Pak Prabowo, Jangan Marah Terus
Prabowo adalah personifikasi Gerindra. Gerindra adalah institusionalisasi Prabowo. Karena itu, marahnya Prabowo adalah marahnya Gerindra, dan sebaliknya.
Marah adalah perilaku manusiawi. Sesuatu yang bisa diperiksa pemicu, motif, dan akibatnya. Sesuatu yang bisa diterangkan dan dipahami secara logis. Untuk kemudian menemukan cara meredam dan menetralkannya.
Demikian juga dengan kemarahan Prabowo yang berkelanjutan. Mulai dari menarik diri dari proses rekapitulasi Pilpres 2014 di KPU, lalu membawa perkara perselisihan Pilpres ke KPU dan Bawaslu serta DKPP. Kemudian menggolkan UU MD3 dan UU Pilkada oleh DPRD, dan menyapu bersih posisi unsur pimpinan di DPR dan MPR. Terakhir, sedang berancang-ancang menjegal Perpu pembatalan UU Pilkada, yang baru dikeluarkan Presiden SBY. Ditambah ancaman Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Pembina Gerindra, mengganggu pemerintahan Jokowi-JK. Semua itu bisa diterangkan secara logis.
Untuk menerangkan itu, kita bisa meminjam teori perlawanan sosial dari James Scott, seperti didemonstasikannya dalam buku Weapons of the Weak (Senjata Si Lemah). Kata Scott, pada intinya, si lemah marah bukan karena terlalu banyak yang diambil dari mereka, tetapi karena terlalu sedikit yang tersisa bagi mereka.
Persis, itulah yang terjadi pada Prabowo atau Gerindra. Dibanding partai lain, terutama Golkar, PDI-P, dan PPP, jelas Gerindra tergolong partai “miskin”, Si Lemah. Ia partai baru yang masih tergolong “miskin” dalam hal sumberdaya, khususnya sumberdaya finansil. Beda, misalnya dengan Golkar dan PDI-P, yang memiliki sumberdaya finansil kuat, karena didukung jaringan kekuatan ekonomi yang kuat dan luas.
Sedangkan Gerindra, kelihatannya menggantungkan diri terutama pada sumberdaya finansil milik keluarga besar Prabowo. Kemarahan Hashim pada Jokowi, yang menyebut “Jokowi pengkhianat, dan harus membayar untuk itu”, jelas berpangkal pada biaya mahabesar yang telah dikeluarkan Hashim, dan hilangnya harapan untuk sekadar “balikali-modal”, mengingat Jokowi sudah menjadi presiden terpilih dari kubu KIH di seberang.
Balik-modal? Apakah politik sudah menjadi bisnis? Ya, sejujurnya harus diakui, politik adalah bisnis, komoditasnya adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan, politisi bisa menghasilkan uang. Ini gejala umum, berlaku baik untuk politisi KMP maupun KIH.
Pendek kata, Pilpres 2014 agaknya telah menguras terlalu banyak sumberdaya finansil Gerindra, sehingga akhirnya yang tersisa tidak mencukupi lagi bahkan untuk sekadar survival, atau hidup subsisten, atau sekadar “cukup makan”. Ya, “cukup makan” menurut ukuran mereka, tentu saja. (Gak mungkin ukuran si Marhaen, si petani kecil mardijker di tatar Priangan sana).
Yang tersisa tidak mencukupi lagi, sementara peluang untuk balik-modal sudah tertutup.” Itulah yang memicu perlawanan dari Prabowo atau Gerindra, mulai dari pengajuan perkara ke MK sampai tekad Hashim mengganggu pemerintahan Jokowi-JK (walau kemudian ini sudah dibantahnya sendiri).
Baiklah, tidak menjadi penguasa di eksekutif, maka harus jadi penguasa di legislatif. Itu bentuk perlawanan paling masif dari Prabowo dan, memang, Prabowo berhasil menjadi “presiden” di linngkungan parlemen atau legislatif. Dan sejauh tidak dilandasi oleh semangat perlawanan, atau kemarahan kepada Jokowi, sebenarnya hal itu baik saja. Kondisi itu membuat jarang tegas antara “legislatif” dan “eksekutif”, sehingga kerja pengawasan pemerintah dapat berjalan efektif.
Tapi, kalau itu dilandasi oleh semangat perlawanan atau kemarahan, maka tindakan “Presiden” Prabowo lewat legislatif dapat menjadi bumerang yang berbalik menebas. Jangan lupa, dengan semangat perlawanan itu, Gerindra sudah memimpin perampokan harta terakhir rakyat, yaitu “suara” atau “hak pilih”, dengan pengesahan UU Pilkada 2014. Maka, situasinya kini, tidak ada lagi hak yang tersisa pada rakyat, sehingga rakyat juga melawan, marah, dan sasarannya adalah Prabowo atau Gerindra.
Di titik ini, tampak Prabowo atau Gerinda, tak memiliki empati yang memadai. Tahu sakitnya “dirampas” habis-habisan oleh proses Pilpres 2014, tapi tak mau tahu betapa sakitnya rakyat ketika hak suara mereka dirampas habis oleh DPR. Jadi, jangan salahkan rakyat, kalau kelak menghukum Gerindra untuk semua masalah yang terjadi, dengan cara menjauhi Gerindra pada Pemilu 2019.
Jadi, Pak Prabowo, berhentilah untuk marah. Jangan pernah berpikir untuk menjegal pemerintahan atau program-program pembangunan pemerintahan Jokowi-JK. Rakyat sudah tak punya apa-apa lagi, bahkan tidak juga suara. Harapan rakyat satu-satunya sekarang adalah program-program pro-rakyat dari Jokowi-JK. Jadi, kalau Gerindra masih berancang-ancang menjegal program-program itu, maka kemarahan berlipat-ganda akan ditumpahkan lagi pada Pak Prabowo.
Sebenarnya, saya memiliki keyakinan, dalam sanubarinya, Prabowo adalah seorang pro-rakyat. Seorang prajurit sejati, maka sejatinya adalah pro-rakyat, nasionalis tulen. Tapi, terhadap orang-orang yang berada dalam radius lima meter di sekeliling Prabowo, terus terang, saya agak ragu.
Bagaimanapun, rakyat mengharapkan sebuah pemandangan maha-elok di Gedung Parlemen Senayan pada Senin, 20 Oktober 2014. Sebuah pemandangan yang menyajikan Prabowo berdampingan dan berjabat erat dengan Jokowi-JK, SBY, dan Megawati, dengan tawa merdeka dan senyum tulus. Sehingga, seorang penyair amatir dapat berpuisi, “… pada akhirnya adalah sebuah keindahan.” (*)
Sumber : http://ift.tt/11pG0Mc
Marah adalah perilaku manusiawi. Sesuatu yang bisa diperiksa pemicu, motif, dan akibatnya. Sesuatu yang bisa diterangkan dan dipahami secara logis. Untuk kemudian menemukan cara meredam dan menetralkannya.
Demikian juga dengan kemarahan Prabowo yang berkelanjutan. Mulai dari menarik diri dari proses rekapitulasi Pilpres 2014 di KPU, lalu membawa perkara perselisihan Pilpres ke KPU dan Bawaslu serta DKPP. Kemudian menggolkan UU MD3 dan UU Pilkada oleh DPRD, dan menyapu bersih posisi unsur pimpinan di DPR dan MPR. Terakhir, sedang berancang-ancang menjegal Perpu pembatalan UU Pilkada, yang baru dikeluarkan Presiden SBY. Ditambah ancaman Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Pembina Gerindra, mengganggu pemerintahan Jokowi-JK. Semua itu bisa diterangkan secara logis.
Untuk menerangkan itu, kita bisa meminjam teori perlawanan sosial dari James Scott, seperti didemonstasikannya dalam buku Weapons of the Weak (Senjata Si Lemah). Kata Scott, pada intinya, si lemah marah bukan karena terlalu banyak yang diambil dari mereka, tetapi karena terlalu sedikit yang tersisa bagi mereka.
Persis, itulah yang terjadi pada Prabowo atau Gerindra. Dibanding partai lain, terutama Golkar, PDI-P, dan PPP, jelas Gerindra tergolong partai “miskin”, Si Lemah. Ia partai baru yang masih tergolong “miskin” dalam hal sumberdaya, khususnya sumberdaya finansil. Beda, misalnya dengan Golkar dan PDI-P, yang memiliki sumberdaya finansil kuat, karena didukung jaringan kekuatan ekonomi yang kuat dan luas.
Sedangkan Gerindra, kelihatannya menggantungkan diri terutama pada sumberdaya finansil milik keluarga besar Prabowo. Kemarahan Hashim pada Jokowi, yang menyebut “Jokowi pengkhianat, dan harus membayar untuk itu”, jelas berpangkal pada biaya mahabesar yang telah dikeluarkan Hashim, dan hilangnya harapan untuk sekadar “balikali-modal”, mengingat Jokowi sudah menjadi presiden terpilih dari kubu KIH di seberang.
Balik-modal? Apakah politik sudah menjadi bisnis? Ya, sejujurnya harus diakui, politik adalah bisnis, komoditasnya adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan, politisi bisa menghasilkan uang. Ini gejala umum, berlaku baik untuk politisi KMP maupun KIH.
Pendek kata, Pilpres 2014 agaknya telah menguras terlalu banyak sumberdaya finansil Gerindra, sehingga akhirnya yang tersisa tidak mencukupi lagi bahkan untuk sekadar survival, atau hidup subsisten, atau sekadar “cukup makan”. Ya, “cukup makan” menurut ukuran mereka, tentu saja. (Gak mungkin ukuran si Marhaen, si petani kecil mardijker di tatar Priangan sana).
Yang tersisa tidak mencukupi lagi, sementara peluang untuk balik-modal sudah tertutup.” Itulah yang memicu perlawanan dari Prabowo atau Gerindra, mulai dari pengajuan perkara ke MK sampai tekad Hashim mengganggu pemerintahan Jokowi-JK (walau kemudian ini sudah dibantahnya sendiri).
Baiklah, tidak menjadi penguasa di eksekutif, maka harus jadi penguasa di legislatif. Itu bentuk perlawanan paling masif dari Prabowo dan, memang, Prabowo berhasil menjadi “presiden” di linngkungan parlemen atau legislatif. Dan sejauh tidak dilandasi oleh semangat perlawanan, atau kemarahan kepada Jokowi, sebenarnya hal itu baik saja. Kondisi itu membuat jarang tegas antara “legislatif” dan “eksekutif”, sehingga kerja pengawasan pemerintah dapat berjalan efektif.
Tapi, kalau itu dilandasi oleh semangat perlawanan atau kemarahan, maka tindakan “Presiden” Prabowo lewat legislatif dapat menjadi bumerang yang berbalik menebas. Jangan lupa, dengan semangat perlawanan itu, Gerindra sudah memimpin perampokan harta terakhir rakyat, yaitu “suara” atau “hak pilih”, dengan pengesahan UU Pilkada 2014. Maka, situasinya kini, tidak ada lagi hak yang tersisa pada rakyat, sehingga rakyat juga melawan, marah, dan sasarannya adalah Prabowo atau Gerindra.
Di titik ini, tampak Prabowo atau Gerinda, tak memiliki empati yang memadai. Tahu sakitnya “dirampas” habis-habisan oleh proses Pilpres 2014, tapi tak mau tahu betapa sakitnya rakyat ketika hak suara mereka dirampas habis oleh DPR. Jadi, jangan salahkan rakyat, kalau kelak menghukum Gerindra untuk semua masalah yang terjadi, dengan cara menjauhi Gerindra pada Pemilu 2019.
Jadi, Pak Prabowo, berhentilah untuk marah. Jangan pernah berpikir untuk menjegal pemerintahan atau program-program pembangunan pemerintahan Jokowi-JK. Rakyat sudah tak punya apa-apa lagi, bahkan tidak juga suara. Harapan rakyat satu-satunya sekarang adalah program-program pro-rakyat dari Jokowi-JK. Jadi, kalau Gerindra masih berancang-ancang menjegal program-program itu, maka kemarahan berlipat-ganda akan ditumpahkan lagi pada Pak Prabowo.
Sebenarnya, saya memiliki keyakinan, dalam sanubarinya, Prabowo adalah seorang pro-rakyat. Seorang prajurit sejati, maka sejatinya adalah pro-rakyat, nasionalis tulen. Tapi, terhadap orang-orang yang berada dalam radius lima meter di sekeliling Prabowo, terus terang, saya agak ragu.
Bagaimanapun, rakyat mengharapkan sebuah pemandangan maha-elok di Gedung Parlemen Senayan pada Senin, 20 Oktober 2014. Sebuah pemandangan yang menyajikan Prabowo berdampingan dan berjabat erat dengan Jokowi-JK, SBY, dan Megawati, dengan tawa merdeka dan senyum tulus. Sehingga, seorang penyair amatir dapat berpuisi, “… pada akhirnya adalah sebuah keindahan.” (*)
Sumber : http://ift.tt/11pG0Mc