Suara Warga

Seorang Pemimpin Haruslah ‘Yatim atau Duda’

Artikel terkait : Seorang Pemimpin Haruslah ‘Yatim atau Duda’

Harus seperti itulah seorang pemimpin negara menganggap dirinya. Saat anggapan seperti itu melekat pada dirinya, ia akan melayani rakyat seutuhnya. Ia tidak lagi memiliki kerabat kecuali rakyatnya. Jika hal itu bisa dilakoni, ia tidak lagi mementingkan keluarganya. Ia akan melayani rakyatnya dengan sepenuh hati.

Seorang pemimpin tidak perlu dilayani. I akan melayani. Bagi dia, rakyat adalah keluarganya. Selama masih ada seorangpun yang menderita, ia tidak akan menikmati kemewahan. Ia selalu menganggap dirinya yatim atau duda-tidak ada yang melayaninya. Sebenarnya ia tidak menghendakinya. Ia selalu sibuk melayani rakyat, namun tetap juga merendahkan diri dan tidak membesar-besarkan keberhasilannya. (Tao Teh Ching by Anand Krishna, http://ift.tt/13Ko8wO).

Dalam hatinya tiada lain yang terpikirkan hanyalah kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Kondisi pemimpin ideal seperti ini hanya bisa dipenuhi oleh seseorang yang dirinya merasa tercukupi. Ia tidak lagi mencari sesuatu di luar dirinya. Ia sudah merasa cukup atas segala sesuatu yang diterimanya. Ia senantiasa bisa mengucapkan terima kasih.

Mereka yang senantiasa bisa mengucapkan terima kasih adalah seseorang yang tidak lagi meminta ini dan itu. Sebelum melakukan permintaan, ia selalu interospeksi diri terlebih dahulu. Ia senantiasa mengucapkan syukur atas segala sesuatu yang sudah diterima dan dinikmatinya. Saat ia bisa merasakan bahwa segala sesuatu yang diterima sudah layak dan cukup, saat itu ia tidak lagi bisa meminta sesuatu. Ia hanya bisa melayani dan berbagi.

Kapankah seseorang bisa merasa cukup?

Seseorang bisa merasakan cukup atas segala sesuatu yang diterimanya, bila dan bila ia sudah merasakan kepuasan dalam hatinya. Yang ia tahu hanya mempersembahkan kerjanya kepada Dia. Ia sadar sepenuhnya bahwa keberadaannya di bumi bukanlah lagi untuk mencari, tetapi untuk membuang. Membuang apa???

Membuang keangkuhan. Membuang rasa irihati. Membuang ketamakan. Membuang kerakusan dan membuang ego. Ia sadar sepenuhnya irihati, kemarahan, keangkuhan dan arogansi adalah penyebab utama kelahirannnya sendiri.

Ia sadar bahwa suatu rumah berguna apabila ada ruang kosong dalam rumah tersebut sehingga bisa ditempati barang maupun penghuni rumah. Bila rumah tersebut terisi penuh dengan barang atau bahkan tidak ada lagi space, bangunan itu tidak layak lagi disebut rumah.

Bukankah suatu mangkok juga masih berguna jika masih ada ruang kosong pada mangkok tersebut? Bila suatu bentuk dikatakan mangkok, bila dan bila ada space untuk menempatkan sesuatu. Hati seorang pemimpin yang tidak lagi dipenuhi kepentingan keluarganya, ia masih bisa melayani kebutuhan rakyatnya. Sebaliknya, jika dalam hatinya dipenuhi urusan keluarga, dapat dipastikan ia tidak lagi bisa melayani rakyatnya. Ia sangat terikat pada kenyamanan badan. Dapat dipastikan, ia bukanlah pemimpin yang baik bagi kepentingan rakyatnya…..




Sumber : http://ift.tt/1tC267E

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz