Jokowi Tunjuk Jaksa Agung Sekelas Baharuddin Lopa untuk Reformasi Hukum
Baharuddin Lopa, seperti Jaksa Agung Soeprapto, adalah jaksa agung yang hebat. Sayang Lopa dibunuh akibat konspirasi di Arab Saudi. Pamor kejaksaan agung selama ini sangat terpuruk - maka lahirlah KPK - tak pernah terangkat. Banyak jaksa yang ditangkap oleh KPK. Institusi Kejaksaan Agung justru menjadi titik lemah dalam penegakan hukum. Kejaksaan agung menjadi pintu mafia hukum bermain. Itulah maka Jokowi harus mencari sosok sekaliber Baharuddin Lopa atau Soeprapto. Mari kita telaah dengan hati gembira ria.
Benang kusut hukum dan mafia hukum, resistensi dari dalam Kejaksaan Agung yang tak pernah mampu dilawan oleh jaksa agung siapapun - hanya Lopa dan Soeprapto yang memiliki komitmen. Kekuatan mafia hukum membelenggu kejasaan agung. Salah satu kekuatan mafia adalah mereka mampu menghambat reformasi hukum di institusi kejaksaan agung.
Tugas kejakasaan agung adalah menjadi manajer untuk mengatur organisasi yang bobrok. Jaksa Agung juga harus menjadi pengawas untuk mencegah intervensi hukum. Jaksa agung yang berasal dari internal diyakini tak akan mampu menghapus dan mengurangi gurita mafia hukum. Resistensi menjadi alasan.
Contohnya, jika di Kepolisian 10 tahun lalu Kapolri sudah mendelegasikan berbagai wewenang dan membuat organisasi polri di daerah sebagai foto kopi organisasi kepolisian di tingkat pusat. Di kejaksaan masih jalan di tempat dengan 22,000 personel yang tampak susah dikendalikan. Perkara menumpuk karena ketidakmampuan untuk mengatur dan niat untuk bekerja. Setiap hari menumpuk sekitar 2,000 perkara.
Memang, jika dibandingkan dengan KPK - yang menjadi lembaga super body - Kejaksaan Agung dan kejaksaan sebagai institusi bekerjanya harus berkaitan dengan kepolisian. Namun, sekali lagi, kejaksaan selama ini dikungkungi oleh ketidakmampuan mengorganisasi diri ke dalam dan keluar Kenapa?
Pertama, organisasi kejaksaan dibuat rumit dan birokratif. Tujuannya adalah untuk memersulit upaya penegakan hukum. Prosedur kerja dan birokrasi dibuat untuk kepentingan institusi kejaksaan, bukan untuk upaya penegakan hukum. Institusi internal kusut dan sulit dibenahi.
Kedua, organisasi kejaksaan adalah sumber permasalahan hukum itu sendiri. Sejak puluhan tahun, siapapun yang berkuasa di kejaksaan agung tak memiliki kemampuan untuk keluar dari belitan ‘bersama-sama’ secara berjamaah menjadi tameng penegakan hukum: artinya untuk menghalangi penegakan korupsi dan pemberantasan narkoba.
Ketiga, kejaksaan agung adalah mercusuar tembok hukum yang menakutkan bagi masyarakat. Posisi ini akan selalu dipertahankan. Bahkan kejaksaan pun tidak mau bekerjasama dengan pihak kepolisian. Mereka berjalan sendiri-sendiri.
Melihat ketiga permasalahan tersebut, maka mau tidak mau Jokowi harus mencari sosok Jaksa Agung yang memiliki kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, dan keberanian sekelas Baharuddin Lopa dan Soeprapto. Jika tidak, maka dipastikan Jokowi akan melanggengkan Kejaksaan Agung menjadi tembok penahan pemberantasan mafia hukum dan pemberantasan narkoba dan pelanggaran HAM.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1xktl8o
Benang kusut hukum dan mafia hukum, resistensi dari dalam Kejaksaan Agung yang tak pernah mampu dilawan oleh jaksa agung siapapun - hanya Lopa dan Soeprapto yang memiliki komitmen. Kekuatan mafia hukum membelenggu kejasaan agung. Salah satu kekuatan mafia adalah mereka mampu menghambat reformasi hukum di institusi kejaksaan agung.
Tugas kejakasaan agung adalah menjadi manajer untuk mengatur organisasi yang bobrok. Jaksa Agung juga harus menjadi pengawas untuk mencegah intervensi hukum. Jaksa agung yang berasal dari internal diyakini tak akan mampu menghapus dan mengurangi gurita mafia hukum. Resistensi menjadi alasan.
Contohnya, jika di Kepolisian 10 tahun lalu Kapolri sudah mendelegasikan berbagai wewenang dan membuat organisasi polri di daerah sebagai foto kopi organisasi kepolisian di tingkat pusat. Di kejaksaan masih jalan di tempat dengan 22,000 personel yang tampak susah dikendalikan. Perkara menumpuk karena ketidakmampuan untuk mengatur dan niat untuk bekerja. Setiap hari menumpuk sekitar 2,000 perkara.
Memang, jika dibandingkan dengan KPK - yang menjadi lembaga super body - Kejaksaan Agung dan kejaksaan sebagai institusi bekerjanya harus berkaitan dengan kepolisian. Namun, sekali lagi, kejaksaan selama ini dikungkungi oleh ketidakmampuan mengorganisasi diri ke dalam dan keluar Kenapa?
Pertama, organisasi kejaksaan dibuat rumit dan birokratif. Tujuannya adalah untuk memersulit upaya penegakan hukum. Prosedur kerja dan birokrasi dibuat untuk kepentingan institusi kejaksaan, bukan untuk upaya penegakan hukum. Institusi internal kusut dan sulit dibenahi.
Kedua, organisasi kejaksaan adalah sumber permasalahan hukum itu sendiri. Sejak puluhan tahun, siapapun yang berkuasa di kejaksaan agung tak memiliki kemampuan untuk keluar dari belitan ‘bersama-sama’ secara berjamaah menjadi tameng penegakan hukum: artinya untuk menghalangi penegakan korupsi dan pemberantasan narkoba.
Ketiga, kejaksaan agung adalah mercusuar tembok hukum yang menakutkan bagi masyarakat. Posisi ini akan selalu dipertahankan. Bahkan kejaksaan pun tidak mau bekerjasama dengan pihak kepolisian. Mereka berjalan sendiri-sendiri.
Melihat ketiga permasalahan tersebut, maka mau tidak mau Jokowi harus mencari sosok Jaksa Agung yang memiliki kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, dan keberanian sekelas Baharuddin Lopa dan Soeprapto. Jika tidak, maka dipastikan Jokowi akan melanggengkan Kejaksaan Agung menjadi tembok penahan pemberantasan mafia hukum dan pemberantasan narkoba dan pelanggaran HAM.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1xktl8o