Suara Warga

Labelisasi Kafir

Artikel terkait : Labelisasi Kafir

Kafir, Sesat, Yahudi, Zionis, Cina, Munafik dan berbagai kosa kata lain diproduksi khusus untuk dilabelkan ke pihak lain yang berbeda paham dan pandangan, dengan tujuan agar para pendukung pihak yang lain berpindah, setidaknya meninggalkan. Terminologi serba negatif itu tidak lain adalah wujud kebencian dan menolak yang berbeda.

Penyematan label hitam dan negatif kepada yang berbeda itu bukanlah sesuatu yang baru dalam islam. Pola itu hanyalah pengulangan dari peristiwa sangat awal dalam sejarah islam politik. Pada awal kemunculannya juga berakibat mengerikan. Bukan sekedar terucapkan, melainkan telah menjadi sebab terjadinya pembunuhan sesama umat islam.

Sejarah Awal Mengafirkan yang Lain yang Berbeda (Takfir)

Menurut sejarawan Al-Baghdadi (wafat th. 429 H), munculnya takfir adalah peristiwa politik yang menyebabkan perpecahan di tubuh umat islam. Peristiwa politik itu dinamai Fitnah Kubra, yaitu ketika khalifah ke-3, Usman bin Affan terbunuh di tangan demonstran. Dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq ia mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza. (Kemudian para shahabat berselisih setelah terbunuhnya (Usman): siapa pembunuhnya dan siapa yang membiarkannya terbunuh. Itulah perselisihan yang abadi sampai sekarang).

Paska terbunuhnya Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi Khalifah. Dengan keadilan dan kecerdasannya, Ali mengganti para pejabat yang tidak layak dengan yang lebih baik. Ali juga mengambil hak-hak istimewa yang diberikan Usman kepada keluarga dekatnya untuk diberikan kepada yang benar-benar berhak. Tetapi kebijakannya menimbulkan banyak pihak yang kecewa, termasuklah Aisyah, isteri Nabi, begitu juga Thalhah dan Zubair sahabat akrab Nabi saw..

Kemudian Aisyah mengumpulkan pendukungnya dengan menaiki unta memerangi Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi saw. Inilah perang sesama muslim yang pertama, terjadi tahun 36H. Dalam peperangan itu Ali dapat melumpuhkan Aisyah dengan cara menusuk unta yang ditungganginya. Tetapi Aisyah tetap mendapat penghormatan dari Ali. Ali memulangkannya ke Madinah dengan pengawalan pasukan wanita lengkap, meskipun ia adalah pemberontak pemerintah yang sah.

Aisyah tidak puas hati dengan kekalahan. Ia menyalurkan ambisinya dengan bergabung bersama Muawwiyah, gubernur Damaskus dari keluarga Usman. Kedua kelompok bekerjasama karena mempunyai kepentingan yang sama: menjatuhkan Ali dari kekuasaannya. Isu yang dikedepankan waktu itu adalah menuntut bela kematian Usman bin Affan. Mereka menuntut Ali agar menghukum pembunuh Usman. Karena sebagai khalifah Ali harus bertanggungjawab.

Sesungguhnya mereka mengetahui yang hal itu tidak mungkin dapat dilakukan, karena terbunuhnya Usman adalah kehendak orang banyak yang diawali dengan demonstrasi menuntut Usman mundur. Tetapi Usman dengan alasan mengikuti Sunnah Nabi dan pendahulunya yang berkuasa sampai akhir hayat, maka turun tahta ketika masih hidup tidak mungkin dilakukan. Itu berarti melanggar Sunnah. Maka demonstran semakin panik dan tidak terkendalikan lagi.

Meskipun ketika itu Ali memerintahkan puteranya untuk ikut mejaga keselamatan khalifah Usman, tetapi gerombolan massa yang mendesak masuk ke rumah khalifah sangat banyak dan beringas. Akhirnya ada yang berhasil menerobos pengawal dan masuk ke rumah lewat atap. Ketika itulah ia langsung menebaskan pedangnya ke khalifah Usman. Diceritakan juga, bahwa isteri khalifah Usman yang coba memberikan perlindungan ikut ditebas tangannya dengan pedang.

===========

Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing sehingga menyeret terjadinya peperangan, dikenal dengan Perang Siffin. Dalam Perang ini, khalifah Ali dan kelompoknya sudah berada di atas angin. Muawiyah dipastikan kalah seandainya perang berlanjut. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Muawiyah berinisiatif mengajak bertahkim (arbitrate). Perundingan (tahkim) dilaksanakan pada bulan Ramadhan tahun 37H di Daumatul Jandal. Hasil dari tahkim itu Ali dilengserkan dari jabatan khalifah dengan sangat dramatis. Posisi khalifah diberikan kepada Muawwiyah oleh juru runding Muawiyah yang licik, Amru bin Ash. Sedangkan Ali ketika itu menunjuk juru runding seorang tua yang jujur, Abu Musa.

Perundingan yang penuh tipu daya menjadi sebab banyak pihak yang merasa dikhianati dan sangat kecewa. Pihak yang kecewa adalah dari pasukan Ali. Kemudian mereka meninggalkan Ali dan membentuk kelompok baru yang sepaham. Karena memisahkan diri atau keluar, maka dinamai kelompok Khawarij. Kelompok yang masih setia kepada dinamai Syi’ah. Kemudian Khawarij berbalik menjadi musuh, karena tidak puas dengan keputusan Arbitrase.

Padahal, kelompok Khawarij inilah yang pada awalnya memaksa Ali agar melaksanakan tahkim, tidak perlu melanjutkan peperangan. Tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka pula yang langsung menolak. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kemenangan Muawiyah dalam tahkim berarti ancaman, karena Muawiyah akan menuntut mereka yang terlibat pembunuhan Usman.

Demi keselamatan, merekapun membelot dan segera membuat strategi baru untuk melumpuhkan pihak Ali dan juga Muawiyah. Alasan mereka, keduanya berdosa besar karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Berdasarkan ijtihad mereka, bahwa Ali, Muawiyah dan juga Amru bin Ash adalah KAFIR dan halal darahnya. Ketika itu mereka mendeklarasikan semboyan: La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan dari Allah semata). Allah dijadikan alasan pembenaran.

Menurut Khawarij, hanya kelompok mereka sendirilah yang benar dan berpegang kepada hukum Allah. Selain kelompok mereka telah melanggar hukum Allah, KAFIR dan halal darahnya untuk ditumpahkan. Merekapun mengagendakan pembunuhan pemimpin kedua kelompok yang telah menjadi KAFIR. Dipilihlah tiga orang yang ditugasi membunuh pemimpin KAFIR: Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash.

Muawiyah menyadari adanya pihak yang tidak puas dan sewaktu-waktu dapat saja memberontak dan membunuh. Maka sebagai khalifah disiapkanlah pasukan keamanan yang menjaga dirinya dan Amru bin Ash selama 24 jam. Dengan cara itu, Muawiyah dan Amru bin Ash selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H.

Demikianlah munculnya terminologi KAFIR dan sejenisnya dalam sejarah islam. Latar belakang kemunculannya adalah peristiwa politik. Dan kepentingan politik itulah yang memproduksi beragam tuduhan untuk tujuan menghancurkan pihak yang lain yang bukan kelompoknya. Adapun Allah dihadirkan dalam argumentasi penuduh hanya sebagai alat pembenar bagi kelicikan mereka.




Sumber : http://ift.tt/1pda9GT

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz