Pilkada Langsung atau Perwakilan? Apa Jaminan Kualitasnya?
Kisruh gonjang-ganjing pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme perwakilan mnggunakan instrumen politik di legislatif dengan basis penentuan ditingkat DPRD tidak pelak mengembalikan porsi demokrasi kia kembali kebelakang.
Menarik bila kemudian dalam pembahasan tersebut, para legislator di tingkat pusat membahas RUU Pilkada berbicara tentang penghematan anggaran hingga Rp41T yang dapat dilakukan bila kemudian Pilkada tidak perlu digelar melainkan melalui mekanisme pemilihan via DPRD.
Persoalannya, elit legislatif selama ini menjadi bagian yang diindikasi menjadi sarana politik transaksional, dengan melibatkan gelimang rupiah guna menentukan arah keputusannya. Kalau sudah demikian, bagaimana dapat dipastikan proses pemilihan ditingkat legislatif nantinya dapat memberi jaminan akan kualitas pemimpin daerah yang akan dipilihnya.
Efektif dan efisien dalam alokasi budget sangat ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai beserta dengan penguatan aspek pengawasan yang ketat, dengan demikian solusinya bukan mengembalikan pola demokrasi langsung menjadi perwakilan yang penuh dengan muatan kepentingan segelintir.
Dengan pengalaman yang berulang dalam pemilihan langsung, maka masyarakat telah memiliki kedewasaan dalam memahami politik adalah soal kepentyingan sesaat dan untuk itu sekarang wacana pemimpin yang merakyat dan populer dengan agenda kerakyatan menjadi sebuah gairah baru.
Calon pemimpin yang akan maju akan berusaha merebut simpati rakyat, meski tidak menjamin dengan cara yang elegan, namun bonding kepemimpinan daerah tengah mencari format baru, bila demikian kita akan mendapatkan pemimpin yang ada serta berada ditengah rakyat dan bukan fokus pada lobby politik digedung DPRD semata.
Penghematan adalah hal yang salah bila urgensi esensialnya tidak dilekatkan, karena yang diharapkan dalam proses pemilihan langsung adalah mencari bakat dan kualitas terbaik dari seorang calon pemimpin. Lalu apa yang dapat menjadi jaminan dari kualitas pemimpin terpilih jika prosesnya saja diwakilkan kepada mereka yang berkelompok dengan berbagai interest dibelakangnya.
Toh selama ini kesejahteraan, kemakmuran dan kekayaan telah diwakilkan kepada mereka yang duduk di legislatif baik pusat maupun daerah, sementara yang tersisa bagi rakyat kebanyakan adalah kemiskinan dan nestapa semata. Kalau soal berhemat, maka aturan penggunan anggaran yang harus dibentuk dalam skema yang rigid sehingga biaya dapat ditekan dengan tujuan yang ingin di capai.
Sumber : http://ift.tt/1tGq6sG
Menarik bila kemudian dalam pembahasan tersebut, para legislator di tingkat pusat membahas RUU Pilkada berbicara tentang penghematan anggaran hingga Rp41T yang dapat dilakukan bila kemudian Pilkada tidak perlu digelar melainkan melalui mekanisme pemilihan via DPRD.
Persoalannya, elit legislatif selama ini menjadi bagian yang diindikasi menjadi sarana politik transaksional, dengan melibatkan gelimang rupiah guna menentukan arah keputusannya. Kalau sudah demikian, bagaimana dapat dipastikan proses pemilihan ditingkat legislatif nantinya dapat memberi jaminan akan kualitas pemimpin daerah yang akan dipilihnya.
Efektif dan efisien dalam alokasi budget sangat ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai beserta dengan penguatan aspek pengawasan yang ketat, dengan demikian solusinya bukan mengembalikan pola demokrasi langsung menjadi perwakilan yang penuh dengan muatan kepentingan segelintir.
Dengan pengalaman yang berulang dalam pemilihan langsung, maka masyarakat telah memiliki kedewasaan dalam memahami politik adalah soal kepentyingan sesaat dan untuk itu sekarang wacana pemimpin yang merakyat dan populer dengan agenda kerakyatan menjadi sebuah gairah baru.
Calon pemimpin yang akan maju akan berusaha merebut simpati rakyat, meski tidak menjamin dengan cara yang elegan, namun bonding kepemimpinan daerah tengah mencari format baru, bila demikian kita akan mendapatkan pemimpin yang ada serta berada ditengah rakyat dan bukan fokus pada lobby politik digedung DPRD semata.
Penghematan adalah hal yang salah bila urgensi esensialnya tidak dilekatkan, karena yang diharapkan dalam proses pemilihan langsung adalah mencari bakat dan kualitas terbaik dari seorang calon pemimpin. Lalu apa yang dapat menjadi jaminan dari kualitas pemimpin terpilih jika prosesnya saja diwakilkan kepada mereka yang berkelompok dengan berbagai interest dibelakangnya.
Toh selama ini kesejahteraan, kemakmuran dan kekayaan telah diwakilkan kepada mereka yang duduk di legislatif baik pusat maupun daerah, sementara yang tersisa bagi rakyat kebanyakan adalah kemiskinan dan nestapa semata. Kalau soal berhemat, maka aturan penggunan anggaran yang harus dibentuk dalam skema yang rigid sehingga biaya dapat ditekan dengan tujuan yang ingin di capai.
Sumber : http://ift.tt/1tGq6sG