Ada apa dibalik Nomenclature?
Saya akan sedikit memberikan pandangan terkait nomenclature yang dilakukan oleh Pak Jokowi.
Nomenclature yang dimaksud disini adalah istilah untuk penamaan maupun perubahan struktur kementerian akibat penggabungan atau pemisahan.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa melalui Surat nomor 24/Pres/10/2014 tertanggal 21 Oktober 2014, Jokowi menyampaikan perubahan nomenklatur kepada pimpinan DPR dengan perubahan :
1. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dilebur menjadi dua kementerian. Yakni Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
2. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat diubah menjadi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan.
3. Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat digabung menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset dan Teknologi dilebur menjadi dua kementerian. Pertama, Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Kedua, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Pertama, saya mempertanyakan alasan mendasar apa yang kemudian dijadikan pertimbangan untuk dilakukannya nomenclature. Pasalnya, penggantian ini terkesan mendadak. Kita tentu masih ingat bahwa Pak Jokowi telah membentuk tim transisi yang tupoksinya adalah menyusun program-program guna penjabaran visi nawacita. Seharusnya, penamaan dan struktur kementerian sudah dapat ditetapkan dari hasil kerja tim transisi.
Tapi belakangan santar beredar kabar, bahwa nomenclature terjadi akibat hasil penelusuran KPK dan PPATK atas pengajuan nama-nama calon menteri. Jika memang benar demikian, hal ini bukan merupakan sinyal positif dan akan membentuk sebuah paradigma besar bahwa memang terjadi tarik ulur kepentingan (transaksional) dalam menentukan kabinet karena disusun berdasarkan ada atau tidaknya orang yang mengisi kementerian tersebut. Bukan berdasarkan penjabaran visi nawacita yang berbasis kepada rakyat.
Kedua, adalah kebijakan Pak Jokowi untuk meminta pertimbangan ke DPR RI terkait perubahan nomenclature. Memang dalam UU No. 39 Tahun 2008 Pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa
“Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Akan tetapi jika merujuk pada UUD 1945 pasal 17 disebutkan bahwa pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Sehingga, saya sependapat dengan Prof Yusril Ihza Mahendra, bahwa Pasal 19 UU No. 39 Tahun 2008 itu sejatinya berlaku ketika terjadi perubahan nomenclature ditengah berjalannya kepemerintahan karena akan terkait dengan perubahan komisi dan anggaran. Apalagi badan musyarawah (BAMUS) DPR juga belum terbentuk hingga saat ini.
Dalam hal ini, secara politik saya mendapati ada 2 hal yang menjadi pendasaran pengambilan kebijakan tersebut. yakni :
1. Bahwa Pak Jokowi ingin memanfaatkan hal ini untuk memperbaiki komunikasi politik dengan parlemen. Jika berkaca pada sejarah, munculnya pasal 19 UU No. 39 Tahun 2008 tersebut salah satunya disebabkan oleh kontroversi penghapusan Menteri Penerangan secara sepihak oleh Gus Dur yang menyebabkan terjadinya konflik antara eksekutif dan legislatif saat itu. Mungkin melalui sejarah itulah Pak Jokowi sangat berhati-hati untuk menjaga hubungan baik antara legislatif dan eksekutif.
2. Bahwa Pak Jokowi ingin memanfaatkan ayat selanjutnya di pasal yang sama yakni ayat 2 yang berbunyi : “Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat Presiden diterima.” untuk menarik DPR agar terlibat secara politik dalam pembentukan kabinet tersebut. Salah satu keuntungannya adalah memperkuat alasan untuk pemoloran waktu pengumuman kabinet. Walaupun di Pasal 16 di UU yang sama sudah diberikan jatah waktu maksimal pengumuman kabinet, 14 hari semenjak dilantik sebagai Presiden.
Spekulasi dan analisa-analisa seperti ini pada dasarnya sah-sah saja. Tentu akan semakin berkembang jika Pak Jokowi tidak segera mengumumkan nama-nama yang akan tergabung di Kabinet Trisakti.
Masih menarik untuk kita nantikan. Semoga nama-nama menteri yang muncul dapat memuaskan ekspektasi publik dan memang sesuai dengan janji-janji beliau ketika kampanye.
Yoga Widhia Pradhana
Pengamat Kebijakan Publik
@yogawpradhana
Nomenclature yang dimaksud disini adalah istilah untuk penamaan maupun perubahan struktur kementerian akibat penggabungan atau pemisahan.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa melalui Surat nomor 24/Pres/10/2014 tertanggal 21 Oktober 2014, Jokowi menyampaikan perubahan nomenklatur kepada pimpinan DPR dengan perubahan :
1. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dilebur menjadi dua kementerian. Yakni Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
2. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat diubah menjadi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan.
3. Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat digabung menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset dan Teknologi dilebur menjadi dua kementerian. Pertama, Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Kedua, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Pertama, saya mempertanyakan alasan mendasar apa yang kemudian dijadikan pertimbangan untuk dilakukannya nomenclature. Pasalnya, penggantian ini terkesan mendadak. Kita tentu masih ingat bahwa Pak Jokowi telah membentuk tim transisi yang tupoksinya adalah menyusun program-program guna penjabaran visi nawacita. Seharusnya, penamaan dan struktur kementerian sudah dapat ditetapkan dari hasil kerja tim transisi.
Tapi belakangan santar beredar kabar, bahwa nomenclature terjadi akibat hasil penelusuran KPK dan PPATK atas pengajuan nama-nama calon menteri. Jika memang benar demikian, hal ini bukan merupakan sinyal positif dan akan membentuk sebuah paradigma besar bahwa memang terjadi tarik ulur kepentingan (transaksional) dalam menentukan kabinet karena disusun berdasarkan ada atau tidaknya orang yang mengisi kementerian tersebut. Bukan berdasarkan penjabaran visi nawacita yang berbasis kepada rakyat.
Kedua, adalah kebijakan Pak Jokowi untuk meminta pertimbangan ke DPR RI terkait perubahan nomenclature. Memang dalam UU No. 39 Tahun 2008 Pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa
“Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Akan tetapi jika merujuk pada UUD 1945 pasal 17 disebutkan bahwa pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Sehingga, saya sependapat dengan Prof Yusril Ihza Mahendra, bahwa Pasal 19 UU No. 39 Tahun 2008 itu sejatinya berlaku ketika terjadi perubahan nomenclature ditengah berjalannya kepemerintahan karena akan terkait dengan perubahan komisi dan anggaran. Apalagi badan musyarawah (BAMUS) DPR juga belum terbentuk hingga saat ini.
Dalam hal ini, secara politik saya mendapati ada 2 hal yang menjadi pendasaran pengambilan kebijakan tersebut. yakni :
1. Bahwa Pak Jokowi ingin memanfaatkan hal ini untuk memperbaiki komunikasi politik dengan parlemen. Jika berkaca pada sejarah, munculnya pasal 19 UU No. 39 Tahun 2008 tersebut salah satunya disebabkan oleh kontroversi penghapusan Menteri Penerangan secara sepihak oleh Gus Dur yang menyebabkan terjadinya konflik antara eksekutif dan legislatif saat itu. Mungkin melalui sejarah itulah Pak Jokowi sangat berhati-hati untuk menjaga hubungan baik antara legislatif dan eksekutif.
2. Bahwa Pak Jokowi ingin memanfaatkan ayat selanjutnya di pasal yang sama yakni ayat 2 yang berbunyi : “Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat Presiden diterima.” untuk menarik DPR agar terlibat secara politik dalam pembentukan kabinet tersebut. Salah satu keuntungannya adalah memperkuat alasan untuk pemoloran waktu pengumuman kabinet. Walaupun di Pasal 16 di UU yang sama sudah diberikan jatah waktu maksimal pengumuman kabinet, 14 hari semenjak dilantik sebagai Presiden.
Spekulasi dan analisa-analisa seperti ini pada dasarnya sah-sah saja. Tentu akan semakin berkembang jika Pak Jokowi tidak segera mengumumkan nama-nama yang akan tergabung di Kabinet Trisakti.
Masih menarik untuk kita nantikan. Semoga nama-nama menteri yang muncul dapat memuaskan ekspektasi publik dan memang sesuai dengan janji-janji beliau ketika kampanye.
Yoga Widhia Pradhana
Pengamat Kebijakan Publik
@yogawpradhana
Sumber : http://ift.tt/1FLAwLF