Tanggapan untuk Profesor Yusril: MK bukan Mahkamah Kalkulator
Profesor Yusril Ihza Mahendra menulis artikel berjudul Saatnya MK Melangkah ke Arah Substansial. Tulisan ini berasal dari keterangan yang disampaikan saudara Yusril sebagai ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 15 Agustus 2014.
Profesor Yusril, pada dasarnya berharap MK tidak hanya menjadi lembaga kalkulator. Sebatas memutus perkara terkait dengan perselisihan perhitungan suara. Yang membatasi kewenangan hanya mengurus angka-angka perhitungan suara belaka. Sudah saatnya MK untuk melangkah ke arah yang lebih substansial. Sehingga bukan persoalan perselisihan mengenai angka-angka belaka.
Nampaknya dugaan Profesor Yusril ini bisa jadi benar. Bahwa hingga satu dekade keberadaannya, MK tidak beringsut dan bergerak maju ke arah yang lebih substansial. Hanya membatasi diri untuk mengatasi persoalan perselisihan angka-angka. Apa benar demikian?.
Saya tidak tahu pasti, apakah Profesor Yusril menutup mata atas perkembangan putusan-putusan MK yang berkait dengan perkara PHPU dalam satu dekade ini? Pada perkembangannya justru MK telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang digariskan dalam UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011. Tidak lagi sebatas sebagai “Mahkamah Kalkulator”, tapi sudah meluas ke wilayah yang dalam ketentuan UU, bukan menjadi kewenangan MK.
Pada perkembangannya, MK telah menciptakan norma hukum baru sesuai dengan keyakinan hakim (judge made law) , yaitu dengan memaknai dan memberikan pandangan hukum melalui putusan putusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilukada dengan memberikan penafsiran yang luas. Dalam perkembangan putusan-putusan tentang PHPU, MK tidak lagi membatasi diri pada objek sengketa Pemilukada yang hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU, namun lebih pada penilaian pada proses Pemilukada.
Satu diantaranya adalah Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang perselisihan hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Bila pada sebelumnya MK, lebih menekankan pada aspek hukum dan keadilan formal, maka setelah munculnya putusan ini, penanganan perkara-perkara Pemilukada di MK mulai masuk ke wilayah hukum dan keadilan substansial. Melalui Putusan ini pula kemudian dikenal konsep pelanggaran Pemilukada yang sistematis, terstruktur, dan masif (STM).
Pada putusan MK ini jelas bahwa MK tidak hanya menggunakan pendekatan secara normatif atau prosedural (prosedural justice ) namun lebih kepada menggunakan pendekatan substansial. MK tidak hanya sekadar mempersoalkan kuantitas Pemilu, (atau urusan angka-angka, menurut saudara Yusril) namun lebih kepada kualitas Pemilu. Dan menitikberatkan kepada penilaian proses (judicial process ).
Demikian juga dengan Putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tentang perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan. Dimana MK mendiskualifikasi pemenang Pilkada, Dirwan Mahmud. Dan memerintahkan KPU melaksanakan PSU tanpa melibatkan Dirwan Mahmud. Karena dianggap Pilkada Bengkulu Selatan telah cacat yuridis sedari awal, dengan meloloskan Dirwan Mahmud sebagai kontestan.
Terlepas dari pro dan kontra atas putusan MK pada saat itu, namun MK dalam perkembangannya tidak sebatas memutus perkara hanya dalam urusan selisih angka-angka penghitungan suara. Dengan keputusan ini, nampak MK melakukan penafsiran secara ekstensif memperluas kewenangannya. Penafsiran dengan melebihi batas-batas yang telah digariskan oleh UU dan hasil interpretasi gramatikal.
Dalam hal ini, MK keluar dari bunyi undang-undang, tidak terpaku secara harfiah pada ketentuan normatif yang menyatakan bahwa kewenangan MK dalam penyelesaian Pemilu terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara. Hal ini dapat dibenarkan karena memang penanganan sengketa hasil Pemilu yang adil tidak boleh dikacaukan hanya karena mematuhi formalitas hukum acara an sich . Hukum acara seharusnya digunakan sebagai alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan keadilan tersebut.
Norma baru dari amar putusan MK pun lahir pada putusan MK Nomor 45/PHPU.D-VII/2010, Perkara PHPU Kotawaringin Barat. MK dianggap telah melampaui kewenangannya, dengan mendiskualifikasi calon terpilih dan menetapkan pemenang Pemilukada, saat itu juga. Dimana kewenangan menetapkan calon terpilih sebagaimana ditentukan oleh UU, adalah kewenangan KPU. Jelas pada putusan MK ini, MK tidak menitikberatkan kepada selisih angka-angka penghitungan suara antara pihak pemohon dan KPU. Tetapi justru “menjatuhkan hukuman” kepada pihak terkait yang telah mencederai asas pemilu yang Jurdil Luber.
Alasan MK saat itu, mengadili di luar penghitungan suara karena ingin memutus lebih adil dan tidak ingin disebut pengadilan kalkulasi. Sebatas penghitungan angka-angka belaka. Padahal dalam sistem hukum kita, MK telah melampaui kewenangan dan mengambilalih kewenangan lembaga hukum lain. Dimana pihak Terkait baru sebatas dugaan melakukan tindak pidana dan belum ada putusan peradilan umum yang memutus Pihak Terkait bersalah.
Pada saat itu, beberapa pakar, akademisi dan praktisi hukum berpendapat bahwa diskualifikasi pasangan calon kepala daerah, apalagi penetapan calon terpilih bukanlah wewenang MK. Jika dilakukan, maka MK telah melampaui kewenangannya.
Termasuk saat MK membuat putusan pada perkara PHPU Kota Jayapura (Yapen ?). Dimana MK mengabulkan permohonan pihak Pemohon, sebagai bakal calon. Sementara ketentuan yang berlaku saat itu, legal standing dibatasi hanya bagi pasangan calon, dan bukan bakal pasangan calon. Lebih daripada itu putusan MK ini, tidak mempersoalkan urusan angka-angka yang dihasilkan dari Pilkada. Tapi mempermasalahkan tidak diikutsertakannya bakal calon yang diperkuat dengan putusan PTUN.
Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan MK karena adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan hukum (nomokrasi), dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya.
Menurut hemat saya, dalam perkembangannya justru MK telah masuk dan memperluas jangkauannya tidak sebatas perselisihan hasil berupa angka-angka belaka. Beberapa amar putusan MK di atas menunjukan bahwa MK, bukanlah “Mahkamah Kalkulator” sebagaimana yang disangkakan oleh saudara Dr. Margarito.
Tapi, apapun itu, apakah hanya sebatas persengketaan angka-angka atau menilai suatu proses (substansial), semuanya dapat dibenarkan jika pihak pemohon dapat menunjukan bukti-bukti yang meyakinkan. Apakah bersifat kuantitatif atau kualitatif, pada akhirnya mahkamah hanya bersandar pada apa yang diajukan untuk memperkuat dalil-dalil pemohon. Pelanggaran-pelangaran yang dituduhkan kepada KPU, tentulah harus dibuktikan dengan alat bukti yang tidak dapat dibantah (beyond reasonable doubt).
Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1qd8Jsx
Profesor Yusril, pada dasarnya berharap MK tidak hanya menjadi lembaga kalkulator. Sebatas memutus perkara terkait dengan perselisihan perhitungan suara. Yang membatasi kewenangan hanya mengurus angka-angka perhitungan suara belaka. Sudah saatnya MK untuk melangkah ke arah yang lebih substansial. Sehingga bukan persoalan perselisihan mengenai angka-angka belaka.
Nampaknya dugaan Profesor Yusril ini bisa jadi benar. Bahwa hingga satu dekade keberadaannya, MK tidak beringsut dan bergerak maju ke arah yang lebih substansial. Hanya membatasi diri untuk mengatasi persoalan perselisihan angka-angka. Apa benar demikian?.
Saya tidak tahu pasti, apakah Profesor Yusril menutup mata atas perkembangan putusan-putusan MK yang berkait dengan perkara PHPU dalam satu dekade ini? Pada perkembangannya justru MK telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang digariskan dalam UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011. Tidak lagi sebatas sebagai “Mahkamah Kalkulator”, tapi sudah meluas ke wilayah yang dalam ketentuan UU, bukan menjadi kewenangan MK.
Pada perkembangannya, MK telah menciptakan norma hukum baru sesuai dengan keyakinan hakim (judge made law) , yaitu dengan memaknai dan memberikan pandangan hukum melalui putusan putusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilukada dengan memberikan penafsiran yang luas. Dalam perkembangan putusan-putusan tentang PHPU, MK tidak lagi membatasi diri pada objek sengketa Pemilukada yang hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU, namun lebih pada penilaian pada proses Pemilukada.
Satu diantaranya adalah Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang perselisihan hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Bila pada sebelumnya MK, lebih menekankan pada aspek hukum dan keadilan formal, maka setelah munculnya putusan ini, penanganan perkara-perkara Pemilukada di MK mulai masuk ke wilayah hukum dan keadilan substansial. Melalui Putusan ini pula kemudian dikenal konsep pelanggaran Pemilukada yang sistematis, terstruktur, dan masif (STM).
Pada putusan MK ini jelas bahwa MK tidak hanya menggunakan pendekatan secara normatif atau prosedural (prosedural justice ) namun lebih kepada menggunakan pendekatan substansial. MK tidak hanya sekadar mempersoalkan kuantitas Pemilu, (atau urusan angka-angka, menurut saudara Yusril) namun lebih kepada kualitas Pemilu. Dan menitikberatkan kepada penilaian proses (judicial process ).
Demikian juga dengan Putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tentang perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan. Dimana MK mendiskualifikasi pemenang Pilkada, Dirwan Mahmud. Dan memerintahkan KPU melaksanakan PSU tanpa melibatkan Dirwan Mahmud. Karena dianggap Pilkada Bengkulu Selatan telah cacat yuridis sedari awal, dengan meloloskan Dirwan Mahmud sebagai kontestan.
Terlepas dari pro dan kontra atas putusan MK pada saat itu, namun MK dalam perkembangannya tidak sebatas memutus perkara hanya dalam urusan selisih angka-angka penghitungan suara. Dengan keputusan ini, nampak MK melakukan penafsiran secara ekstensif memperluas kewenangannya. Penafsiran dengan melebihi batas-batas yang telah digariskan oleh UU dan hasil interpretasi gramatikal.
Dalam hal ini, MK keluar dari bunyi undang-undang, tidak terpaku secara harfiah pada ketentuan normatif yang menyatakan bahwa kewenangan MK dalam penyelesaian Pemilu terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara. Hal ini dapat dibenarkan karena memang penanganan sengketa hasil Pemilu yang adil tidak boleh dikacaukan hanya karena mematuhi formalitas hukum acara an sich . Hukum acara seharusnya digunakan sebagai alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan keadilan tersebut.
Norma baru dari amar putusan MK pun lahir pada putusan MK Nomor 45/PHPU.D-VII/2010, Perkara PHPU Kotawaringin Barat. MK dianggap telah melampaui kewenangannya, dengan mendiskualifikasi calon terpilih dan menetapkan pemenang Pemilukada, saat itu juga. Dimana kewenangan menetapkan calon terpilih sebagaimana ditentukan oleh UU, adalah kewenangan KPU. Jelas pada putusan MK ini, MK tidak menitikberatkan kepada selisih angka-angka penghitungan suara antara pihak pemohon dan KPU. Tetapi justru “menjatuhkan hukuman” kepada pihak terkait yang telah mencederai asas pemilu yang Jurdil Luber.
Alasan MK saat itu, mengadili di luar penghitungan suara karena ingin memutus lebih adil dan tidak ingin disebut pengadilan kalkulasi. Sebatas penghitungan angka-angka belaka. Padahal dalam sistem hukum kita, MK telah melampaui kewenangan dan mengambilalih kewenangan lembaga hukum lain. Dimana pihak Terkait baru sebatas dugaan melakukan tindak pidana dan belum ada putusan peradilan umum yang memutus Pihak Terkait bersalah.
Pada saat itu, beberapa pakar, akademisi dan praktisi hukum berpendapat bahwa diskualifikasi pasangan calon kepala daerah, apalagi penetapan calon terpilih bukanlah wewenang MK. Jika dilakukan, maka MK telah melampaui kewenangannya.
Termasuk saat MK membuat putusan pada perkara PHPU Kota Jayapura (Yapen ?). Dimana MK mengabulkan permohonan pihak Pemohon, sebagai bakal calon. Sementara ketentuan yang berlaku saat itu, legal standing dibatasi hanya bagi pasangan calon, dan bukan bakal pasangan calon. Lebih daripada itu putusan MK ini, tidak mempersoalkan urusan angka-angka yang dihasilkan dari Pilkada. Tapi mempermasalahkan tidak diikutsertakannya bakal calon yang diperkuat dengan putusan PTUN.
Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan MK karena adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan hukum (nomokrasi), dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya.
Menurut hemat saya, dalam perkembangannya justru MK telah masuk dan memperluas jangkauannya tidak sebatas perselisihan hasil berupa angka-angka belaka. Beberapa amar putusan MK di atas menunjukan bahwa MK, bukanlah “Mahkamah Kalkulator” sebagaimana yang disangkakan oleh saudara Dr. Margarito.
Tapi, apapun itu, apakah hanya sebatas persengketaan angka-angka atau menilai suatu proses (substansial), semuanya dapat dibenarkan jika pihak pemohon dapat menunjukan bukti-bukti yang meyakinkan. Apakah bersifat kuantitatif atau kualitatif, pada akhirnya mahkamah hanya bersandar pada apa yang diajukan untuk memperkuat dalil-dalil pemohon. Pelanggaran-pelangaran yang dituduhkan kepada KPU, tentulah harus dibuktikan dengan alat bukti yang tidak dapat dibantah (beyond reasonable doubt).
Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1qd8Jsx