Rini Soemarno Menteri BUMN, Taktik Devide et Impera Jokowi Berhasil?
Sore ini (26/10/2014) Presiden Republik Indonesia Ir. H. Muhammad Joko Widodo akan mengangkat para menteri Kabinet Tri Sakti atau Kabinet Indonesia Hebat. Pengumuman ini sesuai dengan perhitungan klenik bahwa Jokowi harus membentuk kabinet antara hari ini Minggu sampai Rabu pekan depan. Keluar dari waktu itu akan ‘salah mongso’. Selain waktu yang menarik dari pengangkatan itu adalah masuknya Rini Soemarno ke dalam kabinet. Masuknya Rini Soemarno menjadi menarik karena memiliki fungsi strategis. Kenapa Jokowi tetap memasukkan Rini yang dikabarkan disebut ditandai kuning oleh KPK? Mari kita telaah dengan hati gembira ria.
Dalam politik, Jokowi menganut paham politik garis tengah. Artinya Jokowi memiliki kemampuan mengakomodasi isu politik dengan santun dan elegan. Namun di tengah keyakinan politik itu, Jokowi memiliki kekuatan dan ketegasan: dialah yang berkuasa - bukan yang lain yang diajak untuk bekerjasama.
Taktik politik merangkul namun menusuk - dengan gradasi kepentingan perusakannya - dengan tepat dikuasai oleh Jokowi.
Jokowi memulai semua langkah politiknya dengan diam dan santai: namun cerdik penuh perhitungan. Akibat politik andap asor (merendah) sebelum dilantik menjadi Presiden RI yang sesungguhnya, Jokowi menjadi mainan kecaman para pesaing dan politikus culun yang tak memahami strategi politik kelas atas. Maka publik melihat Jokowi menjadi bulan-bulanan komentar sekelas Fadli Zon, Fahri Hamzah serta Tantowi Yahya dan Nurul Arifin.
Namun, jika diamati Setya Novanto - orang kuat yang tak akan pernah mampu dicokok oleh KPK sekalipun - tidak pernah menyampaikan pernyataan yang provokatif seperti keempat pentolan politik di atas. Kenapa? Setya Novanto adalah politikus senior yang malang melintang di dunia politik-hukum dan politik-ekonomi serta politik-kekuasaan yang sesungguhnya. Setya Novanto memiliki kematangan untuk mengamankan diri di tengah kekuasaan sesungguhnya Presiden RI yang ada di tangan Joko Widodo.
Fadli Zon dan Fahri Hamzah adalah contoh politikus yang gemar melihat kulit tanpa melihat isi. Mereka bermain dalam politik gaya kuno yakni berdasarkan undang-undang. DPR dianggap sebagai ‘kekuatan’ nyata. Padahal sesungguhnya kekuasan ada di tangan eksekutif - buktinya orang berebut menjadi Presiden RI bukan menjadi pimpinan Ketua DPR dan MPR.
Kedua orang ini akan menemui titik ‘pasif’ ketika Gerindra atau Prabowo memberikan instruksi. Hal ini terkait dengan isi pembicaraan Jokowi-Prabowo dan Jokowi-Ical yang mana Jokowi memberikan jaminan prioritas penegakan hukum dengan skala prioritas dan perkara hukum sumir tak akan diusut. Kenyamanan Prabowo dan komprominya menjadi alat peredam Fadli Zon.
Begitu pula Fahri Hamzah akan berdiam diri ketika Hilmi Aminuddin dan Anis Matta memberikan jaminan kepada Jokowi bahwa Fahri Hamzah harus diam. Hilmi Aminuddin masih menyisakan kasus yang disebut terkait dengan Bunda Putri. Sedangkan adik Anis Matta pun pernah menerima kucuran dana dari Ahmad Fathanah. Posisi jaminan prioritas hukum yang dijanjikan oleh Jokowi diapresiasi sebagai bagian dari deal politik yang meredam perselisihan yang tak memberikan manfaat bagi negara.
Namun, semua itu dengan syarat ‘agar semua hal berjalan normal dan Jokowi tidak terpaksa untuk menggunakan kekuasaan-hukum dan politik’. Jelas di satu sisi merangkul, di satu sisi lain Jokowi membelenggu kaki Prabowo, Ical, Hilmi Aminuddin, Anis Matta dan tentu menghargai Setya Novanto. Akibat politik kompromi ala Jokowi, Hidayat Nur Wahid pun tampak sedikit jinak. Lalu kapan koalisi permanen akan ‘menjadi penyeimbang’? Ketika ‘kroni jauh’ dan ‘kepentingan ekonomi’ di eselon 1-3 di berbagai kementerian mulai diganti oleh ‘orang-orang baru’. Di situlah aka nada tarik-menarik. Di situlah permainan mafia yang sesungguhnya.
Nah, terkait dengan beberapa nama yang dianggap bermasalah secara hukum dan HAM, justru di situlah Jokowi membelenggu satu kaki - yakni satu orang diberi kuasa - untuk tidak melakukan pengusutan terkait kasus HAM. Itu upaya status quo yang dijaminkan Jokowi kepada Prabowo, Ical, dkk. Dengan demikian mereka telah dibungkam.
Hal yang sama terjadi jika Rini Soemarno menjadi menteri BUMN. Rini akan digunakan oleh Jokowi sebagai ex bad girl atau terkait dengan bad boys di lingkungan mafia migas untuk memberantas mafia. Rini lebih paham siapa yang ada di balik mafia migas dan lebih mudah mengenali. Itu strategi jitu masuk ke sarang penyamun. Kurtubi hanya paham di permukaan.
Di lain pihak 98% para menteri Jokowi bersih. Posisi para menteri pos penting menunjukkan kabinet yang menjanjikan. Dan jelas akan didukung oleh DPR - seperti kesepakatan Prabowo-Ical dan Jokowi secara terpisah. Di balik itu, Jokowi juga secara cerdik akan mengusut kasus Hambalang dan Century yang menyebut Ibas dan SBY sebagai darma bakti kepada Megawati. Jokowi juga telah mengakomodir para menteri termasuk perwakilan dari Papua yang panas. Juga masuknya Komaruddin Hidayat dan Anies Baswedan sangat membahagiakan jika memang terjadi.
Maka, publik tak usah repot dengan adanya Rini Soemarno atau Wiranto atau Om AM Hendro Priyono sekalipun - jika memang mereka dimasukkan. Semua itu adalah strategi politik jalan tengah yang santun ala Jokowi sekaligus upaya melakukan pembersihan dengan taktik devide et impera khas Jokowi.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1wuDb9Q
Dalam politik, Jokowi menganut paham politik garis tengah. Artinya Jokowi memiliki kemampuan mengakomodasi isu politik dengan santun dan elegan. Namun di tengah keyakinan politik itu, Jokowi memiliki kekuatan dan ketegasan: dialah yang berkuasa - bukan yang lain yang diajak untuk bekerjasama.
Taktik politik merangkul namun menusuk - dengan gradasi kepentingan perusakannya - dengan tepat dikuasai oleh Jokowi.
Jokowi memulai semua langkah politiknya dengan diam dan santai: namun cerdik penuh perhitungan. Akibat politik andap asor (merendah) sebelum dilantik menjadi Presiden RI yang sesungguhnya, Jokowi menjadi mainan kecaman para pesaing dan politikus culun yang tak memahami strategi politik kelas atas. Maka publik melihat Jokowi menjadi bulan-bulanan komentar sekelas Fadli Zon, Fahri Hamzah serta Tantowi Yahya dan Nurul Arifin.
Namun, jika diamati Setya Novanto - orang kuat yang tak akan pernah mampu dicokok oleh KPK sekalipun - tidak pernah menyampaikan pernyataan yang provokatif seperti keempat pentolan politik di atas. Kenapa? Setya Novanto adalah politikus senior yang malang melintang di dunia politik-hukum dan politik-ekonomi serta politik-kekuasaan yang sesungguhnya. Setya Novanto memiliki kematangan untuk mengamankan diri di tengah kekuasaan sesungguhnya Presiden RI yang ada di tangan Joko Widodo.
Fadli Zon dan Fahri Hamzah adalah contoh politikus yang gemar melihat kulit tanpa melihat isi. Mereka bermain dalam politik gaya kuno yakni berdasarkan undang-undang. DPR dianggap sebagai ‘kekuatan’ nyata. Padahal sesungguhnya kekuasan ada di tangan eksekutif - buktinya orang berebut menjadi Presiden RI bukan menjadi pimpinan Ketua DPR dan MPR.
Kedua orang ini akan menemui titik ‘pasif’ ketika Gerindra atau Prabowo memberikan instruksi. Hal ini terkait dengan isi pembicaraan Jokowi-Prabowo dan Jokowi-Ical yang mana Jokowi memberikan jaminan prioritas penegakan hukum dengan skala prioritas dan perkara hukum sumir tak akan diusut. Kenyamanan Prabowo dan komprominya menjadi alat peredam Fadli Zon.
Begitu pula Fahri Hamzah akan berdiam diri ketika Hilmi Aminuddin dan Anis Matta memberikan jaminan kepada Jokowi bahwa Fahri Hamzah harus diam. Hilmi Aminuddin masih menyisakan kasus yang disebut terkait dengan Bunda Putri. Sedangkan adik Anis Matta pun pernah menerima kucuran dana dari Ahmad Fathanah. Posisi jaminan prioritas hukum yang dijanjikan oleh Jokowi diapresiasi sebagai bagian dari deal politik yang meredam perselisihan yang tak memberikan manfaat bagi negara.
Namun, semua itu dengan syarat ‘agar semua hal berjalan normal dan Jokowi tidak terpaksa untuk menggunakan kekuasaan-hukum dan politik’. Jelas di satu sisi merangkul, di satu sisi lain Jokowi membelenggu kaki Prabowo, Ical, Hilmi Aminuddin, Anis Matta dan tentu menghargai Setya Novanto. Akibat politik kompromi ala Jokowi, Hidayat Nur Wahid pun tampak sedikit jinak. Lalu kapan koalisi permanen akan ‘menjadi penyeimbang’? Ketika ‘kroni jauh’ dan ‘kepentingan ekonomi’ di eselon 1-3 di berbagai kementerian mulai diganti oleh ‘orang-orang baru’. Di situlah aka nada tarik-menarik. Di situlah permainan mafia yang sesungguhnya.
Nah, terkait dengan beberapa nama yang dianggap bermasalah secara hukum dan HAM, justru di situlah Jokowi membelenggu satu kaki - yakni satu orang diberi kuasa - untuk tidak melakukan pengusutan terkait kasus HAM. Itu upaya status quo yang dijaminkan Jokowi kepada Prabowo, Ical, dkk. Dengan demikian mereka telah dibungkam.
Hal yang sama terjadi jika Rini Soemarno menjadi menteri BUMN. Rini akan digunakan oleh Jokowi sebagai ex bad girl atau terkait dengan bad boys di lingkungan mafia migas untuk memberantas mafia. Rini lebih paham siapa yang ada di balik mafia migas dan lebih mudah mengenali. Itu strategi jitu masuk ke sarang penyamun. Kurtubi hanya paham di permukaan.
Di lain pihak 98% para menteri Jokowi bersih. Posisi para menteri pos penting menunjukkan kabinet yang menjanjikan. Dan jelas akan didukung oleh DPR - seperti kesepakatan Prabowo-Ical dan Jokowi secara terpisah. Di balik itu, Jokowi juga secara cerdik akan mengusut kasus Hambalang dan Century yang menyebut Ibas dan SBY sebagai darma bakti kepada Megawati. Jokowi juga telah mengakomodir para menteri termasuk perwakilan dari Papua yang panas. Juga masuknya Komaruddin Hidayat dan Anies Baswedan sangat membahagiakan jika memang terjadi.
Maka, publik tak usah repot dengan adanya Rini Soemarno atau Wiranto atau Om AM Hendro Priyono sekalipun - jika memang mereka dimasukkan. Semua itu adalah strategi politik jalan tengah yang santun ala Jokowi sekaligus upaya melakukan pembersihan dengan taktik devide et impera khas Jokowi.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://ift.tt/1wuDb9Q