Perebutan Al Qunatiriyah/Qunaitera
Babak Baru Perang Syria
Pemberontak Syiria, Kelompok Jabat nusra, dan ISIL mengklaim telah menguasai perbatasan di Dataran Tinggi Golan. Setelah menyandera tentara penjaga perbatasan PBB UNDOF asal Fiji dan Philipina.
Kira-kira di akhir tahun 2012 pernah kita ulas kemungkinan perang sipil di Syria akan mendekati Dataran Tinggi Golan. Satu wilayah highlander (tebing tinggi) yang strategis milik Syiria namun dikuasai oleh Israel.
Di awal perang sipil pertengahan Maret 2011, FSA menyerang pos Al Qusairiyah, kota utama di dataran tinggi Golan dan membuat pasukan pemerintah mundur. Tetapi pernah kita ulas, bahwa mundurnya tentara pemerintah Assad sepertinya strategi jangka panjang dimana dengan begitu ia (Assad) membiarkan dataran tinggi yang paling strategis dan subur ini menjadi wilayah yang terbuka bagi pertempuran.
Di tariknya pasukan pemerintah Assad menciptakan destabilisasi di Golan dan dengan demikian akan menarik dunia internasional untuk melibatkan pemerintahnya kelak menghadapi mereka yang menamakan dirinya kelompok Free Syirian Army, Jabat Nusra, atau sekarang berubah lagi menjadi kelompok ISIL.
Perang di Syria sudah jelas bukanlah sekedar perang pro demokrasi tetapi proksi yang melibatkan banyak kepentingan asing. Ini karena sejak zaman dahulu Syria dikenal sebagai wilayah kanton, tempat pertemuan orang dan modal. Mesti tidak terlalu kaya dengan sumber daya alam, Syria subur bagi perkebunan, pertanian, dan peternakan yang menghasilkan banyak komoditas bagi negeri2 sekitarnya.
Lebih penting lagi, Syria dibutuhkan bagi jalur distribusi gas dan minyak dari timur tengah ke Eropa melalui Turki. Persoalannya adalah bahwa sampai hari ini, Syria adalah satu-satunya negara arab yang masih berperang dengan Israel dan menganggap AS dan Eropa sebagai musuh. Ini menjadi satu dari banyak alasan bahwa Assad dan Syria harus “diselesaikan” sebagai mana NATO membereskan Saddam Husein di Iraq, Husni Mubarak di Mesir, dan kini Libya menjadi negara pariah selepas terbunuhnya pemersatu kabalah-kabalah, President Kolonel Muammar Qaddafi.
Distabilitas regional yang awalnya dilakukan terbatas dan terkontrol melalui penjungkalan pemimpin-pemimpin Arab melalui semangat demokrasi “Arab Springs” ternyata tidak berjalan mudah di Syiria.
Dimulai dari kampanye tuntutan reformasi damai, perang sipil atas nama kemerdekaan berkehendak, isu Suni-Syiah Alawite. Assad masih terlalu kuat dan dihargai kelompok militer selain ia sukses membuat Iran dan Rusia membantunya bertahan dari kemungkinan serangan unilateral NATO.
Assad melawan, dan pelan-pelan membalik keadaan tertekan menjadi penekan. Selesai menggiring opini publiknya bahwa Syiria sedang memerangi kaum Takfiris (tukang mengkafirkan), Assad kemudian memenangkan forum Jenewa 1, dan 2 yang membuat kelompok NCA (koalisi nasional Syria) sebagai oposisi kehilangan legitimasinya. Terakhir Assad sukses mengadakan pemilu raya dimana ia menang hampir 86% suara pemilih dan kembali memimpin Syria untuk 7 tahun ke muka.
Sukses inilah yang sepertinya tidak terlalu menyenangkan bagi pihak Barat (AS dan Eropa) termasuk pendukung kelompok perlawanan (Qatar, Turki, Arab Saudi, Israel) karena pasca pelepasan 15 ribu militan Islam keluar dari kota Homs sebenarnya front Syria boleh dibilang hampir selesai.
Inilah yang kemudian muncul ancaman regional baru yaitu kelompok ISIL atau ISIS Negara Islam Irak dan Syiria yang karena mereka gagal di Syria akan terpaksa menghuni wilayah-wilayah kantong demarkasi seperti di bagian utara Syiria yang berbatasan dengan Irak dan daerah otonomi khusus Kurdistan Irak. Sementara di selatan, karena militan gagal menguasai jalur Al Qusair di bagian Timur akibat keterlibatan Hisbullah maka satu-satunya wilayah aman bagi kelompok ini adalah masuk ke Dataran Tinggi Golan. Wilayah konflik yang dulunya paling aman menurut laporan Dewan Keamanan dan misi-misi PBB.
Sekarang sepertinya tidak akan lagi. Assad telah menarik kekuatan tempurnya di awal konflik pada 2011, ia membuka jalan bagi destabilitas kawasan yang memang secara de fakto masih terlibat konflik dengan Israel untuk memperebutkan wilayah Golan yang subur dan strategis. Suka tidak suka, Israel kini harus menerima kehadiran kelompok militan yang dulu mereka senjatai dan latih.
Jatuhnya Al Qunatairah, disanderanya pasukan perdamaian PBB, membuka jalan bagi Assad menginternasionalisasi konflik, menekan kelompok ISIL/Jabatnusra, dan memaksa Israel bersiap menghadapi perang asimentris.
Sumber : http://ift.tt/W1ItJq
Pemberontak Syiria, Kelompok Jabat nusra, dan ISIL mengklaim telah menguasai perbatasan di Dataran Tinggi Golan. Setelah menyandera tentara penjaga perbatasan PBB UNDOF asal Fiji dan Philipina.
Kira-kira di akhir tahun 2012 pernah kita ulas kemungkinan perang sipil di Syria akan mendekati Dataran Tinggi Golan. Satu wilayah highlander (tebing tinggi) yang strategis milik Syiria namun dikuasai oleh Israel.
Di awal perang sipil pertengahan Maret 2011, FSA menyerang pos Al Qusairiyah, kota utama di dataran tinggi Golan dan membuat pasukan pemerintah mundur. Tetapi pernah kita ulas, bahwa mundurnya tentara pemerintah Assad sepertinya strategi jangka panjang dimana dengan begitu ia (Assad) membiarkan dataran tinggi yang paling strategis dan subur ini menjadi wilayah yang terbuka bagi pertempuran.
Di tariknya pasukan pemerintah Assad menciptakan destabilisasi di Golan dan dengan demikian akan menarik dunia internasional untuk melibatkan pemerintahnya kelak menghadapi mereka yang menamakan dirinya kelompok Free Syirian Army, Jabat Nusra, atau sekarang berubah lagi menjadi kelompok ISIL.
Perang di Syria sudah jelas bukanlah sekedar perang pro demokrasi tetapi proksi yang melibatkan banyak kepentingan asing. Ini karena sejak zaman dahulu Syria dikenal sebagai wilayah kanton, tempat pertemuan orang dan modal. Mesti tidak terlalu kaya dengan sumber daya alam, Syria subur bagi perkebunan, pertanian, dan peternakan yang menghasilkan banyak komoditas bagi negeri2 sekitarnya.
Lebih penting lagi, Syria dibutuhkan bagi jalur distribusi gas dan minyak dari timur tengah ke Eropa melalui Turki. Persoalannya adalah bahwa sampai hari ini, Syria adalah satu-satunya negara arab yang masih berperang dengan Israel dan menganggap AS dan Eropa sebagai musuh. Ini menjadi satu dari banyak alasan bahwa Assad dan Syria harus “diselesaikan” sebagai mana NATO membereskan Saddam Husein di Iraq, Husni Mubarak di Mesir, dan kini Libya menjadi negara pariah selepas terbunuhnya pemersatu kabalah-kabalah, President Kolonel Muammar Qaddafi.
Distabilitas regional yang awalnya dilakukan terbatas dan terkontrol melalui penjungkalan pemimpin-pemimpin Arab melalui semangat demokrasi “Arab Springs” ternyata tidak berjalan mudah di Syiria.
Dimulai dari kampanye tuntutan reformasi damai, perang sipil atas nama kemerdekaan berkehendak, isu Suni-Syiah Alawite. Assad masih terlalu kuat dan dihargai kelompok militer selain ia sukses membuat Iran dan Rusia membantunya bertahan dari kemungkinan serangan unilateral NATO.
Assad melawan, dan pelan-pelan membalik keadaan tertekan menjadi penekan. Selesai menggiring opini publiknya bahwa Syiria sedang memerangi kaum Takfiris (tukang mengkafirkan), Assad kemudian memenangkan forum Jenewa 1, dan 2 yang membuat kelompok NCA (koalisi nasional Syria) sebagai oposisi kehilangan legitimasinya. Terakhir Assad sukses mengadakan pemilu raya dimana ia menang hampir 86% suara pemilih dan kembali memimpin Syria untuk 7 tahun ke muka.
Sukses inilah yang sepertinya tidak terlalu menyenangkan bagi pihak Barat (AS dan Eropa) termasuk pendukung kelompok perlawanan (Qatar, Turki, Arab Saudi, Israel) karena pasca pelepasan 15 ribu militan Islam keluar dari kota Homs sebenarnya front Syria boleh dibilang hampir selesai.
Inilah yang kemudian muncul ancaman regional baru yaitu kelompok ISIL atau ISIS Negara Islam Irak dan Syiria yang karena mereka gagal di Syria akan terpaksa menghuni wilayah-wilayah kantong demarkasi seperti di bagian utara Syiria yang berbatasan dengan Irak dan daerah otonomi khusus Kurdistan Irak. Sementara di selatan, karena militan gagal menguasai jalur Al Qusair di bagian Timur akibat keterlibatan Hisbullah maka satu-satunya wilayah aman bagi kelompok ini adalah masuk ke Dataran Tinggi Golan. Wilayah konflik yang dulunya paling aman menurut laporan Dewan Keamanan dan misi-misi PBB.
Sekarang sepertinya tidak akan lagi. Assad telah menarik kekuatan tempurnya di awal konflik pada 2011, ia membuka jalan bagi destabilitas kawasan yang memang secara de fakto masih terlibat konflik dengan Israel untuk memperebutkan wilayah Golan yang subur dan strategis. Suka tidak suka, Israel kini harus menerima kehadiran kelompok militan yang dulu mereka senjatai dan latih.
Jatuhnya Al Qunatairah, disanderanya pasukan perdamaian PBB, membuka jalan bagi Assad menginternasionalisasi konflik, menekan kelompok ISIL/Jabatnusra, dan memaksa Israel bersiap menghadapi perang asimentris.
Sumber : http://ift.tt/W1ItJq