Sengketa Pajak (Keberatan)
Dasar historis pajak sebagai konsekuensi logis dari kontrak sosial maka tidak bisa dilepaskan dari urusan yang berkaitan dengan ketatanegaraan, oleh sebab implementasi dari kontrak sosial adalah perwujudan organisasi yang dinamakan negara. Dalam penyelenggaraan negara ini erat kaitannya dengan pemisahan wewenang agar tidak terjadi kewenengwenangan yang bisa berdampak tercederainya hak-hak rakyat yang telah berkontrak tersebut.
Pertama-tama kita lihat dari konsep, dan sudah menjadi kebenaran yang diterima umum mengenai trias politika, yaitu pemisahan wewenang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Secara aplikatif keorganisasian, maka Direktorat Jenderal Pajak seharusnya menganut konsep tersebut untuk mewujudkan tata kelola organisasi dan kelembagaan yang baik. Fungsi eksekutif sebagai pelaksana peraturan perpajakan memang mutlak menjadi wewenang Direktorat Jenderal Pajak yang bertindak sebagai penghimpun penerimaan negara. Fungsi legislatif sebagai “produsen” peraturan, secara kelembagaan seharusnya terpisah dari Direktorat Jenderal Pajak, dan ini sedikit demi sedikit sudah dilepaskan dari wewenang DJP, dengan melibatkan Badan Kebijakan Fiskal sebagai pengkonsep peraturan. Fungsi yudikatif selaku penengah dan penyelesai sengketa perpajakan seharusnya juga dilepaskan dari wewenang DJP. Dengan masih ditanganinya penyelesaian sengketa keberatan dalam lingkup organisasi DJP, maka konsep ideal seperti yang dijelaskan diatas masih belum tercapai.
Penyelesaian sengketa perpajakan untuk keberatan dilakukan di Kantor Wilayah DJP, sedangkan untuk banding diselesaikan ditingkat Pengadilan Pajak. Dengan kondisi yang demikian, untuk penyelesaian keberatan seringkali disebut dengan peradilan semu. Mengingat pajak adalah ranah sosial yang tidak bisa dilepaskan dari ranah hukum serta peran pentingnya sebagai sumber utama penerimaan negara, maka sudah seharusnya segala sesuatu yang berkaitan dengan perpajakan harus senantiasa menjamin asas kepastian hukum, termasuk dalam kaitannya dengan hubungan kelembagaan negara. Oleh karenanya istilah peradilan semu kedepannya bisa menjadi semacam otokritik bagi perbaikan kelembagaan instansi perpajakan.
Selanjutnya adalah melihat hukum pajak sebagai bagian dari hukum tata usaha negara, dimana kemudian sengketa mengenai hukum pajak diselesaikan melalui pengadilan pajak sebagai bagian dari peradilan tata usaha negara. Keberatan pajak sebagai salah satu dari sengketa pajak sudah seharusnya juga diselesaikan melalui sistem peradilan tata usaha negara tersebut. Ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dan bias independensi. Bagaimanapun juga sebagai produk hukum, putusan keberatan seharusnya diproses dengan seksama, sehingga nantinya dihasilkan putusan yang berkualitas yang mencerminkan keadilan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Kualitas sumber daya manusia saja tidak cukup, mengingat secara personal-individual manusia sebagai entitas sosial rentan terjadi konflik kepentingan dan bias independensi dalam pelaksanaan tugasnya. Untuk itulah perbaikan kelembagaan untuk selanjutnya dijabarkan dalam sistem prosedur, mutlak diperlukan.
Mengenai konflik kepentingan dan bias independensi ini seharusnya juga menjadi prinsip penting dalam tata kelola organisasi. Untuk itulah, segala pemikiran baru yang berkaitan dengan penjabaran tugas dan fungsi DJP saat ini, khususnya yang berkaitan dengan keberatan, meskipun secara kelembagaan masih perlu perbaikan seperti yang dijelaskan diatas, seharusnya juga mengacu pada prinsip dasar tersebut. Secara logis hal ini memang susah dilakukan, jika tak mau dikatakan hampir mustahil. Karena pada tataran konsep kelembagaan saja sudah “melenceng”, maka hampir bisa dipastikan penciptaan iklim kondusif yang bebas dari konflik kepentingan dan bias independensi akan susah dilakukan.
Implementasi pajak dalam koridor hukum membawa konsekuensi, bahwa kaidah penafsiran hukum secara umum juga dipakai dalam penafsiran hukum pajak. Kecuali penafsiran analogis, semua penafsiran hukum dipakai dalam penafsiran hukum pajak. Berangkat dari sini, salah satu hal penting mengenai penafsiran adalah mengenai penafsiran otentik dan penafsiran sistematik. Dari penafsiran ini sudah seharusnya secara kandungan isi semua peraturan perundangan yang dikeluarkan tidak ada kerancuan, pun demikian dengan hubungan antara peraturan satu dengan yang lain sistematis dan tidak melenceng dari kaidah-kaidah yang seharusnya.
Sumber : http://ift.tt/1rEialr
Pertama-tama kita lihat dari konsep, dan sudah menjadi kebenaran yang diterima umum mengenai trias politika, yaitu pemisahan wewenang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Secara aplikatif keorganisasian, maka Direktorat Jenderal Pajak seharusnya menganut konsep tersebut untuk mewujudkan tata kelola organisasi dan kelembagaan yang baik. Fungsi eksekutif sebagai pelaksana peraturan perpajakan memang mutlak menjadi wewenang Direktorat Jenderal Pajak yang bertindak sebagai penghimpun penerimaan negara. Fungsi legislatif sebagai “produsen” peraturan, secara kelembagaan seharusnya terpisah dari Direktorat Jenderal Pajak, dan ini sedikit demi sedikit sudah dilepaskan dari wewenang DJP, dengan melibatkan Badan Kebijakan Fiskal sebagai pengkonsep peraturan. Fungsi yudikatif selaku penengah dan penyelesai sengketa perpajakan seharusnya juga dilepaskan dari wewenang DJP. Dengan masih ditanganinya penyelesaian sengketa keberatan dalam lingkup organisasi DJP, maka konsep ideal seperti yang dijelaskan diatas masih belum tercapai.
Penyelesaian sengketa perpajakan untuk keberatan dilakukan di Kantor Wilayah DJP, sedangkan untuk banding diselesaikan ditingkat Pengadilan Pajak. Dengan kondisi yang demikian, untuk penyelesaian keberatan seringkali disebut dengan peradilan semu. Mengingat pajak adalah ranah sosial yang tidak bisa dilepaskan dari ranah hukum serta peran pentingnya sebagai sumber utama penerimaan negara, maka sudah seharusnya segala sesuatu yang berkaitan dengan perpajakan harus senantiasa menjamin asas kepastian hukum, termasuk dalam kaitannya dengan hubungan kelembagaan negara. Oleh karenanya istilah peradilan semu kedepannya bisa menjadi semacam otokritik bagi perbaikan kelembagaan instansi perpajakan.
Selanjutnya adalah melihat hukum pajak sebagai bagian dari hukum tata usaha negara, dimana kemudian sengketa mengenai hukum pajak diselesaikan melalui pengadilan pajak sebagai bagian dari peradilan tata usaha negara. Keberatan pajak sebagai salah satu dari sengketa pajak sudah seharusnya juga diselesaikan melalui sistem peradilan tata usaha negara tersebut. Ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dan bias independensi. Bagaimanapun juga sebagai produk hukum, putusan keberatan seharusnya diproses dengan seksama, sehingga nantinya dihasilkan putusan yang berkualitas yang mencerminkan keadilan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Kualitas sumber daya manusia saja tidak cukup, mengingat secara personal-individual manusia sebagai entitas sosial rentan terjadi konflik kepentingan dan bias independensi dalam pelaksanaan tugasnya. Untuk itulah perbaikan kelembagaan untuk selanjutnya dijabarkan dalam sistem prosedur, mutlak diperlukan.
Mengenai konflik kepentingan dan bias independensi ini seharusnya juga menjadi prinsip penting dalam tata kelola organisasi. Untuk itulah, segala pemikiran baru yang berkaitan dengan penjabaran tugas dan fungsi DJP saat ini, khususnya yang berkaitan dengan keberatan, meskipun secara kelembagaan masih perlu perbaikan seperti yang dijelaskan diatas, seharusnya juga mengacu pada prinsip dasar tersebut. Secara logis hal ini memang susah dilakukan, jika tak mau dikatakan hampir mustahil. Karena pada tataran konsep kelembagaan saja sudah “melenceng”, maka hampir bisa dipastikan penciptaan iklim kondusif yang bebas dari konflik kepentingan dan bias independensi akan susah dilakukan.
Implementasi pajak dalam koridor hukum membawa konsekuensi, bahwa kaidah penafsiran hukum secara umum juga dipakai dalam penafsiran hukum pajak. Kecuali penafsiran analogis, semua penafsiran hukum dipakai dalam penafsiran hukum pajak. Berangkat dari sini, salah satu hal penting mengenai penafsiran adalah mengenai penafsiran otentik dan penafsiran sistematik. Dari penafsiran ini sudah seharusnya secara kandungan isi semua peraturan perundangan yang dikeluarkan tidak ada kerancuan, pun demikian dengan hubungan antara peraturan satu dengan yang lain sistematis dan tidak melenceng dari kaidah-kaidah yang seharusnya.
Sumber : http://ift.tt/1rEialr