Ontologi Hukum; Terciptanya Ilmu, Norma dan Aturan Hukum
Apa yang dipelajari dari ilmu hukum? Untuk menjawabnya, mari kita telaah terlebih dahulu mengapa hukum dapat hadir atau eksis sebagai suatu ilmu. Secara garis besar, aliran pemikiran hanya terbagi atas rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah aliran pemikiran yang bertumpu pada rasio atau akal dalam mengungkap segala sesuatu. Sementara empirisme adalah aliran pemikiran yang bertumpu pada indera.
Terciptanya Norma Hukum
Dari dua aliran pemikiran tersebut kemudian melahirkan dua norma yang berbeda pula. Norma etika menertibkan masyarakat dengan mengambil hal-hal yang ideal (filosofis). Norma sosial menertibkan masyarakat dengan berpatokan pada hal-hal yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat (sosiologis). Terciptanya norma hukum merupakan titik kompromi dari dua norma di atas. Norma hukum menempatkan hal-hal ideal sebagai dasar pembentukan hukum, sembari mempertimbangkan kondisi sosiologis masyarakat setempat (Satjipto Rahardjo; Ilmu Hukum).
Hukum Sebagai Suatu Ilmu
Apakah hukum dapat dikategorikan sebagai suatu ilmu? Apakah ilmu hanyalah studi yang dapat diamati secara empiris seperti ilmu alam dan ilmu sosial? Berdasarkan obyek kajiaannya, ilmu dibagi atas ilmu yang melalui pengalaman empiris (a posteriori) dan ilmu yang tanpa melalui pengalaman empiris (apriori), yaitu dengan abstraksi akal (Mundiri; Logika)
Dari klasifikasi ilmu di atas, hukum dapat dikategorikan sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu apriori. Adapun obyek kajian ilmu hukum adalah norma-norma yang membahas tentang apa yang tidak boleh (dilarang) dan apa yang harus (perintah) dilakukan. Norma tersebut berasal dari norma etika dengan pertimbangan kondisi sosiologis dan kemudian turun dalam bentuk aturan, baik tertulis (Undang-Undang) maupun tidak tertulis (hukum kebiasaan).
Karakteristik Ilmu Hukum
Setelah memahami bahwa hukum merupakan bagian dari ilmu, pertanyaannya kemudian apakah definisi dari ilmu hukum tersebut? Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang upaya menerapkan keadilan pada masyarakat melalui norma dan aturan. Mengapa keadilan tersebut diterapkan kepada masyarakat? Karena teori-teori keadilan merupakan obyek kajian filsafat. Keadilan yang dibahas dalam ilmu hukum adalah upaya penerapannya kepada masyarakat. Pertanyaan yang sama juga dapat dijawab dengan adagium hukum yang berbunyi; ubi societas, ibi ius (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum). Jadi, sejak manusia memahami konsep masyarakat, di saat itu pula hukum mulai hadir dan diterapkan. Jawaban yang sama juga dapat menjawab pertanyaan “sejak kapan hukum mulai dikenal oleh manusia?”
Satu-satunya ilmu yang membahas tentang aturan bertindak benar hanyalah ilmu hukum. Itulah mengapa ilmu hukum dikatakan bersifat sui generis atau satu-satunya dalam jenisnya. Tidak ada ilmu lain yang membahas tentang aturan bertindak benar selain ilmu hukum. Ilmu hukum berbeda dengan jenis ilmu abstrak lainnya seperti filsafat yang membahas tentang etika dan keadilan secara teoritis. Ilmu hukum membahas norma dan turunannya, yaitu aturan. Begitupun dengan ilmu abstrak lain seperti logika yang membahas tentang aturan berpikir (bernalar) benar, bukan aturan bertindak benar. Hukum juga tentu berbeda dengan ilmu empiris alamiah seperti kedokteran dan kesehatan masyarakat yang membahas tentang penyakit dan kesehatan. Juga berbeda dengan ilmu empiris sosial seperti sosiologi, antropologi dan psikologi yang membahas tentang perilaku manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, upaya menyamakan ilmu hukum sebagai filsafat yang membahas tentang etika dan keadilan, apalagi menyamakannya dengan ilmu sosial yang membahas tentang perilaku manusia merupakan sebuah miskonsepi. Ilmu hukum berada ditengah-tengah, abstraknya filsafat etika serta keadilan dan empirisnya perilaku manusia serta masyarakat. Ilmu hukum bertugas menjembatani antara ide-ide abstrak dan realitas sosial tanpa berupaya mengempiriskan yang abstrak dan mengabstrakkan yang empiris.
Manifestasi Norma Hukum dalam Aturan Hukum
Norma berisikan apa yang tidak boleh (dilarang) dan apa yang harus (perintah) dilakukan. Norma yang tertanam di akal masing-masing manusia (realitas internal) harus diterapkan pada realitas eksternal untuk menghindari subyektivikasi norma yang bisa saja dilakukan oleh subyek-subyek atau manusia tertentu. Maka, diperlukan aturan sebagai turunan atau manifestasi norma sebagai upaya menampakkan norma. Tidak cukup sampai di situ, perkembangan pemikiran manusia kemudian membagi lagi aturan ke dalam aturan tertulis berupa Undang-Undang dan aturan tidak tertulis berupa hukum kebiasaan.
Perlu dipahami bahwa antara hukum kebiasaan dan kebiasaan tidaklah sama. Hukum kebiasaan adalah kebiasaan yang disepakati melalui aturan tidak tertulis yang berasal dari norma, sementara kebiasaan tidak memerlukan legitimasi norma seperti kebiasaan tidur sambil mendengarkan musik melalui earphone. Selama kebiasaan tersebut tidak berbenturan dengan kepentingan sosial (masyarakat), maka kebiasaan tersebut tidak termasuk hukum kebiasaan. Perbedaan lainnya adalah jika suatu tindakan dibolehkan dalam hukum maka tindakan tersebut harus dilakukan. Sementara jika suatu tindakan dibolehkan namun tidak harus dilakukan maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai kebiasaan. Seperti tidur sambil mendengarkan musik melalui earphone tadi, suatu tindakan yang dibolehkan tapi tidak harus dilakukan, maka tindakan tersebut termasuk kebiasaan. Lain halnya dengan tindakan menyayangi balita yang merupakan tindakan yang dibolehkan dan harus dilakukan, maka tindakan tersebut merupakan hukum kebiasaan.
Norma Hukum dan Norma Lainnya
Manusia adalah makhluk dualistis. Ditinjau dari aspek dimensinya, manusia terbagi ke dalam dimensi batin dan dimensi fisik. Ditinjau dari aspek pola interaksinya, manusia terbagi ke dalam entitas individu dan entitas masyarakat. Norma adalah kaidah bertindak yang berisikan perintah dan larangan. Jika dimensi batin diterapkan pada entitas individu, lahirlah norma agama. Meskipun agama juga berbicara mengenai interaksi sosial (masyarakat), tapi lazimnya agama sering dikaitkan dengan perbaikan individu secara batiniyah. Contoh norma agama adalah perintah shalat dan larangan bunuh diri.
Jika dimensi batin diterapkan pada entitas masyarakat, lahirlah norma etika (kesopanan, kesusilaan). Karakteristik etika memang bersifat dari dalam ke luar dan diterapkan pada kehidupan sosial. Contoh norma etika adalah perintah menghargai orang lain dan larangan berbohong. Jika dimensi fisik diterapkan pada entitas individu, lahirlah kebiasaan. Contoh kebiasaan adalah buang air besar saat mandi pagi (perintah)dan memadamkan lampu kamar pribadi sebelum tidur (larangan). Ketika akumulasi kebiasaan dilakukan oleh suatu masyarakat (kebiasaan kolektif), maka akan melahirkan norma sosial. Sementara yang terakhir, jika dimensi fisik diterapkan pada entitas masyarakat, melahirkan norma hukum. Perintah tertib lalu lintas dan larangan korupsi adalah contoh dari norma hukum. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa norma hukum adalah titik kompromi dari norma etika yang abstrak-batiniyah dan norma sosial yang empiris-fisik.
Letigimator (Pembuat) Hukum
Aliran positivis tentu memandang bahwa hukum hanya dapat eksis jika dilegitimasi oleh pihak yang berkuasa. Seperti yang dikatakan oleh Savigny yang menyatakan bahwa tidak ada hukum tanpa kekuasaan, begitupun sebaliknya. Lain halnya dengan aliran etis yang memandang hukum dapat eksis dan tumbuh dalam kesadaran tiap-tiap individu meski tidak disokong oleh kekuasaan. Aliran positivis kemudian dapat diklasifikasikan sebagai sumber hukum formal yang keberlakuan hukumnya dari atas ke bawah (top down). Sementara aliran etis diklasifikasikan sebagai sumber hukum materiil yang keberlakuan hukumnya dari bawah ke atas (bottom up). Sumber hukum formal merupakan sumber hukum yang darinya dapat dibentuk hukum secara langsung dan mengikat. Sedangkan sumber hukum materil adalah sumber hukum yang diambil dari kesadaran hukum atau pandangan hidup masyarakat tentang apa itu hukum (Achmad Ali; Menguak Tabir Hukum).
Implikasi dari Pelanggaran Aturan Hukum
Bagaimana kaitan antara hukum dan sanksi? Aliran pemikiran positivisme hukum berpandapat bahwa sanksi tidak dapat dilepaskan dari hukum. Sanksi menurut John Austin merupakan ancaman yang membuat masyarakat taat pada hukum. Berbeda dengan pendahulunya, Hart yang juga positivis mengelompokkan ancaman ke dalam ancaman dalam kerangka hukum dan nonhukum. Ancaman dalam kerangka hukum berupa perintah yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Sementara ancaman dalam kerangka nonhukum tidak ada bedanya dengan ancaman yang dilakukan oleh penodong kepada yang ditodong. Jadi, ancaman hukum dilakukan oleh pihak yang berwenang hingga ancaman itu dicabut. Sementara ancaman nonhukum dapat dilakukan oleh siapa saja, namun yang diancam merasa terpaksa menaati ancaman dan berjangka waktu singkat. Bersebelahan dengan pandangan kaum positivis, Van Adorno mengatakan bahwa sanksi bukanlah hal substansial pada hukum. Karena masyarakat bisa saja patuh pada aturan yang etis meskipun tidak disertai sanksi (Peter Mahmud Marzuki; Pengantar Ilmu Hukum).
Hemat penulis, Adorno mungkin tidak membedakan antara sanksi fisik dan sanksi etis. Setiap hukum pasti mempunyai implikasi berupa sanksi, terlepas apakah sanksi tersebut bersifat fisik atau metafisik seperti sanksi etis atau moral. Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa ontologi atau keberadaan hukum merupakan pembahasan mengenai kapan hukum eksis sebagai suatu ilmu, norma dan aturan.
Selamat belajar hukum!
Sumber : http://ift.tt/1wyJk17
Terciptanya Norma Hukum
Dari dua aliran pemikiran tersebut kemudian melahirkan dua norma yang berbeda pula. Norma etika menertibkan masyarakat dengan mengambil hal-hal yang ideal (filosofis). Norma sosial menertibkan masyarakat dengan berpatokan pada hal-hal yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat (sosiologis). Terciptanya norma hukum merupakan titik kompromi dari dua norma di atas. Norma hukum menempatkan hal-hal ideal sebagai dasar pembentukan hukum, sembari mempertimbangkan kondisi sosiologis masyarakat setempat (Satjipto Rahardjo; Ilmu Hukum).
Hukum Sebagai Suatu Ilmu
Apakah hukum dapat dikategorikan sebagai suatu ilmu? Apakah ilmu hanyalah studi yang dapat diamati secara empiris seperti ilmu alam dan ilmu sosial? Berdasarkan obyek kajiaannya, ilmu dibagi atas ilmu yang melalui pengalaman empiris (a posteriori) dan ilmu yang tanpa melalui pengalaman empiris (apriori), yaitu dengan abstraksi akal (Mundiri; Logika)
Dari klasifikasi ilmu di atas, hukum dapat dikategorikan sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu apriori. Adapun obyek kajian ilmu hukum adalah norma-norma yang membahas tentang apa yang tidak boleh (dilarang) dan apa yang harus (perintah) dilakukan. Norma tersebut berasal dari norma etika dengan pertimbangan kondisi sosiologis dan kemudian turun dalam bentuk aturan, baik tertulis (Undang-Undang) maupun tidak tertulis (hukum kebiasaan).
Karakteristik Ilmu Hukum
Setelah memahami bahwa hukum merupakan bagian dari ilmu, pertanyaannya kemudian apakah definisi dari ilmu hukum tersebut? Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang upaya menerapkan keadilan pada masyarakat melalui norma dan aturan. Mengapa keadilan tersebut diterapkan kepada masyarakat? Karena teori-teori keadilan merupakan obyek kajian filsafat. Keadilan yang dibahas dalam ilmu hukum adalah upaya penerapannya kepada masyarakat. Pertanyaan yang sama juga dapat dijawab dengan adagium hukum yang berbunyi; ubi societas, ibi ius (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum). Jadi, sejak manusia memahami konsep masyarakat, di saat itu pula hukum mulai hadir dan diterapkan. Jawaban yang sama juga dapat menjawab pertanyaan “sejak kapan hukum mulai dikenal oleh manusia?”
Satu-satunya ilmu yang membahas tentang aturan bertindak benar hanyalah ilmu hukum. Itulah mengapa ilmu hukum dikatakan bersifat sui generis atau satu-satunya dalam jenisnya. Tidak ada ilmu lain yang membahas tentang aturan bertindak benar selain ilmu hukum. Ilmu hukum berbeda dengan jenis ilmu abstrak lainnya seperti filsafat yang membahas tentang etika dan keadilan secara teoritis. Ilmu hukum membahas norma dan turunannya, yaitu aturan. Begitupun dengan ilmu abstrak lain seperti logika yang membahas tentang aturan berpikir (bernalar) benar, bukan aturan bertindak benar. Hukum juga tentu berbeda dengan ilmu empiris alamiah seperti kedokteran dan kesehatan masyarakat yang membahas tentang penyakit dan kesehatan. Juga berbeda dengan ilmu empiris sosial seperti sosiologi, antropologi dan psikologi yang membahas tentang perilaku manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, upaya menyamakan ilmu hukum sebagai filsafat yang membahas tentang etika dan keadilan, apalagi menyamakannya dengan ilmu sosial yang membahas tentang perilaku manusia merupakan sebuah miskonsepi. Ilmu hukum berada ditengah-tengah, abstraknya filsafat etika serta keadilan dan empirisnya perilaku manusia serta masyarakat. Ilmu hukum bertugas menjembatani antara ide-ide abstrak dan realitas sosial tanpa berupaya mengempiriskan yang abstrak dan mengabstrakkan yang empiris.
Manifestasi Norma Hukum dalam Aturan Hukum
Norma berisikan apa yang tidak boleh (dilarang) dan apa yang harus (perintah) dilakukan. Norma yang tertanam di akal masing-masing manusia (realitas internal) harus diterapkan pada realitas eksternal untuk menghindari subyektivikasi norma yang bisa saja dilakukan oleh subyek-subyek atau manusia tertentu. Maka, diperlukan aturan sebagai turunan atau manifestasi norma sebagai upaya menampakkan norma. Tidak cukup sampai di situ, perkembangan pemikiran manusia kemudian membagi lagi aturan ke dalam aturan tertulis berupa Undang-Undang dan aturan tidak tertulis berupa hukum kebiasaan.
Perlu dipahami bahwa antara hukum kebiasaan dan kebiasaan tidaklah sama. Hukum kebiasaan adalah kebiasaan yang disepakati melalui aturan tidak tertulis yang berasal dari norma, sementara kebiasaan tidak memerlukan legitimasi norma seperti kebiasaan tidur sambil mendengarkan musik melalui earphone. Selama kebiasaan tersebut tidak berbenturan dengan kepentingan sosial (masyarakat), maka kebiasaan tersebut tidak termasuk hukum kebiasaan. Perbedaan lainnya adalah jika suatu tindakan dibolehkan dalam hukum maka tindakan tersebut harus dilakukan. Sementara jika suatu tindakan dibolehkan namun tidak harus dilakukan maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai kebiasaan. Seperti tidur sambil mendengarkan musik melalui earphone tadi, suatu tindakan yang dibolehkan tapi tidak harus dilakukan, maka tindakan tersebut termasuk kebiasaan. Lain halnya dengan tindakan menyayangi balita yang merupakan tindakan yang dibolehkan dan harus dilakukan, maka tindakan tersebut merupakan hukum kebiasaan.
Norma Hukum dan Norma Lainnya
Manusia adalah makhluk dualistis. Ditinjau dari aspek dimensinya, manusia terbagi ke dalam dimensi batin dan dimensi fisik. Ditinjau dari aspek pola interaksinya, manusia terbagi ke dalam entitas individu dan entitas masyarakat. Norma adalah kaidah bertindak yang berisikan perintah dan larangan. Jika dimensi batin diterapkan pada entitas individu, lahirlah norma agama. Meskipun agama juga berbicara mengenai interaksi sosial (masyarakat), tapi lazimnya agama sering dikaitkan dengan perbaikan individu secara batiniyah. Contoh norma agama adalah perintah shalat dan larangan bunuh diri.
Jika dimensi batin diterapkan pada entitas masyarakat, lahirlah norma etika (kesopanan, kesusilaan). Karakteristik etika memang bersifat dari dalam ke luar dan diterapkan pada kehidupan sosial. Contoh norma etika adalah perintah menghargai orang lain dan larangan berbohong. Jika dimensi fisik diterapkan pada entitas individu, lahirlah kebiasaan. Contoh kebiasaan adalah buang air besar saat mandi pagi (perintah)dan memadamkan lampu kamar pribadi sebelum tidur (larangan). Ketika akumulasi kebiasaan dilakukan oleh suatu masyarakat (kebiasaan kolektif), maka akan melahirkan norma sosial. Sementara yang terakhir, jika dimensi fisik diterapkan pada entitas masyarakat, melahirkan norma hukum. Perintah tertib lalu lintas dan larangan korupsi adalah contoh dari norma hukum. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa norma hukum adalah titik kompromi dari norma etika yang abstrak-batiniyah dan norma sosial yang empiris-fisik.
Letigimator (Pembuat) Hukum
Aliran positivis tentu memandang bahwa hukum hanya dapat eksis jika dilegitimasi oleh pihak yang berkuasa. Seperti yang dikatakan oleh Savigny yang menyatakan bahwa tidak ada hukum tanpa kekuasaan, begitupun sebaliknya. Lain halnya dengan aliran etis yang memandang hukum dapat eksis dan tumbuh dalam kesadaran tiap-tiap individu meski tidak disokong oleh kekuasaan. Aliran positivis kemudian dapat diklasifikasikan sebagai sumber hukum formal yang keberlakuan hukumnya dari atas ke bawah (top down). Sementara aliran etis diklasifikasikan sebagai sumber hukum materiil yang keberlakuan hukumnya dari bawah ke atas (bottom up). Sumber hukum formal merupakan sumber hukum yang darinya dapat dibentuk hukum secara langsung dan mengikat. Sedangkan sumber hukum materil adalah sumber hukum yang diambil dari kesadaran hukum atau pandangan hidup masyarakat tentang apa itu hukum (Achmad Ali; Menguak Tabir Hukum).
Implikasi dari Pelanggaran Aturan Hukum
Bagaimana kaitan antara hukum dan sanksi? Aliran pemikiran positivisme hukum berpandapat bahwa sanksi tidak dapat dilepaskan dari hukum. Sanksi menurut John Austin merupakan ancaman yang membuat masyarakat taat pada hukum. Berbeda dengan pendahulunya, Hart yang juga positivis mengelompokkan ancaman ke dalam ancaman dalam kerangka hukum dan nonhukum. Ancaman dalam kerangka hukum berupa perintah yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Sementara ancaman dalam kerangka nonhukum tidak ada bedanya dengan ancaman yang dilakukan oleh penodong kepada yang ditodong. Jadi, ancaman hukum dilakukan oleh pihak yang berwenang hingga ancaman itu dicabut. Sementara ancaman nonhukum dapat dilakukan oleh siapa saja, namun yang diancam merasa terpaksa menaati ancaman dan berjangka waktu singkat. Bersebelahan dengan pandangan kaum positivis, Van Adorno mengatakan bahwa sanksi bukanlah hal substansial pada hukum. Karena masyarakat bisa saja patuh pada aturan yang etis meskipun tidak disertai sanksi (Peter Mahmud Marzuki; Pengantar Ilmu Hukum).
Hemat penulis, Adorno mungkin tidak membedakan antara sanksi fisik dan sanksi etis. Setiap hukum pasti mempunyai implikasi berupa sanksi, terlepas apakah sanksi tersebut bersifat fisik atau metafisik seperti sanksi etis atau moral. Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa ontologi atau keberadaan hukum merupakan pembahasan mengenai kapan hukum eksis sebagai suatu ilmu, norma dan aturan.
Selamat belajar hukum!
Sumber : http://ift.tt/1wyJk17