Suara Warga

Jakarta Ingkar Soal Implementasi MoU Helsinki?

Artikel terkait : Jakarta Ingkar Soal Implementasi MoU Helsinki?

1415591375830858071 http://ift.tt/142EXTN



Anggota DPR Aceh asal Fraksi Partai Aceh Abdullah Saleh,S.H menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat tidak memahami keinginan rakyat Aceh terkait implementasi MoU Helsinki. “Pemerintah Pusat tidak paham dan tidak mau tahu keinginan rakyat Aceh. Pemerintah Pusat terlalu condong berpegang teguh terhadap undang-undang sektoral,” Demikian dinyatakan oleh Abdullah Saleh.



Persoalan turunan implementasi MoU Helsinki ini menjadi semakin ramai pasca terbentuknya pemerintahan baru Jokowi-JK. Pemerintah Aceh dan DPRA menuntut turunan MoU yang tidak terjabarkan dalam UUPA untuk segera direalisasikan. Pemerintah Pusat sendiri pada masa Pemerintahan SBY telah melakukan beberapa upaya, termasuk di antaranya menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, RPP tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi, dan Rancangan Peraturan Presiden tentang pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota.



Persoalan utama yang muncul dari tawaran RPP ini adalah ketika dalam RPP pengelolaan bersama minyak dan gas bumi, tawaran Pemerintah Pusat untuk pembagian hasil 70:30, Pemerintah Aceh menginginkan pengelolaan pada batas laut 200 mil (Exclusive Economy Zone) sementara Pemerintah Pusat menyatakan pengelolaan bersama minyak dan gas bumi dengan Pemerintah Aceh hanya pada 12 mil dari bibir pantai (territorial waters). Masalah ini menjadi hal utama tersendatnya kesepakatan turunan MoU Helsinki.



Perlu dipahami bahwa EEZ merupakan ketetapan internasional yang tercantum dalam konvensi PBB tentang hukum laut, United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diberikan kepada sebuah negara untuk melakukan pengelolaan sumber daya kelautan. Perbedaannya dengan territorial waters adalah wilayah kedaulatan penuh dari sebuah negara sementara EEZ merupakan hak kedaulatan pengelolaan dari sebuah negara.



Kembali ke masalah implementasi MoU Helsinki, melihat aturan internasional di atas, saya berpendapat justru Pemerintahan Aceh dan DPRA yang tidak paham dan mengerti aturan yang ada. MoU tidak dapat disejajarkan dengan konvensi internasional yang disepakati oleh negara-negara anggota PBB, demikian juga MoU tidak dapat mengabaikan hukum kelautan yang diakui secara internasional bahwa hak kedaulatan pengelolaan diberikan kepada sebuah negara, bukan sebuah wilayah/daerah.



Oleh karena itu, saya menilai pernyataan Abdullah Saleh di atas merupakan bentuk ketidakpahaman beliau dalam melihat peraturan yang diakui secara internasional. Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan diakui secara internasional memiliki hak dalam melakukan pengelolaan sumber-sumber kelautan yang berada di wilayah EEZ sesuai dengan ketetapan internasional.



Namun demikian, saya tetap berharap bahwa persoalan ini dapat segera diselesaikan dengan “kepala dingin” oleh masing-masing pihak. Untuk itu diperlukan conciousness dari masing-masing pihak dengan tetap berpedoman pada hukum dan aturan yang ada. Dan tentunya saya berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak ragu-ragu dalam menjalankan konstitusi sebab bagaimanapun Pemerintah yang baru ini, selain sebagai pengemban amanah rakyat juga sebagai pengemban amanah konstitusi.



Rafli Hasan














Sumber : http://ift.tt/142EZLv

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz