berbagai wilayah peraiaran di Aceh, juga berpotensi meninggalkan polutan di laut. Minyak yang tumpah akan menutupi lapisan permukaan air laut yang menyebabkan terganggunya organisme dan habitat di laut. Selain limbah yang menyebabkan polusi laut dan mematikan ikan, naiknya temperatur suhu permukaan air laut juga akan mengalami gangguan terhadap organisme aquatik. Menurut Sastrawijaya (2000) bahwa kenaikan suhu air menyebabkan suhu badan hewan berdarah dingin dalam air naik. Hal ini akan menyebabkan laju metabolisme naik dalam ikan dan selanjutnya menaikkan kebutuhan oksigen. Tetapi, jika suhu air naik, maka kandungan oksigen dalam air menurun. Jika kebutuhan oksigen melampaui oksigen yang tersedia maka ikan itu akan mati. Dan kenaikan temperatur air juga terdapat korelasi dengan adanya polutan bahan pencemar baik kimia maupun biologi dalam air.
Mencermati hal tersebut, maka pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan sumber daya kelautan. Anggaran, fasilitas laboratorium, dan sumber daya manusia yang siap mutlak diperlukan. Dengan adanya fasilitas tersebut, secara periodik dan insidental dapat memantau kualitas sumber daya air kelautan dan perikanan. Dalam hal ini dinas terkait dapat juga bekerja sama dengan Bapedalda yang berperan mengendalikan dampak lingkungan. Bagaimana pemerintah memberikan informasi kepada publik tentang aman tidaknya mengonsumsi ikan yang mati tersebut, jika tidak ada fasilitas yang memadainya? Begitu pula dengan dukungan pihak Kepolisian, yang bertugas mengamankan potensi-potensi kejahatan di laut, dapat memainkan perannya lebih luas. Misalnya, ada razia dadakan terhadap kapal-kapal mana tahu membawa bahan-bahan berbahaya untuk menangkap dan meracuni ikan. Cara-cara penangkapan ikan yang destruktif atau tidak ramah lingkungan seperti menggunakan bom dan racun ikan, kini sedang marak-maraknya dilakukan. Oleh karena itu, pengawasan rutin perlu dilakukan.
Ancaman pada sumberdaya kelautan lebih banyak dipengaruhi oleh manusia dari pada terjadi secara natural. Pertambangan, aktivitas pesisir, sedimentasi karena pembukaan lahan, aktivitas pelabuhan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, dan lainnya adalah bentuk-bentuk aktivitas manusia yang berdampak pada sumber daya kelautan. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dengan baik termasuk bagaimana melindungi dari berbagai bentuk ancaman kerusakan. Hal ini karena sumber daya laut menyimpan kekayaan dan potensi ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan rakyat Aceh. Demikian juga berbagai pentuk limbah industri dan domestik harus menjadi prioritas pengelolaan dan pengawasan agar sumber daya kelautan hayati dan nonhayati tidak lagi teramcam kerusakan, kematian, dan kepunahan bagi ikan.
Banda Aceh, 6 November 2014
RAHMATSYAH
Sumber : http://ift.tt/1omccdF