Media bagi Pilpres di Amerika dan Indonesia
Di negara-negara demokratis, perilaku media penyiaran diawasi oleh lembaga regulator yang akan dengan segera menindak media yang bersikap tidak adil. Ancaman sanksinya pun bisa sangat serius. Sebuah stasiun televisi bisa dicabut izin penyiarannya bila ia terbukti menjadi agen propaganda salah satu kandidat sehingga bersikap tak adil pada lawan politik kandidat tersebut.
Sebagai contoh, di Amerika serikat ada ketetapan yang dibuat oleh Federal Communications Commission (FCC) tentang ‘equal time rule’. Dalam aturan ini, setiap stasiun televisi atau radio wajib menyediakan waktu seimbang bagi setiap kandidat yang sedang bertarung dalam pemilu. Bila stasiun menyediakan satu jam siaran penuh bagi salah satu kandidat untuk berkampanye, media itu wajib menyediakan kesempatan yang sama (panjang waktu siaran sama, jadwal tayang yang setara, jumlah audiens seimbang) kepada kandidat lain. Yang dikecualikan dalam kewajiban ini adalah program berita, laporan mendalam atau dokumenter.
Tak bisa dipungkiri, upaya memaksa lembaga penyiaran bersikap berimbang ini sebenarnya juga tidak mudah. Sebagai contoh, jaringan penyiaran televisi Fox di AS dikenal sebagai media anti-Obama, baik di masa kampanye maupun di masa hidup normal. Hanya saja sikap partisan ini ditampilkan dengan gaya lihai. Sebagai contoh, dalam talkshow, mereka tetap menyajikan perwakilan dua kubu. Tapi segenap pertanyaan yang diajukan, cara membingkai masalah, atau kesempatan bicara mereka yang diundang sangat bias anti-Obama. Dalam kasus seperti ini, tidak mudah bagi FCC untuk menilai bahwa FOX bersikap partisan karena bukti empirik dan konkritnya tak tersedia.
Amerika Serikat memiliki aturan yang sangat bebas. Setiap partai atau kandidat yang bertarung dalam pemilu dapat meluncurkan iklan kampanye sebanyak-banyaknya di media manapun. Isi kampanyenya pun dapat mengandung serangan langsung antar pihak. Yang dilarang hanyalah penyebaran fitnah.
Kampanye yang didanai oleh pihak ketiga pun dimungkinkan. Sebagai contoh bila asosiasi guru dan orangtua ingin mendukung salah satu kandidat, organisasi ini bisa membayar iklan untuk menunjukkan dukungannya atau bahkan mengajak masyarakat menolak salah satu calon. Isi iklan pihak ketiga ini seringkali jauh lebih keras dan tajam dibandingkan iklan kampanye yang diluncurkan para petarung dalam pemilu itu sendiri.
Wilayah yang diatur oleh FCC dalam soal kampanye sangat sedikit. Sebagai contoh, media penyiaran tidak boleh bersikap diskriminatif. Kalau terhadap kandidat A, media menetapkan tarif iklan tertentu, tarif yang sama harus diberikannya pada kandidat yang lain. Bila ada bukti praktek diskriminatif, stasiun televisi yang bersangkutan akan terancam sanksi serius.Corak pengaturan yang longgar itu kerap dituding sebagai salah satu penyebab mahalnya kampanye pemilu di AS sehingga hanya mereka yang berdana besar saja bisa bertarung di sana.
Sementara situasi dan kondisi di Indonesia sebenarnya hampir sama dengan yang ada di Amerika Serikat tadi. Pada masa Pilpres 2014 lalu, masyarakat Indonesia melihat dengan jelas bahwa media massa sudah terpolarisasi. Ada media massa yang mendukung kubu Prabowo Subianto dan ada yang mendukung Jokowi. Polarisasi itu nampak jelas pada pemberitaan media-media massa tersebut.
Kemudian muncullah persoalan dalam menentukan apakah media-media partisan tadi telah terbukti melakukan pelanggaran. Sebagai contoh, jika pada pilpres yang lalu MetroTV terlalu sering menyiarkan visi dan misi (atau bahkan iklan) pasangan capres Jokowi- Jusuf Kalla dalam program berita mereka, bisa saja stasiun TV itu berdalih bahwa tayangan tersebut adalah sebuah berita, atau iklan tersebut masih ada dalam batas-batas yang diperbolehkan. Dalam hal ini memang tak mudah bagi lembaga otoritas seperti KPI untuk memutuskan apakah MetroTV melanggar aturan atau tidak.
Hasil dari pendataan yang dilakukan oleh SatuDunia dalam pilpres lalu, seperti termuat di www.iklancapres.org , menyebutkan bahwa belanja iklan calon presiden di MetroTV semuanya berisi iklan Jokowi-JK. “Dalam penghitungan ini, kami mengabaikan diskon atau harga khusus dari media massa tertentu kepada pasangan tertentu. Angka kami munculkan berdasarkan rate resmi dari setiap media massa yang kami pantau,” kata Anwari Natari, Project Coordinator Pemantauan Iklan Capres di Media Massa dari SatuDunia, di kantor KPU, 25 Juni lalu.
Sumber foto: http://ift.tt/1udiUBZ
Sumber : http://ift.tt/1lvA8d5
Sebagai contoh, di Amerika serikat ada ketetapan yang dibuat oleh Federal Communications Commission (FCC) tentang ‘equal time rule’. Dalam aturan ini, setiap stasiun televisi atau radio wajib menyediakan waktu seimbang bagi setiap kandidat yang sedang bertarung dalam pemilu. Bila stasiun menyediakan satu jam siaran penuh bagi salah satu kandidat untuk berkampanye, media itu wajib menyediakan kesempatan yang sama (panjang waktu siaran sama, jadwal tayang yang setara, jumlah audiens seimbang) kepada kandidat lain. Yang dikecualikan dalam kewajiban ini adalah program berita, laporan mendalam atau dokumenter.
Tak bisa dipungkiri, upaya memaksa lembaga penyiaran bersikap berimbang ini sebenarnya juga tidak mudah. Sebagai contoh, jaringan penyiaran televisi Fox di AS dikenal sebagai media anti-Obama, baik di masa kampanye maupun di masa hidup normal. Hanya saja sikap partisan ini ditampilkan dengan gaya lihai. Sebagai contoh, dalam talkshow, mereka tetap menyajikan perwakilan dua kubu. Tapi segenap pertanyaan yang diajukan, cara membingkai masalah, atau kesempatan bicara mereka yang diundang sangat bias anti-Obama. Dalam kasus seperti ini, tidak mudah bagi FCC untuk menilai bahwa FOX bersikap partisan karena bukti empirik dan konkritnya tak tersedia.
Amerika Serikat memiliki aturan yang sangat bebas. Setiap partai atau kandidat yang bertarung dalam pemilu dapat meluncurkan iklan kampanye sebanyak-banyaknya di media manapun. Isi kampanyenya pun dapat mengandung serangan langsung antar pihak. Yang dilarang hanyalah penyebaran fitnah.
Kampanye yang didanai oleh pihak ketiga pun dimungkinkan. Sebagai contoh bila asosiasi guru dan orangtua ingin mendukung salah satu kandidat, organisasi ini bisa membayar iklan untuk menunjukkan dukungannya atau bahkan mengajak masyarakat menolak salah satu calon. Isi iklan pihak ketiga ini seringkali jauh lebih keras dan tajam dibandingkan iklan kampanye yang diluncurkan para petarung dalam pemilu itu sendiri.
Wilayah yang diatur oleh FCC dalam soal kampanye sangat sedikit. Sebagai contoh, media penyiaran tidak boleh bersikap diskriminatif. Kalau terhadap kandidat A, media menetapkan tarif iklan tertentu, tarif yang sama harus diberikannya pada kandidat yang lain. Bila ada bukti praktek diskriminatif, stasiun televisi yang bersangkutan akan terancam sanksi serius.Corak pengaturan yang longgar itu kerap dituding sebagai salah satu penyebab mahalnya kampanye pemilu di AS sehingga hanya mereka yang berdana besar saja bisa bertarung di sana.
Sementara situasi dan kondisi di Indonesia sebenarnya hampir sama dengan yang ada di Amerika Serikat tadi. Pada masa Pilpres 2014 lalu, masyarakat Indonesia melihat dengan jelas bahwa media massa sudah terpolarisasi. Ada media massa yang mendukung kubu Prabowo Subianto dan ada yang mendukung Jokowi. Polarisasi itu nampak jelas pada pemberitaan media-media massa tersebut.
Kemudian muncullah persoalan dalam menentukan apakah media-media partisan tadi telah terbukti melakukan pelanggaran. Sebagai contoh, jika pada pilpres yang lalu MetroTV terlalu sering menyiarkan visi dan misi (atau bahkan iklan) pasangan capres Jokowi- Jusuf Kalla dalam program berita mereka, bisa saja stasiun TV itu berdalih bahwa tayangan tersebut adalah sebuah berita, atau iklan tersebut masih ada dalam batas-batas yang diperbolehkan. Dalam hal ini memang tak mudah bagi lembaga otoritas seperti KPI untuk memutuskan apakah MetroTV melanggar aturan atau tidak.
Hasil dari pendataan yang dilakukan oleh SatuDunia dalam pilpres lalu, seperti termuat di www.iklancapres.org , menyebutkan bahwa belanja iklan calon presiden di MetroTV semuanya berisi iklan Jokowi-JK. “Dalam penghitungan ini, kami mengabaikan diskon atau harga khusus dari media massa tertentu kepada pasangan tertentu. Angka kami munculkan berdasarkan rate resmi dari setiap media massa yang kami pantau,” kata Anwari Natari, Project Coordinator Pemantauan Iklan Capres di Media Massa dari SatuDunia, di kantor KPU, 25 Juni lalu.
Sumber foto: http://ift.tt/1udiUBZ
Sumber : http://ift.tt/1lvA8d5