Suara Warga

Masa depan Sumatera pasca pilpres

Artikel terkait : Masa depan Sumatera pasca pilpres

Sebenarnya, sudah lama Sumatera membutuhkan jaringan jalan raya yang memadai. Ada dua model yang diusulkan yaitu model jalan raya dengan 6 lajur 2 arah (seperti Pantura Jawa) dan model Jalan Tol. Kalau membangun jalan raya, maka pembiayaannya harus disediakan oleh pemerintah (dari berbagai sumber) dan tidak ada perhitungan finansialnya, hanya perhitungan manfaat ekonomi saja. Sementara jika membangun jalan tol, maka bisa menerapkan berbagai skema pembiayaan baik itu pemerintah (lalu dijual ke swasta), menggunakan dana swasta murni, atau pun dengan konsep PPP (public private partnership). Seperti yang kita tahu, skema yang sedang digiring oleh pemerintah untuk Sumatera adalah membangun jalan tol dengan model pembiayaan negara, yang setelah jalan tol dibangun maka jika ada swasta yang tertarik akan dijual ke swasta tersebut.

Jalan raya maupun jalan tol snagat dibutuhkan oleh Sumatera, bukan saja untuk memperlancar mobilitas orang dan barang dari Sumatera ke Jawa, namun yang paling penting adalah meningkatkan dan memperlancar (juga mengefisiensikan) skala mobilitas di internal Pulau Sumatera sendiri. Kita tahu, untuk berbagai biaya pungli, kendaraan truk barang dari Lampung ke Riau saja, membutuhkan biaya melintas lebih dari Rp 4 juta per sekali jalan. Padahal seharusnya tidak sebesar itu. Dan tentu saja hal ini sangat merugikan Indonesia karena pada akhirnya menempatkan Indonesia pada urutan ke terakhir dalam penilaian negara yang memiliki biaya distribusi logistik paling efisien. Negara kita masuk ke kelompok yang terburuk.

Karena pemerintahan SBY akan berakhir, tentu saja kita berharap pada pemerintahan yang akan datang untuk mewujudkan hal tersebut. Apalagi, di dalam dokumen MP3EI dan berbagai dokumen lainnya, rekomendasi pembangunan ini sudah ada. Tinggal diputuskan oleh presiden yang akan datang. Seandainya Jokowi –JK yang dilantik menjadi presiden, maka pada JWJK-lah harapan itu digantungkan. Jika melihat kebiasaan JK mempercepat proses pengambilan keputusan strategis, tentu kita berharap agar Sumatera mendapatkan keputusan cepat itu agar Jalan Tol dan atau Jalan Raya Sumatera bisa terbangun dari Aceh hingga ke Lampung.

Ketika mobilitas internal Sumatera meningkat, dan begitu juga di Pulau Jawa, maka koneksi antar keduanya membutuhkan kapasitas yang juga besar. Karena kegiatan mobilitas internal-eksternal tidak mungkin bisa dihindari. Dan untuk itu, penambahan dermaga di Merak dan Bakauheni mutlak dilakukan. Persoalan di Merak yang kesulitan menambah dermaga, snagat bisa disiasati dengan rekayata teknis. Ada banyak model penambahan dermaga yang tidak perlu di darat, yang bisa dicontoh oleh Indonesia. Soal penyelesaian keterbatasan lahan di Merak (juga Bakauheni), serahkan pada ahlinya untuk merekayasanya. Hal yang penting adalah, pemerintah memiliki komitmen untuk menuntaskan masalah keterbatasan ketersediaan dermaga disana akibat keterbatasan lahan. Sekali lagi, kita sangat berharap, jika JWJK yang menjadi kepala negara dan wakil, semua itu bisa dituntaskan dengan cepat dan berkualitas.

Soal JSS, saya kira perlu pertimbangan yang matang. Secara teknis, hal ini sangat bisa dilakukan. Masalahnya hanya pada pembiayaan. Jika masalah sumber pembiayaannya bisa diselesaikan, maka hal ini layak untuk diteruskan. Dari berbagai kasus di dunia, semua megaproyek seperti JSS ini di China, Inggris, dan Amerika, semuanya menggunakan anggaran negara. Swasta tidak ada yang berani masuk. Meskipun masuk, konsepnya paling tinggi PPP. Dan itu pun jaminan negara sangat besar. Seperti yang ingin dilakukan oleh swasta di JSS, dimana jaminannya dimintai oleh swasta ke negara.

Karena itu, langkah yang paling layak adalah dengan menyerahkan sepenuhnya masalah perencanaan dan pembangunannya ke negara. Bahwa nanti dioperasionalkan oleh swasta, itu sangat memungkinkan. Sebab negara memang tidak mengambil keuntungan bisnis dari pembangunannya. Tapi JSS bisa membiaya dirinya sendiri ketika ia dikelola dengan baik, baik itu oleh unit khusus, BPJT, maupun swasta. Langkah penentuan operator ini bisa dipikirkan belakangan. Yang penting adalah soal sumber pendanaan JSSnya yang perlu dipikirkan dan diputuskan sejak sekarang.

Jika ada yang mengkhawatirkan JSS berdampak pada penyeberangan selat, saya kira masing-masing memiliki pangsa pasar sendiri-sendiri. Apalagi jumlah mobilitas kendaraan akan sangat tinggi yang hanya bisa dilayani oleh keduanya (kapal ferry dan JSS). Jadi tidak perlu ada kekhawatiran soal itu. namun catatan utamanya adalah, meskipun JSS diputuskan dibangun, namun dalam jangka menengah pemerintah harus mengalokasikan dana yang memadai untuk mempercepat penyeberangan di selat sunda. Setidaknya bisa ditekan hingga maksimal menjadi 2 jam perjalanan saja. Tidak seperti sekarang, yang mencapai 3-4 jam. Bahkan bisa lebih lama. Selama pemerintah juga sungguh-sungguh memperhatikan penyeberangan, maka JSS akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Selama ini JSS mengalami resistensi akibat dari tidak besarnya perhatian pemerintah ke penyeberangan ini. Jadi penyeberangan jangan sampai merasa diabaikan.

Terkait dengan kelancaran mobilitas antar Pulau, solusi sederhananya adalah dengan memastikan seluruh jaringan jalan utama di Jawa dan Sumatera, juga pulau-pulau lain seperti Trans Kalimantan, Trans Sulawesi dan Trans Irian, bisa berkualitas baik seperti jalan interstate highways di AS. Sumber dana dari berbagai negara dan lembaga donor, tersedia. Hutang tidak ada masalah selama memang berwujud pada pembangunan infrastruktur yang baik. IDB, ADB, WB, dan China, JICA, GTZ dan seterusnya, sangat ingin membantu pemerintah mewujudkan jalan trans higways di Indonesia. Dan negara kita bisa dan layak untuk membangunnya. Karena itulah, siapapun presidennya, terutama jika JWJK yang menjadi presiden dan wakli yang dilantik, harapan kita masalah transportasi jalan raya bisa diselesaikan dengan cepat. Dan tentu saja, soal trans railways dan juga angkutan laut juga perlu dikembangkan. Dan soal gagasan angkutan kapal barang dari sabang-marauke, yang disebut tol laut oleh JWJK, perlu dikaji secara serius dan jika memang layak bisa dilaksanakan pada 2016.

Lalu, bagaimana dengan Lampung? Sebagai sebuah provinsi yang masuk dalam katagori termiskin di Indonesia, maka tidak ada pilihan lain bagi Lampung selain melakukan penyediaan infrastruktur transportasi yang akan memperlancar seluruh kegiatan ekonomi. Selain, Lampung juga harus memperbanyak pengembangan kawasan industri baru dengan mengajak kalangan pengusaha untuk banyak berinvestasi di Lampung. Regulasi harus dibuat dengan perpsepektif mendorong investasi industri dengan melibatkan generasi Lampung sebagai salahsatu pelaku pembangunan dan pengembangannya. Jika Lampung memiliki sistem transportasi di tiga matra, darat, air dan udara, yang memadai, maka perkembangan derah akan dapat cepat terjadi karena mobilitas menjadi mudah dan tersebar. Sehingga seluruh ruang wilayah yang memiliki potensi ekonomi khas, akan dapat terangkat dan berkembang.

Tapi yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah Lampung adalah perlunya menjadikan agwiculture sebagai sebuah industri besar di Lampung. Jangan sampai pengembangan agriculture hanya diserahkan dan mengandalkan masyarakat. Jika agriculture dikembangkan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, maka efeknya akan sangat besar. Dan disinilah peranan infrastruktur ditempatkan, yaitu untuk menyokong pilihan pengembangan industrialisasi agriculture Lampung, yang akan menempatkan Lampung sebagai salahsatu provinsi elite karena tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang sedemikian tinggi. Tentu saja kita berharap, Bung Ridho, sebagai gubernur muda Lampung, akan mampu menempatkan laju pembangunan Lampung pada jalurnya yang tepat sehingga akselerasi pembangunan, sebagaimana yang ia harapkan, dapat tercapai.

IB Ilham Malik, ST., MT. – Dosen Teknik Sipil UBL, Ketua Pusat Studi Kota dan Daerah UBL. Sedang persiapan menempuh pendidikan S3 di Kitakyushu University, Japan.




Sumber : http://ift.tt/1kIityF

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz