RUU Pilkada Usulan Koalisi Merah Putih: Mengusung Romantisme Poros Tengah ke Daerah
Keberhasilan Poros Tengah yang digagas “embah politik”nya PAN, Amien Rais, dalam merebut pucuk pimpinan nasional pada pemilu 1999 agaknya menjadi romantisme dan semangat tersendiri diantara pendukung Poros Tengah. Koalisi Prabowo Hatta yang melabeli diri dengan judul Koalisi Merah Putih sejatinya adalah Poros Tengah jilid 2. Semangat dan romantisme Poros Tengah inilah yang diusung koalisi capres no urut 1 dalam kancah Pilpres 2014 .
Namun romantisme kemenangan itu ternyata tak terulang. Kekuatan Jokowi JK yang lebih didukung rakyat tak terbendung lagi. Rakyat lebih mempercayai pemimpin yang sederhana dan merakyat untuk memegang pucuk pimpinan nasional.
Kekalahan ini seakan memberikan sebuah “penyadaran politik” bagi para elit parpol Koalisi Merah Putih. Mereka seolah baru terbangun dari mimpi indah di siang bolong tentang asumsi politik mereka bahwa suara elit parpol = suara konstituen atau pendukung parpol. Asumsi politik yang telah terbukti naif dan salah besar. Asumsi politik yang membuat Prabowo merasa “tersakiti” karena mengira seharusnya dialah yg menang karena merasa didukung oleh suara 62% lebih koalisi parpol.
Namun “kesadaran politik” yang timbul bukannya mendorong mereka untuk lebih santun dan beretika dalam berpolitik, justru malah menguatkan tekad mereka untuk memenangkan setiap “pertarungan politik” yang akan mereka lakoni dengan segala cara yang mereka mampu terutama dalam berbagai pilkada yang kelak akan digelar.
Mereka mempelajari bahwa kemenangan Poros Tengah di tahun 1999 terjadi karena pemilu saat itu masih menggunakan platform politik dan aturan main produk Orde Baru. Tidak mengherankan bila sekarang mereka berjuang mati-matian untuk menghidupkan kembali aturan main produk Orba itu dalam bentuk Undang-undang Pilkada yang rancangannya sekarang sedang bergulir panas di gedung Senayan.
Untuk mengelabuhi masyarakat awam, Koalisi Merah Putih berdalih bahwa usulan RUU Pilkada yang mereka ajukan demi penghematan biaya negara. Mereka mengusulkan agar Kepala Daerah tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat, tapi cukup dipilih oleh DPRD, dengan demikian akan menghemat pengeluaran negara. Terdengar heroik di telinga rakyat. Namun sungguh terasa ada liukan lidah berbisa dalam balutan rangkaian kata-kata indah itu yang seolah-olah pro rakyat. Karenanya rakyat harus waspada dan terus mengawal perumusan UU Pilkada.
Jangan sampai kita melangkah mundur. Arah demokrasi kita sudah berada dalam jalur yang benar. Pelaksanaan Pilkada secara langsung memang memerlukan banyak pembenahan dan perbaikan. Tapi bukan berarti kita harus meniadakan pemilihan secara langsung. Kembali pada aturan main Orba berarti kembali memasung hak-hak politik rakyat. Selama 32 tahun kekuasaannya, rezim Orba telah merampas kedaulatan rakyat.
Dan kini demi kepentingan politik sekelompok elit, ada usaha-usaha jahat untuk kembali ke arah itu. Setelah obsesi mengulang romantisme kemenangan Poros Tengah berantakan pada Pilpres 2014, kini rupanya Koalisi Merah Putih bertekad untuk mengusung romantisme itu ke daerah. Masih samar, namun bayang-bayang suram kehidupan demokrasi era Orba seakan mulai menemukan bentuknya kembali.
Sumber : http://ift.tt/1ts7Zmo
Namun romantisme kemenangan itu ternyata tak terulang. Kekuatan Jokowi JK yang lebih didukung rakyat tak terbendung lagi. Rakyat lebih mempercayai pemimpin yang sederhana dan merakyat untuk memegang pucuk pimpinan nasional.
Kekalahan ini seakan memberikan sebuah “penyadaran politik” bagi para elit parpol Koalisi Merah Putih. Mereka seolah baru terbangun dari mimpi indah di siang bolong tentang asumsi politik mereka bahwa suara elit parpol = suara konstituen atau pendukung parpol. Asumsi politik yang telah terbukti naif dan salah besar. Asumsi politik yang membuat Prabowo merasa “tersakiti” karena mengira seharusnya dialah yg menang karena merasa didukung oleh suara 62% lebih koalisi parpol.
Namun “kesadaran politik” yang timbul bukannya mendorong mereka untuk lebih santun dan beretika dalam berpolitik, justru malah menguatkan tekad mereka untuk memenangkan setiap “pertarungan politik” yang akan mereka lakoni dengan segala cara yang mereka mampu terutama dalam berbagai pilkada yang kelak akan digelar.
Mereka mempelajari bahwa kemenangan Poros Tengah di tahun 1999 terjadi karena pemilu saat itu masih menggunakan platform politik dan aturan main produk Orde Baru. Tidak mengherankan bila sekarang mereka berjuang mati-matian untuk menghidupkan kembali aturan main produk Orba itu dalam bentuk Undang-undang Pilkada yang rancangannya sekarang sedang bergulir panas di gedung Senayan.
Untuk mengelabuhi masyarakat awam, Koalisi Merah Putih berdalih bahwa usulan RUU Pilkada yang mereka ajukan demi penghematan biaya negara. Mereka mengusulkan agar Kepala Daerah tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat, tapi cukup dipilih oleh DPRD, dengan demikian akan menghemat pengeluaran negara. Terdengar heroik di telinga rakyat. Namun sungguh terasa ada liukan lidah berbisa dalam balutan rangkaian kata-kata indah itu yang seolah-olah pro rakyat. Karenanya rakyat harus waspada dan terus mengawal perumusan UU Pilkada.
Jangan sampai kita melangkah mundur. Arah demokrasi kita sudah berada dalam jalur yang benar. Pelaksanaan Pilkada secara langsung memang memerlukan banyak pembenahan dan perbaikan. Tapi bukan berarti kita harus meniadakan pemilihan secara langsung. Kembali pada aturan main Orba berarti kembali memasung hak-hak politik rakyat. Selama 32 tahun kekuasaannya, rezim Orba telah merampas kedaulatan rakyat.
Dan kini demi kepentingan politik sekelompok elit, ada usaha-usaha jahat untuk kembali ke arah itu. Setelah obsesi mengulang romantisme kemenangan Poros Tengah berantakan pada Pilpres 2014, kini rupanya Koalisi Merah Putih bertekad untuk mengusung romantisme itu ke daerah. Masih samar, namun bayang-bayang suram kehidupan demokrasi era Orba seakan mulai menemukan bentuknya kembali.
Sumber : http://ift.tt/1ts7Zmo