Suara Warga

Hakim Muda yang Memberikan Harapan

Artikel terkait : Hakim Muda yang Memberikan Harapan

SAYA PUNYA kesan tersendiri terhadap hakim-hakim muda yang biasa menangani perkara yang kebetulan juga saya tangani. Umumnya, mereka terlihat cerdas, mampu menjaga imparsialitas bahkan hingga ke gestur, dan bersih dari sekedar “isyarat” memeras atau meminta imbalan. Dari sini terbersit optimisme bahwa masa depan penegakan hukum di pengadilan bakalan cerah di tangan orang-orang muda bervisi segar.

Sebut saja AA, seorang hakim muda di sebuah pengadilan negeri. Suatu hari saat ada jadwal sidang kebetulan ruangan yang ada terpakai untuk pelantikan hakim baru dan selebihnya sedang direhab. Ia berinisiatif mencari ruangan pengganti, ketemulah ruang tamu kecil di kantor panitera, sebuah rumah sebagai kantor darurat berjarak beberapa meter dari gedung pengadilan.

Dari hal-hal kecil tapi prinsip diperhatikannya. Bendera pengadilan dan bendera merah putih yang telah terpasang di tiang kayu, nampak cukup berat, diboyong ke ruang sidang darurat. Staf yang menggotong-gotong tiang bendera nampak kepayahan dan menggerutu. Kedua tiang bendera itu ditarok berjejal-jejal di ruang tamu kecil berukuran tak lebih tiga kali empat meter.

Panitera pengganti nyeletuk. “Sebenarnya yang penting para pihak sepakat,” katanya. Maksudnya, sidang tanpa bendera pengadilan dan bendera merah putih pun tak jadi masalah jika para pihak sepakat untuk itu.

Namun, bagi hakim AA, yang bertindak sebagai hakim ketua, tidak ada toleransi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terlihat “kecil” tapi bisa jadi masalah jika ada yang mempersoalkannya. Bagi saya, ini terlihat sangat prinsip. Pelanggaran-pelanggaran besar seperti korupsi dimulai dari sikap permisif terhadap pelanggaran-pelanggaran “kecil”.

Pada momen sidang lainnya, giliran panitera pengganti yang menyarankan saya ketemu langsung hakimnya, tentu dengan ditemani oleh dirinya, untuk menyampaikan usulan sidang dimajukan waktunya dari jadwal biasa berhubung ada acara berdempet pada jadwal sidang biasa tsb. Hebatnya, sekalipun ditemani panitera, hakim AA tetap tak mau ditemui di ruangan hakim. Diajaknya saya ketemuan di luar ruangan saja untuk menghindari fitnah.

Di lain pengadilan dan lain peristiwa, biasa ditemui hakim muda yang sedikitpun tidak terlihat apa yang akan diputuskannya hingga putusan dibacakan, bahkan gestur pun tak terlihat menunjukkan apakah terdakwa bakal divonis bebas atau divonis penjara. Luar biasanya, di saat sidang vonis, namun sebelum putusan dibacakan, tetap tak terlihat kalimat atau gestur yang menunjukkan apakah terdakwa bersalah atau tidak.

Hakim muda itu masih sempat mengucapkan selamat ulang tahun pada terdakwa; sebelum vonis dibacakan si hakim muda juga masih sempat mengutarakan apa hak-hak terdakwa dan jaksa penuntut umum andai terdakwa divonis bebas atau sebaliknya dipidana. Sedikitpun tak terlihat isyarat bahwa kemudian terdakwa divonis sekian tahun.

Contoh-contoh peristiwa “kecil” di atas adalah hal lumrah jika berurusan dengan hakim-hakim muda. Mereka nampak menjaga betul hukum acara, norma persidangan, dan etika pergaulan antar penegak hukum. Ya bisa dimaklumi, memang demikian seharusnya, selain bahwa karir mereka juga masih panjang untuk dipertaruhkan.

Disebutnya “hakim muda” dalam tulisan ini bukan berarti “hakim tua” tidak baik. Namun pengalaman saya di lapangan, pelanggaran-pelanggaran etika dan norma persidangan “yang nampak kecil tapi prinsip” justru ditemui ada dilakukan oleh hakim yang telah cukup senior. Pernah oleh ketua dan wakil ketua pengadilan. Hal mana kebetulan tidak/belum pernah saya temui pada hakim muda.

Ambil contoh, ada hakim nyeletuk memberi opini yang bertendensi terdakwa telah bersalah: “Loh, itu tidak boleh ‘kan?!” katanya dengan keras nyaris membentak pada terdakwa. Mestinya, hakim memberikan pendapat soal bersalah atau tidaknya terdakwa di forum pembacaan putusan, bukan di luar itu.

“Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa,” tegas Pasal 158 KUHAP.

Ada lagi kejadian seorang “ajudan” seorang hakim senior (sopirnya) memberi “isyarat” minta uang sebelum putusan dibacakan. Di peristiwa begini dapat diasumsikan bahwa si “ajudan” merupakan perpanjangan tangan dari si bos (hakim). Agak sulit dipahami “ajudan” berani-beraninya bermain api berbahaya demikian tanpa sepengetahuan atau persetujuan si bos.

Terakhir tapi tak boleh dilupakan, bahwa sekalipun kepercayaan publik pada lembaga hukum masih rendah, namun ada secercah harapan bahwa masa depan benteng terakhir keadilan (pengadilan) tetap terjaga di tangan aparatur hukum si orang-orang muda. Selebihnya terbangun dari profesionalitas dan visi antikorupsi dari aparatur hukum lainnya: polisi, jaksa dan advokat/pengacara.

(Sutomo Paguci)




Sumber : http://ift.tt/1qzCxk5

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz