Suara Warga

Tidak Hadiri ILC, Benarkah Ahok Arogan dan Pengecut?

Artikel terkait : Tidak Hadiri ILC, Benarkah Ahok Arogan dan Pengecut?

Sumber: Warta Kota Sumber: Warta Kota



Ketidakhadiran Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama di acara Indonesia Lawyers Club, Selasa (14/10/2014) lalu menyiratkan kekecewaan sejumlah pihak. Sebagai orang nomor satu di DKI, Ahok diharapkan untuk mampu merangkul semua pihak dengan damai, termasuk tentunya ormas FPI yang tindak-tanduknya selalu kontroversial.

Aktivis seperti Ratna Sarumpaet yang selama ini vokal terhadap FPI bahkan tidak segan-segan mengecam respon Ahok yang selama ini dinilai terlalu sibuk membuat musuh dimana-mana. Ruhut Sitompul juga berpendapat bahwa bila hal ini tetap berlanjut maka orang-orang etnis Tionghoa-lah yang akan dirugikan karena mereka berpotensi menjadi pelampiasan amarah ormas-ormas fanatik.

Bukankah kemampuan berkomunikasi adalah atribut terpenting dalam memimpin? Mengapa Ahok sungguh arogan dan tidak pernah mau duduk semeja dengan FPI? Selama ini toh Ahok menyanggupi undangan dari Najwa Shihab dan Kick Andy. Apa ini bukti kepengecutan si “Cina Kafir”?

Seiiring berjalannya perdebatan alot di ILC, terbetik pertanyaan: Andaikata Ahok datang, akan jadi apa diskusi ILC? Di pihak penonton, siapa sih yang tidak penasaran menantikan debat brutal macam apa yang tersaji bila FPI dan Ahok saling tatap mata?

Sebelumnya, ada dua pernyataan Highlights narasumber yang sangat penting untuk dibahas disini. Yang pertama adalah ucapan keras sekaligus menyejukkan dari Sekjen PBNU, Marsudi Suhud.

Intinya, bagaimana mungkin kita mengubah akhlak seseorang sementara kita sendiri masih menghasilkan kemungkaran? Bila kita melawan kemungkaran dengan kemungkaran maka yang akan dihasilkan adalah kemungkaran yang baru. Seberapa efektif dakwah macam ini?

“Ada orang bertanya pada saya, mengapa setiap ucapan Allahu Akbar keluar yang terlihat di televisi adalah orang merobohkan pagar dan bertindak kekerasan,” ucap beliau. Bpk Marsudi juga menambahkan bagaimana “Islamisasi” di Indonesia sukses berkat dakwah damai para Wali Sanga yang lebih melakukan pendekatan kultur.

Suatu renungan menarik. Ketika Islam datang pertama kali ke Nusantara apa yang nenek moyang kita lihat saat itu? Seandainya Islam masuk seperti ISIS dengan terror dan bom apakah Islam bisa diterima seperti sekarang?

Pernyataan Highlight kedua datang dari Nusron Wahid. Ketua Umum GP Anshor yang dipecat dari Partai Golkar pasca mendukung Jokowi. Berikut ucapan beliau:

1. “Kita ini orang Indonesia yang beragama Islam bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia. Kita lahir, sujud dan sholat di bumi Indonesia karena itu kita tidak boleh mengotori Indonesia.”







2. “Diatas hukum agama dan hukum adat, ada hukum konstitusi.”

Ucapan Nusron, terutama yang point ke-2 sungguh menohok. Selama ini betapa mudahnya sekelompok orang dikumpulkan untuk berdemo membonceng demokrasi hanya untuk menodai demokrasi itu sendiri. Kebebasan berpendapat digunakan untuk mengunci kebebasan hak warga negara tertentu untuk menjadi seorang pemimpin ditengah komunitas majemuk.

Dua Wajah Islam

Lalu apa tanggapan FPI terhadap organisasi yang semestinya jadi “Godfather figure” bagi ormas Islam? Dengan enteng, PBNU malah diminta untuk belajar lagi mengenai jenis-jenis dakwah termasuk jihad. Terhadap Ketua GP Ansor, tak tanggung-tanggung dengan pedas dibalas: “Mulai sekarang seluruh anggota GP Ansor baca ayat konstitusi saja. Jangan baca ayat Quran karena ayat konstitusi diatas ayat kitab suci.”

Sebenarnya amat disayangkan Karni Ilyas tidak memberikan ruang bagi Nusron Wahid atau Marsudi untuk membalas statement diatas. Tapi setidaknya para pembaca pasti memahami ada dua wajah Islam di ILC saat itu.

Islam pertama diwakili oleh FPI, merasa bahwa hukum negara dan agama memiliki kontradiksi. Yang merasa sejalan tetap dipegang, yang tidak maka dibuang. Islam kedua diwakili GP Ansor dan PBNU, bahwa ayat kitab suci tidak bertentangan dengan ayat konstitusi. Malahan dengan mengamalkan ayat kitab suci, maka dengan sendirinya warga Muslim menjalankan kewajibannya bernegara sebagai warga negara Indonesia.

Ada dua hal yang bisa dipetik disini:

1. Kalau PBNU dan GP Ansor yang sesama umat Muslim saja dakwahnya tidak bisa menembus pemikiran ulama-ulama FPI, atas dasar apakah mereka mau membuka telinga terhadap “Cina Kafir” seperti Ahok?



2. Sebenarnya sudah jelas, bahwa officially FPI secara tidak langsung menolak hukum konstitusi yang berlaku di bumi Indonesia. Ini makar atau bukan sih? Kok masih dibiarkan berkeliaran?

Ahok mungkin punya pertimbangan sendiri mengapa ia tidak pernah mau duduk semeja dengan FPI. Beliau pernah bilang bahwa ia tidak akan pernah menerima rasisme sampai kapanpun. Sayang bangsa ini sepertinya entah masih malu-malu atau belum bisa jujur untuk menerima bahwa semangat ideologi FPI bernuansa separatis. Masih ada yang merasa FPI hanya semacam “misguided flocks” ketimbang “potential threat” sehingga masih merasa mampu untuk diayomi. Malahan Mendagri sempat menyebutnya sebagai aset bangsa dan yang terakhir ini telah memperpanjang ijin resmi-nya hingga 2019.

Ironis, kearifan dan kebaikan element-element bangsa terhadap FPI ini justru semakin membuat FPI merasa memiliki legitimasi terhadap tiap tindakan anarki yang dilakukannya. Lucunya Ahok kini dituntut untuk mengayomi sebuah ormas yang selama bertahun-tahun, ulama-ulama moderat dari Nadhatul Ulama saja tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengembalikan mereka ke “jalan yang benar.”

Langkah Ahok tidak salah. Anda tidak boleh bernegosiasi dengan anarki. Presiden Soekarno saja tanpa ampun memberantas pergerakan DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo dengan kekuatan militer. Lantas, apakah itu membuat Soekarno yang Muslim menjadi figur anti-Islam hanya karena pendekatan sosial tidak lagi efektif?

Anda Mungkin Tertarik Baca:


1. Israel, Palestina, 1948 FAQ

2. Ini Jawaban Ahok Bila Anak Istrinya Dibunuh

3. Kemerdekaan Indonesia “Earned” Atau “Given.”

4. Akankah Film Nabi Musa Bernasib Seperti NOAH?

5. Belajar dari Macau, Tak Selamanya Nasionalisasi Jadi Solusi





Sumber : http://ift.tt/1qwAOvJ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz