Suara Warga

Benarkah Asing Dukung Pilkadasung?

Artikel terkait : Benarkah Asing Dukung Pilkadasung?

Memasuki era reformasi, seluruh konstelasi politik di Indonesia berubah secara ekstrem. Salah satunya adalah tata cara memilih kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah. Di era Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh parlemen (DPRD). Sebaliknya, di era reformasi, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Alhasil tampil sosok kepala daerah yang unik-unik, ada yang cukup inovatif dan kreatif, tidak jarang pula yang menjadi bahan tertawaan rakyatnya.

Akhir-akhir ini, Pilkadasung diambang akhir. Konstelasi politik nasional sedang mengalami turbulensi, salah satunya tentang wacana tata cara pemilihan kepala daerah. Hal ini terkait dengan pembahasan RUU Pilkada yang sedang digodok oleh DPR RI. Mereka mewacanakan akan mengembalikan peran DPRD sebagai lembaga yang nantinya memilih kepala daerah.

Pro kontra tentu tak terhindarkan. Ada yang suka Pilkadasung, sebaliknya banyak juga yang sependapat jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Berbagai komentar dan analisa terkait wacana itu mengalir deras bagai air bah. Tidak tanggung-tanggung, Ahok, Ridwan Kamil, dan beberapa kepala daerah lainnya ikut memberi komentar di media televisi. Sebegitu urgenkah pemilihan kepala daerah secara langsung sampai mereka harus berkomentar?

Memang, selama ini rakyat sudah nyaman dengan Pilkadasung, saat rakyat bisa memilih langsung pemimpinnya. Bagi pemilih di daerah, Pilkadasung merupakan salah satu “pesta” besar disamping Pilpres, Pileg maupun Pilkades. Ketika pemilih dicari dan dibujuk oleh sang calon kepala daerah atau timsesnya. Pilkadasung menjadi sarana untuk meraih berbagai keuntungan, baik berbentuk kehormatan sebagai warga negara, termasuk finasial.

Disisi calon kepala daerah, Pilkadasung memberi peluang kepada semua orang yang mencalonkan diri. Tidak peduli, apakah dia seorang rakyat jelata atau seorang milyuner, semuanya punya kesempatan yang sama. Bedanya, ada calon kepala daerah yang dicalonkan oleh partai politik, ada juga yang maju sebagai calon independen.

Pola ini cukup demokratis, itu tak terbantahkan. Meskipun dukungan partai politik untuk sang calon kepala daerah biasanya tidak gratis. Meskipun diakui sudah cukup demokratis, sayangnya, mayoritas para pemilih cenderung belum “cerdas” dalam berdemokrasi. Mereka mudah diiming-imingi, tetapi ada juga pemilih merasa terintimidasi karena harus memilih kandidat tertentu.

Jangan heran jika kemudian pilihan warga bertolak belakang dengan harapan mereka. Sebagian warga merasa tidak puas. Kemudian, mereka merefleksikannya dengan berbagai demonstrasi sebagai wujud ketidakpuasan publik. Dampaknya akan berujung kepada sebuah situasi yang dikenal dengan istilah instabilitas.

Padahal, warga sangat berharap bahwa demokrasi akan memberi mereka ketentraman dan kemakmuran. Mimpi rakyat, demokrasi memberi mereka sebuah harapan masa depan yang lebih baik. Di daerah, demokrasi ternyata lebih banyak menimbulkan kecemasan. Baik akibat intimidasi atau dampak kerusuhan Pilkadasung.

Beberapa daerah di tanah air sudah membuktikan bahwa pasca Pilkadasung berlanjut dengan kerusuhan dan bakar membakar. Lihat saja kejadian beberapa waktu lalu di Bima, Kota Waringin, termasuk di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Akibatnya, sebagian warga kembali memimpikan Pilkada oleh DPRD yang lebih soft dan beban biaya dari APBD dapat ditekan.

Di era yang lalu, mereka bisa merasakan di daerah-daerah hampir tidak pernah terimbas dampak demonstrasi dan kerusuhan massa. Demonstrasi pada waktu itu hanya “mainan” aktivis di ibukota Jakarta atau kota-kota besar lain di tanah air.

Mereka yang turun ke jalan biasanya para mahasiswa dan kaum terpelajar. Sangat jarang ditemukan wong cilik di daerah-daerah terpencil bertikai karena urusan politik. Kalaupun terjadinya kerusuhan, tidak lebih karena urusan lahan. Sebab, pada dasarnya mereka ingin hidup tenteram dan dapat berusaha dengan tenang.

Sekarang, warga baik wong cilik atau wong gede terlihat begitu beringas dan menakutkan. Sangat mudah dipicu dan diprovokasi. Budaya ketimuran yang santun telah sirna. Budaya mereka sudah berganti dengan pekik, teriak dan demonstrasi. Sampai kapan hal semacam ini akan terus berlangsung?

Disadari atau tidak, sebenarnya Pilkadasung “tanpa sengaja” telah mendorong distribusi instabilitas sampai ke daerah-daerah dan pedesaan. Gelombang potensi instabilitas bergerak bagai udara panas ke seluruh penjuru tanah air. Bermula dari Jakarta, beritanya diblow-up media, terus wong cilik ikut-ikutan dan meluas sampai ke daerah-daerah. Demonstrasi akhirnya jadi trendy, life style, bahkan dianggap gaul jika sering ikut demonstrasi. Negeri yang indah ini pun akhirnya tidak pernah reda dari demonstrasi.

Cermati saja berita televisi, hampir setiap minggu muncul berita tentang demonstrasi di daerah-daerah. Dampaknya, masyarakat cemas, mau tidak mau harus memihak. Pelan-pelan, mereka terpecah-pecah dalam kubu-kubu tertentu, bagai bara ditengah sekam. Ironisnya, tidak jarang diantara mereka menjadi “musuh” permanen padahal politisi yang mereka dukung sedang ngopi bersama.

Mungkinkah sebuah pemerintah daerah bisa memacu pembangunan daerahnya jika terus terganggu dengan berbagai ketidakpuasan publik? Tidak terbayangkan. Bagaimana dapat berkonsentrasi memajukan sebuah daerah jika selalu disibukkan oleh demonstrasi. Akhirnya, perangkat daerah bekerja seadanya sejauh tidak dianggap mangkir. Mereka yang rugi adalah pembayar pajak, itulah rakyat.

Ibarat sebuah rumah tangga yang selalu terjadi pertengkaran antara suami, isteri dan anak-anaknya. Sibuk bertengkar, mungkinkah mereka dapat mengganti genteng rumahnya yang bocor, atau mengecat dinding rumahnya yang telah kusam, atau mengganti kunci jendelanya yang sudah copot? Sesuatu yang mustahil bisa dilakukan tanpa rasa nyaman disana.

Alhasil, mereka sudah pasti akan ditertawai oleh para tetangganya. Mereka menjadi tontonan gratis sekaligus dicemooh. Mereka kehilangan harga diri. Mereka akan dilabeling sebagai keluarga berantakan, malah diberi peringkat paling bawah dalam survei keluarga sukses.

Dapat dipastikan, mereka tidak sempat lagi mencari nafkah. Tidak aneh, dengan alasan kasihan, tetangganya akan menawarkan hutang dengan berbagai imbal jasa dan kompensasi. Lama-kelamaan, keluarga itu akan dijerat hutang pada rentenir yang notabene adalah tetangganya. Ketika mereka tak mampu membayar hutang, ditawarkan berbagai ideologi yang makin melemahkan keluarga itu. Kemudian, keluarga yang berisi orang-orang perkasa itu menjadi bebek lumpuh.

Seperti inilah kira gambaran negeri kita saat ini. Kita tidak tahu, negara mana sesungguhnya yang sangat diuntungkan dengan terjadinya distribusi instabilitas ke seluruh wilayah nusantara ini. Konon, beberapa LSM Asing yang didanai oleh negara tertentu sangat getol memaksakan “ideologi” Pilkadasung kepada negeri ini. Mereka menawarkan berbagai bantuan mulai dari pelatihan penyelenggara pemilu sampai studi banding ke negaranya.

Negara asing rela membuang-buang uang untuk bangsa lain, kenapa? Padahal semua tahu bahwa prinsip para kapitalis adalah “tidak ada makan siang yang gratis.” Apakah mereka beruntung secara ekonomi jika warga di negara ini selalu bertikai? Atau, mereka tidak ingin Indonesia menjadi salah satu negara terkuat dan terstabil di kawasan Asia Pasifik?

Semua sangat mungkin terjadi, tergantung bangsa ini mencermati berbagai kemungkinannya. Ketajaman mata hati sangat dibutuhkan untuk merasakan masuknya tangan bangsa lain ke negara ini. Wallahualam bissawab!




Sumber : http://ift.tt/1BplGaz

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz