Subsidi BBM: Menguntungkan atau Malah Merugikan Rakyat?
Karen Brooks (Wall Street Journal) menulis tentang kondisi pemerintahan yang diwariskan SBY ke Jokowi. Defisit anggaran sebesar 4,3% GDP (9.1 Milyar dollar) hampir merupakan yang terburuk untuk Indonesia kata Brooks. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang melambat ke 5,12% juga adalah yang terlemah dalam 5 tahun ini. Brooks mengatakan bahwa pemerintah telah lalai membangun infrastruktur dan investasi pendidikan dalam masa booming komoditas tahun 2005-2011. Indonesia terlalu tergantung pada komoditas tertentu seperti batubara, karet, kelapa sawit dan bijih mineral sehingga tidak mampu menghadapi penurunan harga-harga karena penurunan permintaan dari Cina pada 2012 dan 2013.
Brooks juga menambahkan bahwa kebutuhan minyak Indonesia adalah 1,3 juta barel per hari, sedangkan kilang minyak yang ada hanya menghasilkan 700 ribu barel per hari. Lebih buruk lagi, tidak ada kilang baru yang dibangun selama 20 tahun terakhir yang dibantu dengan kebijakan pajak dan harga jual. Bisa dibilang, pemerintah betul-betul telah lalai dalam bidang ini. Import BBM Indonesia telah melonjak 3 kali lipat sejak 2005.
Tidak heran isu mafia migas mecuat kembali. Mengapa kondisi migas Indonesia memburuk? Karena ada sebagian kelompok yang justru mendapatkan banyak keuntungan jika Indonesia terus mengimpor migas dalam jumlah besar. Keengganan SBY untuk menaikkan harga BBM sebenarnya sangat mudah dimengerti. Walaupun SBY beralasan bahwa dia tidak mau menaikkan harga BBM karena sebelumnya sudah menaikkan tarif dasar listrik dan LPG, namun carut marut pengelolaan migas oleh pemerintah tak dapat disangkal begitu kelangkaan BBM sudah dirasakan oleh rakyat di jalanan. Pengunduran diri Dirut PT Pertamina Karen Agustiawan pun memancing begitu banyak tanda tanya tak terjawab.
Dan ketika efek manajemen buruk pemerintah telah terasa di jalanan, elite pemerintah cenderung saling menyalahkan. DPR dengan mudah menyoroti pertamina yang dianggap sebagai alat negara yang bertanggungjawab dalam distribusi BBM bersubsidi. Padahal DPR sendiri juga yang mengunci Pertamina dengan kuota BBM bersubsidi sehingga Pertamina harus mengurangi alokasi untuk SPBU. Dalam hal ini permintaan Jokowi terhadap SBY jadi sebenarnya sangat masuk akal. Menaikkan harga BBM akan membuka banyak kuncian birokrasi akibat memang kurangnya produksi BBM karena infrastruktur yang tidak memadai. Anggota DPR sendiri pun berpendapat bahwa SBY seharusnya menaikkan harga BBM subsidi tanpa diminta Jokowi, karena memang volume BBM tidak cukup sampai akhir tahun.
Rakyat kecil di jalanan tentu sering tidak paham keruwetan birokrasi pemerintah. Namun mereka yang selalu terlebih dulu terkena getah manajemen buruk pemerintah. Dapatkah SBY bertindak tepat? Biar bagaimanapun sekarang ini Beliau masih presiden!
Sumber : http://ift.tt/1u9mNrH