Suara Warga

Jangan ambil suara rakyat, itu bukan demokrasi.

Artikel terkait : Jangan ambil suara rakyat, itu bukan demokrasi.

 photo SuratSuara_zpse9f9c81c.jpg

Ketika kedualatan ingin direbut dari tangan rakyat dan dan dipindahkan ketangan Partai dan beberapa gelintir politisi, ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan nilai-nilai dan spirit Konstitusi. Itulah yang saat ini terjadi dengan upaya Koalisi Merah Putih di DPR untuk mendorong disahkannya RUU Pilkada yang dipaksakan dibahas diakhir masa jabatan DPR saat ini yang sudah tinggal hitungan hari saja ini.

Mereka tak ingin lahir pemimpin-pemimpin rakyat seperti Jokowi, Bu Risma, Ridwan Kamil, Arya Bima yang dipilih langsung oleh rakyat dan karenanya akan bertanggung jawab juga kepada rakyat atas apa yang mereka kerjakan. Contoh nyata para pemimpin daerah itu bisa masuk kebursa calon pemimpin daerah dan kemudian memimpin daerahnya serta akhirnya menunjukkan berbagai perubahan yang dilakukan pemerintah daerah dibawah kepemimpinannya demi kebaikan daerah dan rakyat diwilayah itu, justru karena adanya pola pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang dianut negeri ini. Mereka sangat mungkin tidak akan pernah jadi pemimpin jika pimpinan daerah dipilih oleh DPRD karena partai pengusungnya bukan merupakan pemegang mayoritas suara di DPRD.

Mereka berdalil rakyat tidak atau belum dewasa dalam berdemokrasi sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik sosial. Tentu saha hal itu, sangat keliru dan mengada-ada. Rakyat sudah siap, tapi justru PARA POLITISI yang tidak siap kalah dan menang dalam berdemokrasi. Rakyat tidak akan pernah akan bermasalah jika tidak diprovokasi dan diberi contoh yang tidak baik oleh para Politisi yang hanya mementingkan kepentingannya atau kelompoknya sendiri dan tidak pro rakyat dan demokrasi itu. Jika para pemimpin yang kalah dalam Pemilu atau Pilkada legowo dan menerima kekalahannya dengan lapang dada, tak akan ada konflik sosial dimasyarakat. Para politisi yang tidak dewasa, egois dan mau menang sendiri (baca: Tidak Demokratis) itulah sesungguhnya biang kerok keresahan masyarakat di negeri ini.

Mereka berdalil biaya yang dikeluarkan juga sangat mahal, bukankah itu sudah masuk dalam APBN kita dan selama ini juga baik2 saja ? Mahal bagi politisi tertentu (yang tidak dapat dukungan rakyat, namun memaksa ingin memimpin) mungkin ya, karena bagi mereka yang hanya bisa menang dengan uang dan membeli suara rakyat, hal itu akan terasa sangat mahal. Sekarang rakyat sudah mulai cerdas. Pola-pola menyogok dan membeli suara rakyat sudah tidka lagi efektif. Pola-pola lama yang hanya memungkinkan orang kaya atau orang yang didukung cukong besar yang dapat jadi pemimpin, sudah tak lagi berlaku. Pemilihan langsung oleh rakyat memang akan sangat mahal boayanya bagi politisi busuk yang ingin maju jadi pemimpin, namun akan tetap murah biayanya bagi pemimpin “Bagus/Baik” yang akan dipilih rakyat untuk memimpin, karena justru rakyat yang ingin mereka memimpin; rakyat tak perlu dibayar. Menyogok 51% anggota DPRD untuk memilihnya akan lebih mudah dan murah bagi politisi busuk untuk memenangkan posisi sebagai pimpinan dan mengatasnamakan demokrasi dan rakyat di daerah.

Nah, kini setelah pola-pola baru mulai terbentuk dan mulai menghadirkan pemimpin-pemimpin muda dan baru di negeri ini, mulai menghadirkan pemimpin2 yang memang mau memikirkan rakyat (dan bukan hanya kepentinga pribadi atau kelompoknya semata dengan dalih demi rakyat), pantaskah politisi2 dan partai2 yang berumur tak lebih dari 2 bulan lagi yang dulu semua menolak pemilihan yang tidak langsung oleh rakyat bagi pimpinan daerah dan sebagaian besar dari mereka itu tak lagi akan menjadi wakil rakyat 5 tahun ke depan dibiarkan membuat demokrasi kita mundur lagi ?

Sepertinya sudah saatnya kita mencatat semua partai dan politisi yang mencoba mengambil suara rakyat dan membuat mundurnya demokrasi di negeri ini, demi kepentingannya sendiri dan bukan demi demokrasi, dan apa lagi demi rakyat. Bahkan secara terori, jika sistem ini diberlakukan Koalisi Prabowo dapat menempatkan Gubernur di 31 propinsi dari 33 propinsi yang ada di negeri ini. Silahkan lihat berita dan rinciannya (klik) disini.

Mungkin sakit hati dan kebencian yang masih tertanam dihati para politisi Koalisi Merah Putih yang kalah dalam Pilpres lalu (walau secara suara menang di DPR) telah menutup hati dan pikiran jernih mereka terutama partai-partai kecil. Ambil contoh, PKS atau PAN; hanya Pilkada langsunglah yang memungkinkan mereka menampilkan para kadernya sebagai pimpinan di daerah. Mereka perlu ingat bahwa dalam politik itu tak ada teman (baca: koalisi) yang abadi, yang ada hanyalah “Kepentingan” yang abadi. Jika mereka mendukung pola pemilihan pimpinan daerah oleh DPRD dan bukan langsung oleh rakyat, ini adalah langkah BLUNDER mereka (partai partai kecil khususnya) karena efeknya dalam jangka tak terlalu lama kader-kader mereka tak akan ada yang tampil lagi memimpin diberbagai daerah. Partai yang mendapat suara paling banyak yang akan tampil, dan partai-partai kecil akan semakin tenggelam, tak terdengar lagi. Kekuatan partai kecil bukan pada koalisi, tapi pada figur atau tokoh pemimpin yang mereka usung. Jika menggunakan pola pemilihan pimpinan daerah oleh DPRD, Bukan hanya Jokowi yang belum tentu terpilih sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan sekarang Presiden RI, Aher dari PKS pun belum tentu akan terpilih sebagai Gubernur Jabar, Gubernur Sumut dan Sumbar yang dari PKS pun belum tentu terpilih jadi Gubernur diwilayah itu, dan Arya Bima dari PAN belum tentu terpilih sebagai Bupati Bogor.

Kalian para politisi jangan terus meremehkan dan menganggap rakyat bodoh. Rakyat sudah cerdas, tidak buta dan akan menilai. Pada ujungnya rakyat juga yang akan memilih dan memberi hukuman kepada partai-partai dan para politisi yang tak pro demokrasi dan tak pro rakyat. Mari terus kita cermati perkembangan RUU Pilkada ini.

Salam INDONESIA RAYA.

*Ilustrasi Foto diunduh dari sini.




Sumber : http://ift.tt/WJaoP0

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz