Jika Jokowi Tidak Siap Sistem Atasi Dampak? Jangan Naikkan BBM
Ketika Jokowi dilantik di bulan Oktober 2014, masa pemerintahan Jokowi di 2014 hanya sekitar 2,5 bulan lagi. Sebaiknya masa sependek itu Jokowi menyiapkan sistem pengendalian dampak kenaikan BBM, daripada ujug ujug menaikkan BBM.
Mengapa?
1. Kenaikan BBM mesti berdampak bagi kenaikan harga, inflasi dan peningkatan kemiskinan. Rakyat menengah rentan miskin - miskin akan sangat terbebani dgn kenaikan bbm ini.
2. Walaupun APBN 2014 disebut defisit, tp penyerapannya juga masih belum optimal. Hingga agustus 2014 alias 8 bulan, penyerapan masih sekitar 40%. Untuk mengatasi defisit, pengeluaran tidak perlu spt procurement yg berulang bisa ditunda. Procurement jg rendah penyerapannya, dr sekitar Rp 600 T, tidak sampai 40% yang terserap. Seharusnya jika defisit begini, pemerintah punya sense untuk menghemat, termasuk memangkas seremonial yang tidak perlu dan aksesoris yang memberatkan APBN
3. Dalam mengatasi dampak, pendataan sangat penting. Jokowi bisa gunakan cara yang canggih untuk memotret rakyat yang berhak, berdayakan relawan untuk verifikasi, buat transparan.
4. Yang paling penting bisa disiapkan penggunaan gas sebagai pengganti premium. Terutama di kota biang kemacetan seperti Jakarta, Bodetabek , Bandung dan Surabaya. Jadikan pilot proyek, tidak boleh dijual premium, mobil pribadi dan angkutan umum ‘dipaksa’ beralih ke gas.
Tahun 2015, untuk DKI Jakarta, Ahok sudah merencanakan itu dengan menyiapkan SPBU mobile untuk pengisian gas dan bekerjasama dengan PGN. Untuk Jakarta saja, jika terealisasi, sibsidi bisa dihemat Rp 30 T.
Gas bisa hanya Rp 6 ribu setara 1 liter premium. Tetapi lebih ramah lingkungan, dan cadangan Indonesia sangat besar untuk ini. Peralihan ini harus sangat segera, dan isu konflik kepentingan antara PGN dan Pertamina harus bisa juga diatasi oleh pemerintaham baru Jokowi-JK.
Yang menarik, seorang Menko seperti Chairul Tanjung saja cukup pede dengan tidak mau menaikkan BBM. Karena katanya akan melemahkan arus pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lagian kalau dilihat lihat, urgensi mengatasi dampak defisit APBN kok juga gak terlihat di pejabat pemerintah dan DPR kok. Kesannya masih diliputi fasilitas ‘wah’ yang bisa dilihat oleh rakyat?
Ya sudah gitu aja, Salam Kompasiana!
Sumber : http://ift.tt/1qWHuqs
Mengapa?
1. Kenaikan BBM mesti berdampak bagi kenaikan harga, inflasi dan peningkatan kemiskinan. Rakyat menengah rentan miskin - miskin akan sangat terbebani dgn kenaikan bbm ini.
2. Walaupun APBN 2014 disebut defisit, tp penyerapannya juga masih belum optimal. Hingga agustus 2014 alias 8 bulan, penyerapan masih sekitar 40%. Untuk mengatasi defisit, pengeluaran tidak perlu spt procurement yg berulang bisa ditunda. Procurement jg rendah penyerapannya, dr sekitar Rp 600 T, tidak sampai 40% yang terserap. Seharusnya jika defisit begini, pemerintah punya sense untuk menghemat, termasuk memangkas seremonial yang tidak perlu dan aksesoris yang memberatkan APBN
3. Dalam mengatasi dampak, pendataan sangat penting. Jokowi bisa gunakan cara yang canggih untuk memotret rakyat yang berhak, berdayakan relawan untuk verifikasi, buat transparan.
4. Yang paling penting bisa disiapkan penggunaan gas sebagai pengganti premium. Terutama di kota biang kemacetan seperti Jakarta, Bodetabek , Bandung dan Surabaya. Jadikan pilot proyek, tidak boleh dijual premium, mobil pribadi dan angkutan umum ‘dipaksa’ beralih ke gas.
Tahun 2015, untuk DKI Jakarta, Ahok sudah merencanakan itu dengan menyiapkan SPBU mobile untuk pengisian gas dan bekerjasama dengan PGN. Untuk Jakarta saja, jika terealisasi, sibsidi bisa dihemat Rp 30 T.
Gas bisa hanya Rp 6 ribu setara 1 liter premium. Tetapi lebih ramah lingkungan, dan cadangan Indonesia sangat besar untuk ini. Peralihan ini harus sangat segera, dan isu konflik kepentingan antara PGN dan Pertamina harus bisa juga diatasi oleh pemerintaham baru Jokowi-JK.
Yang menarik, seorang Menko seperti Chairul Tanjung saja cukup pede dengan tidak mau menaikkan BBM. Karena katanya akan melemahkan arus pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lagian kalau dilihat lihat, urgensi mengatasi dampak defisit APBN kok juga gak terlihat di pejabat pemerintah dan DPR kok. Kesannya masih diliputi fasilitas ‘wah’ yang bisa dilihat oleh rakyat?
Ya sudah gitu aja, Salam Kompasiana!
Sumber : http://ift.tt/1qWHuqs