Jokowi, Esuk Dele Sore Tempe
Kalau melihat televisi dan koran, iring-iringan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melintasi Bunderan HI dengan naik kereta berkuda, terlihat begitu sangat meriahnya. Ribuan orang memadati jalan utama di Jakarta itu untuk menyambut, melambai-lambaikan tangan, dan mengelu-elukan pemimpin baru.
Pada hari itu, 20 Oktober 2014, selepas pengucapan sumpah menjadi presiden dan wakil presiden di depan anggota MPR, Jokowi dan Jusuf Kalla, melakukan karnaval. Karnaval dilakukan sejak pagi dengan berbagai atraksi bahkan makan dan minum gratis. Tradisi yang demikian bisa jadi merupakan pertama kalinya dalam pergantian presiden dan wakil presiden. Presiden-presiden sebelumnya, biasanya selepas pengucapan sumpah di depan anggota MPR, ya sudah mereka langsung melakukan aktivitas selanjutnya.
Acara yang demikian bisa jadi tidak akan terwujud bila bukan Jokowi presidennya. Jokowi mempunyai kebiasaan untuk memeriahkan sebuah acara, biasa melakukan karnaval atau acara yang serupa. Lihat saja saat selepas pengucapan sumpah sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi juga tampil di depan masyarakat yang dibumbui dengan berbagai macam atraksi.
Kegiatan yang demikian tentu sangat bagus, di mana masyarakat bisa melihat secara langsung dan merasa dekat pemimpin barunya. Rakyat diberi kesempatan untuk melihat pemimpinnya yang biasanya hanya melihat di televisi atau media massa.
Kebiasaan mengiring pemimpin baru dengan menaiki kereta kuda dan diiringi oleh kavaleri kuda adalah kebiasaan yang sudah dilakukan oleh kaum darah biru di kerajaan-kerajaan di Eropa, seperti Inggris, Monaco, Spanyol, Belgia, Denmark, sejak ratusan tahun yang lalu. Hal demikian juga dilakukan oleh Kasultanan Jogjakarta dan Surakarta. Mereka melakukan karnaval yang demikian biasanya pada pernikahan pangeran atau puteri, menyambut kelahiran putra mahkota, ulang tahun ratu atau raja, dan saat pergantian ratu atau raja. Apiknya acara itu seperti terlihaat saat pernikahan pangeran-pangeran Kerajaan Inggris atau bisa dilihat dalam film-film kartun garapan Walt Disney.
Lalu mengapa Jokowi meniru acara yang sebenarnya tidak ada dalam aturan rumah tangga kepresidenan atau tata tertib MPR? Apakah ia merasa menjadi raja sehingga melakukan hal yang demikian? Mengapa untuk merasa dekat dengan rakyat, ia tidak naik sepeda saja dari Gedung MPR hingga Istana Negara, kan nilainya sama dengan saat dirinya naik kereta berkuda.
Untuk melakukan karnaval dengan iring-iringan kereta berkuda tentu bukan acara yang gratis dan tanpa persiapan. Pastinya untuk melaksanakan acara itu, aparat, seksi konsumsi, seksi rias, seksi dokumentasi, dan berbagai seksi-seksi lainnya sibuk mempersiapkan diri agar acara bisa berlangsung dengan sukses, meriah, aman, dan lancar. Pengalihan arus lalu lintas pun diskenario agar pengguna jalan tidak mengganggu karnaval.
Untuk melakukan persiapan yang demikian tentu juga membutuhkan biaya. Biaya itu untuk menyewa kuda, memberi makan kuda, memberi amplop kusir kereta, memberi amplop aparat yang bertugas, membeli alat rias, membeli baju karnaval, bahkan untuk memberi makan gratis kepada masyarakat yang ikut memeriahkan, meski hanya semangkok bakso atau sebungkus nasi. Bayangkan berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk acara karnaval Jokowi pada 20 Oktober itu?
Acara yang demikian bila sekali dilakukan mungkin kita semua memaklumi dan menganggap wajar, sebab yang demikian merupakan acara syukuran di mana seluruh rakyat berhak menikmati. Namun menjadi masalah bila setiap moment harus dirayakan secara demikian, berapa biaya yang harus dikeluarkan dan berapa lama acara harus dipersiapkan hingga Hari-H, belum lagi kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat akibat jalan ditutup dan kemacetan jalan yang berada di sekitar route karnaval.
Republik ini sepertinya akan menjadi republik karnaval selama Jokowi masih menyukai kebiasaannya itu. Karnaval sepanjang siang hari itu dirasa tidak cukup sehingga malam harinya mereka masih mengadakan acara serupa, seperti pentas seni, menyalakan kembang api, dan melepas lampion.
Bila semua acara dikemas seperti itu, karnaval, lalu mengapa Jokowi kaget ketika melihat anggaran rapat kementerian di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp18 triliun? Merasa eman-eman dana sebesar itu hanya untuk rapat maka ia berjanji akan memotong anggaran rapat itu dan akan meminta menterinya mengoptimalkan fasilitas yang ada di kantor.
Namun sepertinya Jokowi hanya membual saja. Lihat saja ia merencanakan pengumuman menteri di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Mengumumkan di tempat itu bisa jadi untuk menunjukan keseriusannya dalam menggagas Indonesia sebagai poros maritim. Anggaran untuk acara itu disebut antara Rp200 juta hingga Rp700 juta. Ketika tempat acara sudah jadi, biaya sudah dikeluarkan, semua panitia sudah siap termasuk polisi dan tentara, namun anehnya acara tidak jadi alias batal. Mubazir kan? Uang sebanyak itu kalau buat rakyat sangat berfaedah sekali.
Sekarang susunan kabinet menteri Jokowi hendak diumumkan dan pastinya Jokowi maunya yang karnaval-karnaval. Sehingga pastinya pengumuman para menteri akan dilangsungkan di sebuah tempat, entah Pelabuhan Tanjung Priok lagi, bisa di Pasar Tanah Abang atau di tempat lain yang membutuhkan biaya tak sedikit.
Dengan demikian anggaran yang dikritik semasa Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp18 triliun, di masa Jokowi bukan dipangkas malah bisa membengkak. Membengkak karena Jokowi ternyata suka ceremonial dan karnaval. Di sini Jokowi seperti esuk dele sore tempe alias mencla-mencle. Di masa sebelum jadi presiden ia ingin mengirit anggaran namun ketika menjadi presiden malah menghambur-hamburkan anggaran.
Mengapa pelantikan presiden tidak di Istana Negara atau di kantor-kantor yang ruangannya dirasa memadai? Bukankah mengoptimalkan ruangan kantor anjuran Jokowi sendiri.
Sumber : http://ift.tt/1uNinEx
Pada hari itu, 20 Oktober 2014, selepas pengucapan sumpah menjadi presiden dan wakil presiden di depan anggota MPR, Jokowi dan Jusuf Kalla, melakukan karnaval. Karnaval dilakukan sejak pagi dengan berbagai atraksi bahkan makan dan minum gratis. Tradisi yang demikian bisa jadi merupakan pertama kalinya dalam pergantian presiden dan wakil presiden. Presiden-presiden sebelumnya, biasanya selepas pengucapan sumpah di depan anggota MPR, ya sudah mereka langsung melakukan aktivitas selanjutnya.
Acara yang demikian bisa jadi tidak akan terwujud bila bukan Jokowi presidennya. Jokowi mempunyai kebiasaan untuk memeriahkan sebuah acara, biasa melakukan karnaval atau acara yang serupa. Lihat saja saat selepas pengucapan sumpah sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi juga tampil di depan masyarakat yang dibumbui dengan berbagai macam atraksi.
Kegiatan yang demikian tentu sangat bagus, di mana masyarakat bisa melihat secara langsung dan merasa dekat pemimpin barunya. Rakyat diberi kesempatan untuk melihat pemimpinnya yang biasanya hanya melihat di televisi atau media massa.
Kebiasaan mengiring pemimpin baru dengan menaiki kereta kuda dan diiringi oleh kavaleri kuda adalah kebiasaan yang sudah dilakukan oleh kaum darah biru di kerajaan-kerajaan di Eropa, seperti Inggris, Monaco, Spanyol, Belgia, Denmark, sejak ratusan tahun yang lalu. Hal demikian juga dilakukan oleh Kasultanan Jogjakarta dan Surakarta. Mereka melakukan karnaval yang demikian biasanya pada pernikahan pangeran atau puteri, menyambut kelahiran putra mahkota, ulang tahun ratu atau raja, dan saat pergantian ratu atau raja. Apiknya acara itu seperti terlihaat saat pernikahan pangeran-pangeran Kerajaan Inggris atau bisa dilihat dalam film-film kartun garapan Walt Disney.
Lalu mengapa Jokowi meniru acara yang sebenarnya tidak ada dalam aturan rumah tangga kepresidenan atau tata tertib MPR? Apakah ia merasa menjadi raja sehingga melakukan hal yang demikian? Mengapa untuk merasa dekat dengan rakyat, ia tidak naik sepeda saja dari Gedung MPR hingga Istana Negara, kan nilainya sama dengan saat dirinya naik kereta berkuda.
Untuk melakukan karnaval dengan iring-iringan kereta berkuda tentu bukan acara yang gratis dan tanpa persiapan. Pastinya untuk melaksanakan acara itu, aparat, seksi konsumsi, seksi rias, seksi dokumentasi, dan berbagai seksi-seksi lainnya sibuk mempersiapkan diri agar acara bisa berlangsung dengan sukses, meriah, aman, dan lancar. Pengalihan arus lalu lintas pun diskenario agar pengguna jalan tidak mengganggu karnaval.
Untuk melakukan persiapan yang demikian tentu juga membutuhkan biaya. Biaya itu untuk menyewa kuda, memberi makan kuda, memberi amplop kusir kereta, memberi amplop aparat yang bertugas, membeli alat rias, membeli baju karnaval, bahkan untuk memberi makan gratis kepada masyarakat yang ikut memeriahkan, meski hanya semangkok bakso atau sebungkus nasi. Bayangkan berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk acara karnaval Jokowi pada 20 Oktober itu?
Acara yang demikian bila sekali dilakukan mungkin kita semua memaklumi dan menganggap wajar, sebab yang demikian merupakan acara syukuran di mana seluruh rakyat berhak menikmati. Namun menjadi masalah bila setiap moment harus dirayakan secara demikian, berapa biaya yang harus dikeluarkan dan berapa lama acara harus dipersiapkan hingga Hari-H, belum lagi kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat akibat jalan ditutup dan kemacetan jalan yang berada di sekitar route karnaval.
Republik ini sepertinya akan menjadi republik karnaval selama Jokowi masih menyukai kebiasaannya itu. Karnaval sepanjang siang hari itu dirasa tidak cukup sehingga malam harinya mereka masih mengadakan acara serupa, seperti pentas seni, menyalakan kembang api, dan melepas lampion.
Bila semua acara dikemas seperti itu, karnaval, lalu mengapa Jokowi kaget ketika melihat anggaran rapat kementerian di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp18 triliun? Merasa eman-eman dana sebesar itu hanya untuk rapat maka ia berjanji akan memotong anggaran rapat itu dan akan meminta menterinya mengoptimalkan fasilitas yang ada di kantor.
Namun sepertinya Jokowi hanya membual saja. Lihat saja ia merencanakan pengumuman menteri di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Mengumumkan di tempat itu bisa jadi untuk menunjukan keseriusannya dalam menggagas Indonesia sebagai poros maritim. Anggaran untuk acara itu disebut antara Rp200 juta hingga Rp700 juta. Ketika tempat acara sudah jadi, biaya sudah dikeluarkan, semua panitia sudah siap termasuk polisi dan tentara, namun anehnya acara tidak jadi alias batal. Mubazir kan? Uang sebanyak itu kalau buat rakyat sangat berfaedah sekali.
Sekarang susunan kabinet menteri Jokowi hendak diumumkan dan pastinya Jokowi maunya yang karnaval-karnaval. Sehingga pastinya pengumuman para menteri akan dilangsungkan di sebuah tempat, entah Pelabuhan Tanjung Priok lagi, bisa di Pasar Tanah Abang atau di tempat lain yang membutuhkan biaya tak sedikit.
Dengan demikian anggaran yang dikritik semasa Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp18 triliun, di masa Jokowi bukan dipangkas malah bisa membengkak. Membengkak karena Jokowi ternyata suka ceremonial dan karnaval. Di sini Jokowi seperti esuk dele sore tempe alias mencla-mencle. Di masa sebelum jadi presiden ia ingin mengirit anggaran namun ketika menjadi presiden malah menghambur-hamburkan anggaran.
Mengapa pelantikan presiden tidak di Istana Negara atau di kantor-kantor yang ruangannya dirasa memadai? Bukankah mengoptimalkan ruangan kantor anjuran Jokowi sendiri.
Sumber : http://ift.tt/1uNinEx